Sumber: (joshua-kettle-unsplash)

Juliana Marins tidak sedang bertualang ekstrem. Ia hanya ingin menikmati keindahan Gunung Rinjani, seperti ribuan pendaki lain dari seluruh dunia. Tapi pada 21 Juni 2025, perempuan muda asal Brasil itu terjatuh ke jurang sedalam 600 meter saat menuruni jalur pendakian Torean. Ia meninggal dunia, dan jasadnya baru bisa dievakuasi empat hari kemudian oleh porter lokal bernama Agam.

Tragedi ini tak hanya menyisakan duka, tapi juga membuka ruang evaluasi mendalam. Terutama bagaimana komunikasi keselamatan wisata alam dijalankan? Apakah informasi cukup diberikan? Apakah sistem komunikasi kita mampu mencegah insiden fatal?

Sebagai dosen komunikasi, saya melihat kasus ini bukan semata kecelakaan individu. Ini adalah cermin kegagalan komunikasi pada banyak level, seperti krisis, antarbudaya, kelembagaan, hingga teknologi informasi. Di tengah sorotan dunia, Indonesia seharusnya tak hanya berduka, tapi juga berbenah.

Krisis, Tapi Tak Ada Komunikasi Krisis

Tragedi semestinya memicu protokol komunikasi darurat. Tapi dalam kasus Juliana, komunikasi resmi dari pihak Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) maupun pemerintah daerah justru muncul belakangan, setelah video dan testimoni menyebar luas di media sosial.

Inilah contoh klasik dari kegagalan Komunikasi Krisis. Dalam teori yang diperkenalkan Coombs (2007), terdapat tiga prinsip utama, kecepatan, akurasi, dan empati. Ketika institusi lambat merespons, kepercayaan publik bisa runtuh. Netizen pun mengambil alih ruang komunikasi, membentuk opini dan menyebarkan informasi yang belum tentu terverifikasi.

Padahal, komunikasi krisis bukan hanya soal pernyataan pers. Ia harus terstruktur, melibatkan lintas lembaga, dan memperhatikan persepsi lintas budaya apalagi jika korbannya warga asing.

Saat Media Mendikte Realitas

Media memiliki kekuatan untuk membingkai peristiwa. Dalam Teori Agenda Setting, McCombs dan Shaw menjelaskan bahwa media tidak memberi tahu kita apa yang harus kita pikirkan, tapi media menentukan isu apa yang kita pikirkan.

Dalam tragedi Rinjani, media dan media sosial mendorong opini publik bahwa telah terjadi kelalaian, pemula dilepas di jalur ekstrem, SOP (Standard Operating Procedure) tak dijalankan, komunikasi keselamatan lemah. Isu-isu ini menguasai ruang publik, bahkan memantik reaksi dari pemerintah Brasil.

Sayangnya, tidak ada narasi tandingan dari pemerintah yang muncul lebih awal dan kuat. Ketika framing negatif terbentuk dan dibiarkan tanpa klarifikasi terstruktur, maka kredibilitas negara ikut dipertaruhkan.

Komunikasi Antarbudaya untuk Aspek yang Terlupakan

Juliana adalah warga Brasil. Apakah ia benar-benar memahami bahaya jalur Torean? Apakah ia menerima informasi keselamatan dalam bahasa yang ia pahami? Apakah gaya komunikasi pemandunya cocok dengan ekspektasinya sebagai pendaki asing?

Di sinilah pentingnya Komunikasi Antarbudaya. Gudykunst dan Kim (2003) menjelaskan bahwa dalam interaksi lintas budaya, perbedaan sistem simbol, bahasa, dan interpretasi sangat mungkin menimbulkan miskomunikasi. Apalagi jika disampaikan dalam konteks informal, tanpa media visual, atau dalam gaya komunikasi “high-context” seperti khas budaya Indonesia yang cenderung tidak to the point.

Ketika komunikasi keselamatan hanya bersifat verbal, tanpa instruksi visual atau multibahasa, maka kita sebenarnya tengah membiarkan pendaki menafsirkan sendiri risiko yang ia hadapi.

Agam Rinjani dan Simbol Narasi Sosial

Di tengah krisis, muncul nama Agam Rinjani. Porter muda ini viral karena memimpin proses evakuasi dengan peralatan sederhana. Ia dielu-elukan sebagai pahlawan, bahkan disebut lebih manusiawi dari negara itu sendiri. Dalam Teori Dramaturgi (Goffman, 1959), Agam adalah aktor sosial yang hadir di “panggung depan” saat negara diam.

Ia menjadi simbol keberanian, solidaritas, dan kemanusiaan. Narasi ini menyentuh, tapi sekaligus menyedihkan, mengapa kita terlalu sering bergantung pada individu, bukan sistem? Agam mungkin memang pahlawan. Tapi kisahnya tidak boleh menutupi kenyataan bahwa prosedur komunikasi keselamatan dan evakuasi kita masih sangat lemah dan manual.

Gagalnya Difusi Inovasi

Indonesia adalah negara kaya destinasi ekstrem. Tapi dalam hal komunikasi keselamatan, kita masih jauh tertinggal. Jalur seperti Torean belum dilengkapi alat komunikasi modern seperti GPS tracker, radio darurat, atau titik sinyal aman. Bahkan aplikasi informasi pendakian tidak terintegrasi antar lembaga.

Inilah kegagalan Difusi Inovasi (Everett Rogers, 2003). Inovasi bukan soal teknologi mahal, tapi tentang penyebaran ide, penerimaan sosial, dan adopsi kebijakan. Jika lembaga pengelola tak proaktif, dan pendaki tak mendapat akses, maka alat komunikasi hanya jadi wacana bukan penyelamat.

Komunikasi Organisasi yang Tak Terintegrasi

Siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam peristiwa ini? Pemandu? Operator? TNGR? Kepolisian? Fakta bahwa semua saling menunggu dan belum ada protokol komunikasi terpadu menunjukkan lemahnya koordinasi.

Menurut Teori Komunikasi Organisasi, kegagalan dalam aliran informasi vertikal (top-down) dan horizontal (antar divisi) dapat menyebabkan kekacauan pengambilan keputusan. Dalam wisata alam, komunikasi organisasi seharusnya bergerak cepat dan jelas terutama saat menyangkut nyawa manusia.

Apa yang Harus Kita Perbaiki

Tragedi yang menimpa Juliana Marins di Rinjani seharusnya tak berhenti sebagai kabar duka atau sekadar perbincangan di media sosial. Ia mesti menjadi titik balik dalam cara kita memandang keselamatan wisata alam, terutama dalam aspek komunikasi.

Pertama, penting untuk membenahi cara informasi keselamatan disampaikan kepada para pendaki, terutama wisatawan asing. Saat ini, banyak briefing pendakian masih dilakukan secara lisan, dalam bahasa Indonesia, dengan penekanan pada hal teknis seperti rute dan barang bawaan. Padahal, pendaki dari luar negeri membutuhkan penjelasan yang lebih eksplisit, mudah dipahami, dan tersedia dalam berbagai bahasa. Visualisasi jalur, simulasi bahaya, serta panduan yang dicetak dan bisa dibawa harus menjadi standar, bukan bonus. Informasi keselamatan tidak boleh tergantung pada seberapa komunikatif pemandunya, melainkan harus sistematis dan inklusif.

Selanjutnya, para pemandu dan porter lokal harus mendapat pelatihan komunikasi, bukan hanya soal navigasi atau survival. Mereka adalah ujung tombak interaksi dengan pendaki, dan memiliki peran krusial dalam menyampaikan peringatan dan keputusan. Pelatihan komunikasi lintas budaya, etika menjelaskan risiko, serta kemampuan merespons kebingungan atau penolakan pendaki harus dimasukkan dalam kurikulum pelatihan pemandu wisata. Ini bukan hal sepele, karena miskomunikasi kecil bisa berujung pada keputusan fatal.

Kita juga perlu mengintegrasikan teknologi ke dalam sistem komunikasi pendakian. Banyak jalur pendakian di Indonesia yang belum dilengkapi alat komunikasi darurat, GPS tracker, titik koordinat sinyal, atau sistem pelaporan insiden secara real-time. Di era digital, seharusnya sudah ada aplikasi pendakian yang terhubung dengan otoritas taman nasional dan relawan penyelamat. Teknologi bukan untuk gaya-gayaan, ia bisa jadi jembatan hidup bagi yang tersesat, cidera, atau terancam bahaya.

Selain itu, jalur ekstrem seperti Torean perlu dievaluasi secara menyeluruh. Jalur tersebut memang menakjubkan secara pemandangan, tetapi juga sangat berisiko. Keputusan siapa yang boleh mengakses jalur seperti ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada turis atau pemandu, apalagi jika tidak ada sistem yang mengukur kemampuan teknis dan fisik pendaki secara objektif. Harus ada syarat minimal pengalaman, peralatan, dan sertifikasi pendakian sebelum jalur ekstrem dibuka untuk umum.

Terakhir, pemerintah dan pengelola taman nasional perlu memperkuat kehadiran mereka di ruang komunikasi publik. Dalam era digital yang cepat, akun resmi dan kanal informasi institusi harus aktif dan tanggap. Tak cukup hanya mengandalkan pernyataan pers setelah tragedi terjadi. Komunikasi publik harus hadir sebagai bagian dari sistem pencegahan menjawab pertanyaan, menyampaikan peringatan, dan membangun persepsi bahwa keselamatan adalah prioritas bersama.

Semua pembenahan ini bermuara pada satu hal, yaitu membangun sistem komunikasi keselamatan yang tidak sekadar formalitas, tetapi fungsional, manusiawi, dan tanggap zaman. Karena keselamatan tidak bisa digantungkan hanya pada keberuntungan atau keberanian individu seperti Agam. Ia harus dijamin oleh sistem yang berpihak pada kehidupan.

Komunikasi Bisa Jadi Penyelamat

Gunung Rinjani akan tetap indah. Tapi jangan biarkan keindahannya memakan korban lagi. Tragedi Juliana harus menjadi alarm nasional: bahwa komunikasi bukan sekadar urusan teknis, tapi urusan nyawa. Sebagai akademisi, saya percaya, jika komunikasi dilakukan dengan benar jelas, sensitif, terstruktur maka ia bisa menyelamatkan lebih dari sekadar reputasi. Ia bisa menyelamatkan kehidupan. Dan bukankah itu seharusnya jadi tanggung jawab kita bersama?