SAA mengerahkan pasukan besar-besaran untuk mengalahkan pemberontak di wilayah Selatan.

Koran Sulindo – Hampir tujuh tahun sejak perang saudara meletus di Suriah, jalannya pertempuran mengubah banyak hal mendasar. Khususnya geopolitik Timur Tengah yang secara ekstensif terlibat dalam perang proksi.

Kelemahan Damaskus di masa-masa awal perang, kegigihan militan, muncul lalu runtuhnya kekhalifahan ISI, hingga kehati-hatian Rusia yang enggan terlibat konflik berskala besar didasarkan pengalaman buruknya di Afghanistan dan Chechnya.

Di sisi lain, keterlibatan Rusia menjadi ‘pengubah permainan’ yang membuat Tentara Arab Suriah (SAA) membalik keadaan dari posisi terjepit di akhir tahun 2015 menjadi unggul hampir di semua front pertempuran.

Dimulai dengan pembebasan Aleppo Timur, SAA satu persatu berhasil merebut kembali wilayah yang semula diduduki baik oleh Tentara Pembebasan Suriah, Al-Nusra atau ISIS dari mulai Palymra, Deir Ezzor dan terakhir yang Ghouta Timur.

Setelah mengamankan pinggiran Damaskus dari kantong-kantong pemberontak, SAA kini tengah fokus mengerahkan kampanyenya di Deraa dan Quneitra di selatan Suriah.

Jika di pada akhirnya wilayah-wilayah itu berhasil di rebut kembali oleh Damaskus dan pemberontak terlibat saling bunuh di Idlib, tenaga kerja SAA bisa difokuskan untuk mendongkel Kurdi di sisi timur Sungai Eufrat yang didukung AS.

Seperti dilansir kantor beritas Fars, di provinsi Deraa pertempuran sengit pecah antara SAA dan kelompok militab baik dari FSA maupun Al-Nusra.

Sebelumnya, meski Damaskus telah berkali-kali menawarkan negosiasi kepada militan di Deraa dan Quneitra para komandan lapangan militan dengan segera menolak ide itu dan tidak berniat untuk menyerah.

Di Deraa, SAA memulai pembebasan dengan menyerbu pangkalan utama Al-Nusra dan sekutu-sekutunya di wilayah Tell al-Harra. Surat kabar Al-Watan menyebut SAA mengerahkan personel dan peralatan dalam jumlah besar atas permintaan penduduk lokal di Khan Arnab, al-Chabaria, Deir Maker, dan Khodr.

Al-Watan juga menyebut operasi melawan teroris di daerah Batna Umm juga melibatkan milisi Palestina  Liwa al-Quds bertempur di sisi Damaskus. Sebelumnya, unit-unit ini hanya terlibat dalam pertempuran di Aleppo Timur dan Yarmouk.

Keterlibatan Liwa al-Quds di wilayah selatan menggantikan milisi Syiah seperti Hizbullah yang pro Iran jelas menunjukkan pesan Damaskus kepada Israel dengan asistensi Moskow.

Sebelumnya, perundingan Rusia-Israel telah menyepakati penarikan Hizbullah dan pasukan Iran dari perbatasan Lebanon dengan imbalan penghentian serangan usara Israel di wilayah Suriah.

Bagi Israel ini adalah langkah yang diperlukan, karena perundingan dengan AS dan Yordania tak member hasil apa pun, sementara operasi SAA di selatan makin mendekati perbatasan. Bagi Tel Aviv, tindakan terbaik adalah melibatkan Moskow untuk menjamin absennya orang-orang Iran di perbatasan.

Dalam pembicara telepon antara Vladimir Putin dan Benjamin Netanyahu tanggal 15 Juni lalu, Israel mengajukan penarikan milisi Syiah dari selatan Suriah sebagai syarat dukungan mereka pada operasi kontra-teroris Damaskus.

Israel lebih bersedia berdampingan dengan Al-Nusra atau ISIS sekalipun dibanding dekat dengan orang-orang Iran atau Hizbullah di perbatasan mereka. Wilayah itu mencakup zona de-eskalasi yang disepakati baik oleh Damaskus maupun pemberontak.

Wilayah selatan Suriah yang berbatasan dengan Yordania dan Israel.

Zona de-eskalasi tersebut bersifat strategis karena ia menciptakan kantong perlawanan yang konstan untuk menguras energi SAA sekaligus membuatnya ‘lelah’ abai memikirkan sisi timur Eufrat.

Selama dua tahun terakhir, Yordania dan Israel terus menerus menyediakannya uang dan senjata, sekaligus memastikan konvoi bantuan kemanusiaan secara reguler ke daerah-daerah perbatasan yang dikenalikan FSA.

Memasok militan dengan uang, makanan dan senjata sekaligus menutup mata terhadap pengaruh ISIS dan al-Nusra, AS jelas tengah menyiapkan ancaman ke Damaskus yang berjarak kurang dari 100 kilometer.

Namun ilusi itu pupus semenjak musim panas lalu karena situasi telah benar-benar berubah. Sekitar 55 persen dari zona de-eskalasi di selatan Suriah kini dikontrol ISIS dan atau al-Nusra.

Provinsi Deraa, Quneitra dan Sweida setidaknya dikendalikan oleh lima puluh kelompok bersenjata dari berbagai faksi dengan kekuatan total mencapai 12 ribu prajurit.

Mereka ini mencakup empat kelompok utama yakni FSA yang dibangun lebih dari 20 faksi dengan kekuatan hingga tujuh ribu tentara.

Penyokong utama mereka adalah Turki dan Israel sekaligus diklaim sebagai oposisi moderat oleh Barat. Kelompok ini mengontrol 35 hingga 40 persen wilayah zona de-eskalasi di selatan.

Faksi kedua, al-Nusra yang merupakan gabungan dari 20 kelompok bersenjata dengan jumlah sekitar 3.500 personel. Mereka didukung Arab Saudi dianggap sebagai organisasi teroris internasional.  Kelompok ini mengontrol antara 30 dan 35 persen wilayah zona de-eskalasi.

Yang ketiga, ISIS, adalah kelompok radikal yang menyatukan empat kelompok utama dengan kekuatan hingga 1500 militan dan mengontrol 15 persen wilayah di selatan. Mereka dibiayai dari uang hasil pemerasan yang didapat dari penduduk setempat.

Kelompok keempat adalah  Ahrar al-Sham yang terbagi dalam lima kelompok utama dengan kekuatan hingga 800 pejuang. Mereka dibentuk berdasarkan teritorial dan independen dari kelompok lain. Mereka mengontrol hingga 10 persen dari wilayah zona de-eskalasi.

Selain menghapi SAA, di antara empat kelompok besar ini juga terlibat pertemperuan dan perebutan pengaruh antar mereka.

FSA dan Ahrar al-Sham siap berdamai dengan syarat-syarat tertentu dan siap menyerahkan wilayah mereka kepada SAA.

Sementara itu al-Nusra dan ISIS yang mengendalikan lebih dari setengah wilayah, sejak semula menolak negoisasi dan menekan kelompok-kelompok yang lebih moderat untuk mengganggu rekonsiliasi.

Mereka yang ngotot dan ‘tidak dapat didamaikan’ tersebut jumlahnya relatif kecil hanya sekitar lima ribu orang.

Pada titik ini, Damaskus memiliki kesempatan merebut kembali wilayah ini baik melalui negosiasi dengan kelompok moderat atau operasi militer untuk melawan ISIS dan al-Nusra.

Model serupa terbuki membuahkan hasil di East Ghouta, dan Homs. (TGU)