Koran Sulindo – PDI Perjuangan (PDIP), memperingati Peristiwa 27 Juli 1996 yang disebut sebagai Tragedi Kudatuli. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto memimpin jajaran pengurus pusat partai untuk mengenang “peristiwa berdarah” di era rezim Soeharto dengan menggelar tabur bunga di kantor pusat, yang berlokasi di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Selasa (27/7).

Tampak hadir sejumlah elite PDIP dalam acara ini. Selain Hasto, hadir Wasekjen Sadarestuwati, dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat, Eriko Sotarduga, dan Ribka Tjiptaning. Hadir juga sejumlah perwakilan keluarga korban peristiwa Kudatuli, yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerukunan (FKK) 124. Semuanya memanjatkan doa, lalu menaburkan bunga di halaman depan gedung tersebut.

Hasto mengatakan, pada era Orde Baru, demokrasi betul-betul dikendalikan serta dikontrol oleh kekuatan elite yang menindas, yang membungkam suara-suara rakyat. Di lokasi kantor PDI saat itu, mimbar demokrasi akhirnya didirikan sebagai respons hak kedaulatan rakyat.

Peristiwa Kudatuli tidak bisa terlepas dari upaya rezim Orde Baru berusaha mengintervensi terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDI saat itu. Kantor partai sebagai simbol kedaulatan lalu diserang secara paksa dan menimbulkan banyak korban.

“Perjuangan kita belum selesai, termasuk di dalam menuntut kebenaran hukum atas peristiwa tersebut,” tegas Hasto.

Hasto menuturkan, PDIP tidak akan pernah bosan datang ke Komnas HAM, mengingatkan perlunya pengadilan koneksitas agar mereka yang terlibat diadili. Seperti aktor-aktor politik sebagai penyusun skenario yang mencoba mematikan suara rakyat dengan menimbulkan korban jiwa di kantor DPP PDI saat itu.

“Ketika menaburkan bunga ini tentunya semangat kita bukan hanya untuk mendoakan arwah para korban, tetapi juga agar keadilan ditegakkan, keadilan yang sebenar-benarnya di mata  hukum dan politik,” tegas Hasto.

Hasto juga menyampaikan pesan Megawati penting  membangun sebuah monumen untuk memperingati peristiwa itu.

“Tadi pagi saya melaporkan kepada Ibu Megawati terhadap acara tabur bunga ini, beliau juga mengingatkan bahwa penting bagi kita di tempat ini untuk membangun monumen 27 Juli,” tutur Hasto.

Karena itu, pihaknya akan segera meminta berbagai masukan agar Monumen 27 Juli bisa diwujudkan. Semangatnya adalah sekaligus bagaimana monumen itu bisa menunjukkan suatu gelora semangat demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, yang tidak pernah bisa dibungkam oleh kekuasaan yang otoriter.

“Dan dengan adanya monumen itu, kita juga mengingatkan agar hal tersebut tidak boleh terjadi kembali,” kata Hasto.

“Kita doakan para korban peristiwa Kudatuli tersebut. Kita doakan bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia, karena kekuatan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat  itu terbukti mampu menumbangkan kekuasaan otoriter Soeharto,” pungkasnya.

Hasto melanjutkan, seluruh anggota dan kader PDIP terus mengingat peristiwa penting tersebut dalam sejarah partai. Dia meminta semua kader merenungi peristiwa tersebut sekaligus terus menyadari bahwa kekuasaan politik yang berasal dari rakyat. Rakyat sebagai cakrawati partai.

“Karena itulah PDIP terus menyatu dengan rakyat itu, mengambil keputusan politik berdasarkan kehendak rakyat, bukan kehendak elite. Pendeknya, jati diri partai berasal dari rakyat sendiri, khususnya wong cilik,” kata Hasto. [CHA]