Pejuang Kurdi

Koran Sulindo – Memenangi pertempuran tak selalu identik dengan memenangi perang. Jika pertempuran semata-mata tergantung pada kekuatan bersenjata, perang lebih banyak mencakup aspek politik.

Itulah yang tengah dialami pejuang-pejuang Kurdi di Suriah.

Setelah berhasil menendang ISIS keluar wilayah Suriah, kini otoritas Kurdi mesti bersiap untuk pertempuran berikutnya: perjuangan politik untuk memenangkan pengakuan internasional atas wilayah otonom mereka sekaligus membantu pemulihan pasca-perang.

Sementara pejuang Kurdi segera sadar mereka bakal ditinggalkan oleh Amerika Serikat. Mereka, sekarang mencoba berpaling ke Rusia. Masuk akal, karena mereka juga terus terancam oleh serangan Turki.

Dukungan Rusia diharapkan mendorong mereka mencapai kesepakatan politik untuk melindungi otonomi mereka dan melindungi wilayah mereka.

Kekalahan teritorial ISIS di Suriah menandai momen paling kritis bagi pejuang Kurdi yang menjalin kemitraan dengan Washington untuk memerangi para jihadis.

Badran Jia Kurd, penasihat pemerintah Kurdi di utara dan timur Suriah menyebut kemenangan terakhir mereka di Baghouz di perbatasan Irak bakal menjadi ‘fase baru’.

“Akan ada upaya dan perjuangan untuk mendapatkan legitimasi politik untuk pemerintahan sekaligus untuk menemukan solusi damai di Suriah,” kata dia seperti dikutip Reuters dalam wawancara di Qamishli.

Menguasai hampir seperempat wilayah Suriah, faksi-faksi Kurdi dan sekutu utama didukung militer yang mumpuni yakni Pasukan Demokrat Suriah (SDF) yang dipelopori milisi YPG Kurdi.

Sementara SDF telah mengembangkan hubungan dekat dengan AS, Washington tetap menolak memperluas pengakuan politik kepada Kurdi sebagai wilayah otonom.

Kehati-hatian Barat menentukan sikap terhadap Kurdi dilandasi kekhawatiran mereka kepada Turki yang tetap menganggap YPG sebagai bagian dari Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang dilarang Ankara karena pemberontakan selama beberapa dekade terakhir.

Warna kuning menunjukkan wilayah yang dikuasai pejuang Kurdi di Suriah.

Kepemimpinan puncak Kurdi mengalami puncak krisis beberapa bulan lalu ketika Presiden Donald Trump tiba-tiba mengumumkan keputusannya untuk menarik pasukan AS.

Langkah Trump menyadarkan petinggi Kurdi untuk mencari pembicaraan baru dengan Presiden Suriah Bashar Assad dan sekutu utamanya Rusia. Mereka berharap kesepakatan politik bakal melindungi otonomi dan wilayah mereka dari serangan Turki.

Saat ini jutaan warga Kurdi berdiam di sebagian wilayah Iran, Irak, Turki hingga Suriah. Sementara di Irak mereka mengendalikan wilayah otonom, pejuang Kurdi di Suriah secara konsisten tak terjangkau campur tangan PBB yang berupaya mengakhiri perang di Suriah.

Sejak awal mereka bersikeras bahwa tujuan mereka adalah otonomi daerah di dalam wilayah Suriah federal dan bukan untuk mengejar kemerdekaan. Keengganan Barat terlibat secara politik dengan mereka mash menjadi menjadi sumber frustrasi yang mendalam bagi sebagian besar pemimpin politik Kurdi.

“Jujur, sampai sekarang, tidak ada sikap positif yang jelas bahkan dari mitra sebenarnya yang kami lawan bersama,” kata Jia Kurd.

Kurdi menyebut upaya diplomatik akan difokuskan untuk memperdalam hubungan dengan sekutu Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara lain untuk memerangi ISIS.

Ia juga menambahkan bahwa negara-negara asing perlu membantu membangun kembali infrastruktur dan menghidupkan kembali ekonomi untuk mencegah kebangkitan atau invasi ISIS atau musuh lain seperti Turki.

Kurd juga menyebut kontak dengan Damaskus terhenti dan menuduh pemerintah Suriah menolak untuk menggelar berunding.

Dalam pidatonya bulan lalu, Assad memperingatkan agar para pejuang Kurdi untuk tak bergantung pada Washington dan mengatakan hanya Suriah yang bisa melindungi mereka.

Assad, yang sekarang berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak dengan bantuan Iran dan Rusia bersumpah untuk memulihkan setiap inci wilayah Suriah.

Menurut Kurd, retorika Assad itu telah membunuh harapan dialog dan bisa memicu arah yang berbahaya dan dahsyat menuju konflik yang tidak diinginkan.[TGU]