Di balik kelamnya sejarah kolonial, ada nama-nama yang mencuat karena keberhasilan maupun kontroversinya. Johannes Benedictus van Heutsz adalah salah satunya.
Tokoh yang dikenal sebagai arsitek keberhasilan Hindia Belanda menundukkan Aceh ini, memiliki rekam jejak yang penuh dengan paradoks, antara modernisasi pemerintahan kolonial dan praktik kekerasan yang brutal.
Untuk memahami lebih jauh kompleksitas sosok ini, mari kita telusuri kebijakan dan dampak yang ditinggalkannya selama menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Strategi di Aceh: Membelah Solidaritas Rakyat
Johannes Benedictus van Heutsz adalah tokoh yang meninggalkan jejak signifikan dalam sejarah Hindia Belanda. Mengutip beberapa sumber, Van Heutsz lahir di Coevorden, Belanda, pada 3 Februari 1851, ia dikenal sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat dari 1904 hingga 1909.
Sebelum memimpin Hindia Belanda, Van Heutsz telah menunjukkan perannya sebagai Gubernur Aceh pada 1898 hingga 1904, dengan strategi yang kontroversial dalam menaklukkan perlawanan rakyat Aceh.
Dalam menghadapi perlawanan Aceh, Van Heutsz didampingi penasihat Islam terkenal, Snouck Hurgronje. Bersama, mereka mengidentifikasi ulama sebagai penggerak utama perlawanan.
Untuk melemahkan solidaritas rakyat Aceh, keduanya mendekati kelompok adat Uleebalang, yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Strategi ini berhasil memecah kekuatan rakyat Aceh, sehingga mereka dapat ditaklukkan.
Sebagai bagian dari pengendalian politik, Snouck Hurgronje membantu merancang perjanjian pendek atau korte verklaring, yang mengharuskan para pemimpin lokal mengakui kekuasaan Hindia Belanda. Format ini kemudian diadopsi dalam perjanjian serupa di wilayah-wilayah Nusantara lainnya.
Kebijakan di Hindia Belanda
Setelah berhasil di Aceh, Van Heutsz dilantik sebagai Gubernur Jenderal. Pada masa jabatannya, ia memperkenalkan berbagai reformasi, termasuk mendukung pelaksanaan Politik Etis yang dicanangkan Kerajaan Belanda pada 1901.
Salah satu kebijakan uniknya adalah melarang pejabat Hindia Belanda menggunakan payung khas raja-raja Jawa sebagai simbol kekuasaan. Ia menganggap simbol tersebut tidak relevan dan mewakili kolonialisme kuno.
Meskipun kebijakan ini menuai kritik dari kelompok konservatif, Menteri Urusan Koloni meyakinkan Ratu Wilhelmina bahwa langkah Van Heutsz sejalan dengan semangat modernisasi dan Politik Etis.
Van Heutsz juga memberikan perhatian pada pendidikan. Bersama Menteri Urusan Koloni Dirk Fock, ia mendirikan sekolah-sekolah teknik dan vokasional di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya pada 1909.
Sebelumnya, pada 1907, ia mendukung pembukaan volkschool atau sekolah rakyat untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat pribumi.
Ia juga mendukung organisasi Budi Utomo dan lembaga pers seperti Bintang Hindia, yang menunjukkan sikap pro-pemerintah Hindia Belanda. Langkah ini dilihat sebagai bagian dari strategi Van Heutsz untuk mempromosikan stabilitas sosial-politik.
Ekspansi Militer yang Berdarah
Namun, pemerintahan Van Heutsz tidak lepas dari kekerasan. Masa pemerintahannya dikenang sebagai salah satu periode paling berdarah dalam sejarah Nusantara. Selain perang di Aceh, ia juga melancarkan ekspansi militer ke wilayah lain seperti:
1. Maluku (Seram) pada 1904,
2. Banjarmasin (1904-1906),
3. Bone dan Sulawesi Tengah-Selatan (1905-1907),
4. Bali (1906), dan
5. Flores (1909).
Ekspansi ini bertujuan menyeragamkan administrasi Hindia Belanda dengan membatasi kewenangan raja-raja lokal, membawa seluruh wilayah Nusantara di bawah kendali Kerajaan Belanda.
Johannes Benedictus van Heutsz adalah cerminan dari kolonialisme yang tidak hanya ditandai oleh dominasi militer, tetapi juga perubahan struktural dan sosial yang mengakar.
Di satu sisi, ia dikenang atas reformasi pendidikan dan modernisasi pemerintahan Hindia Belanda. Di sisi lain, kebijakannya diwarnai kekerasan dan penindasan. Sebagai bagian dari sejarah Nusantara, kisah Van Heutsz menjadi pengingat bahwa kekuasaan sering kali diiringi oleh jejak yang tidak mudah dilupakan. [UN]