Dua pasang kerbau berpacu di lintasan Sirkuit Blatung Cina, Kaliakah, dalam lomba Makepung Piala Bupati Jembrana 2019. (BaliPost)
Dua pasang kerbau berpacu di lintasan Sirkuit Blatung Cina, Kaliakah, dalam lomba Makepung Piala Bupati Jembrana 2019. (BaliPost)

Koran Sulindo – Tradisi Makepung adalah permainan balapan kerbau yang sangat populer di kalangan masyarakat petani di Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana. Sebagai tradisi yang telah berlangsung turun-temurun, makepung telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat.

Biasanya, tradisi ini diadakan saat musim tanam padi sebagai sarana hiburan dan pengisi waktu luang. Namun, makepung juga kerap dilakukan pada saat panen raya sebagai bentuk perayaan atas hasil jerih payah para petani.

Makepung kini menjadi identitas budaya Jembrana, sebuah wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai daerah buangan bagi masyarakat “pembangkan” serta daerah yang lebih terbuka terhadap perubahan sosial.

Selain menjadi bagian dari budaya lokal, makepung juga memiliki arti simbolis yang dalam, yakni sebagai olahraga gaya hidup petani Bali yang menunjukkan semangat dan kegigihan dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan semangat tersebut, makepung menjadi sebuah simbol perjuangan untuk meraih impian.

Sejarah Makepung

Tradisi makepung berawal dari kebiasaan para buruh padi yang berusaha menciptakan suasana kerja yang lebih menggembirakan. Inspirasi dari makepung bermula dari keisengan para buruh angkut padi yang sepakat untuk mengadakan lomba adu cepat dengan cikar-cikar (pedati) yang digunakan untuk mengangkut hasil panen.

Pedati tersebut ditarik oleh sepasang kerbau yang penuh dengan muatan padi hasil panen dari subak (sistem irigasi tradisional Bali). Jarak tempuh lomba tersebut melintasi sepanjang area subak.

Keceriaan dan gelak tawa menghiasi suasana perlombaan saat sore menjelang malam, ketika para buruh mengangkut padi. Tak hanya menyenangkan, tradisi makepung juga berdampak positif terhadap kebugaran para buruh dan kerbau yang terlibat.

Berawal dari Desa Buluk, Desa Banyubiru, dan Desa Kaliakah, lomba adu cikar ini terus berkembang hingga menjadi atraksi besar yang dikenal sebagai makepung. Diperkirakan, tradisi makepung ini sudah ada sejak tahun 1920-an.

Atraksi Makepung

Sebagai salah satu tradisi agraris, makepung bukan hanya sekadar lomba pacu kerbau, tetapi juga menjadi bentuk penyeimbang antara aktivitas masyarakat dengan keberadaan subak sebagai organisasi pengelolaan air.

Atraksi makepung kini menjadi bagian dari pesta rakyat yang diselenggarakan di tempat khusus yang disebut arean pakepungan. Selain sebagai hiburan, ajang makepung juga menjadi puncak kegembiraan masyarakat agraris Jembrana sebelum mereka memulai musim tanam berikutnya.

Dahulu, lomba makepung hanya dilakukan antar desa atau tetangga. Namun, seiring waktu, lomba ini diikuti oleh dua kelompok besar yang disebut blok. Setiap kelompok mewakili komunitas pakepungan, sehingga persaingan pun semakin menarik dan meriah.

Properti Atraksi Makepung

Para joki dalam makepung mengenakan kostum khas yang terdiri dari kain tapis, tekes kepala bercorak batik, celana panjang gelap sebatas lutut, serta sempak kolong (padang khas Jembrana) yang terselip di pinggang. Joki biasanya bertelanjang dada, menambah kesan tradisional dalam atraksi ini.

Kerbau yang digunakan dalam makepung juga dipersiapkan secara khusus. Kerbau tersebut dihiasi dengan gelung kepala yang disebut rumbing, sejenis mahkota kecil yang dipasang di kepala kerbau.

Tanduk kerbau pun diberi selongsong berwarna-warni, menambah keindahan dan kemeriahan atraksi. Pedati atau cikar yang digunakan pun diukir dan dicat dengan warna-warna mencolok. Karena properti yang indah ini, dahulu para penjajah Belanda sering menyebut makepung sebagai “Benhur Jembrana”.

Aturan Atraksi Makepung

Jalur yang digunakan dalam makepung adalah jalan tanah berpasir dengan panjang satu kilometer dan lebar empat meter. Bentuk jalurnya menyerupai huruf ā€˜Uā€™, dengan garis start dan finish di tempat yang sama. Pada garis ini terdapat juri dan pengibar bendera untuk menandai pemenang atau hasil imbang.

Setiap pasangan kerbau pepadu (kerbau pacu) ditempatkan berurutan, satu di depan dan satu di belakang dengan jarak lima meter. Saat juri memberikan aba-aba, para kerbau mulai berlari di sepanjang lintasan.

Setelah semua peserta dilepas, lomba dilanjutkan hingga pasangan pertama mencapai garis finish. Uniknya, nomor urut kedua dalam lomba ini bisa menjadi pemenang jika berhasil menyusul lawan di depan.

Tradisi Makepung bukan hanya sekadar lomba pacu kerbau, melainkan juga sebuah simbol budaya yang mencerminkan semangat kebersamaan, kegembiraan, dan perjuangan masyarakat agraris di Bali, khususnya di Jembrana.

Dengan sejarah panjang dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makepung terus dilestarikan sebagai warisan budaya yang memperkaya identitas Bali dan masyarakatnya. Tradisi ini menjadi salah satu atraksi unik yang menunjukkan kearifan lokal dan kebudayaan yang kaya di Pulau Dewata. [UN]