Ilustrasi: Salah satu sudut Kota Jakarta.

Koran Sulindo – Soal ketimpangan atau kesenjangan ekonomi di negeri ini memang bukan berita baru, meski pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengklaim telah mengatasi masalah tersebut. Pada tahun 2016 lalu, misalnya, independent.co.uk  mengutip Credit Suisse Global Wealth Report 2016 yang mengungkapkan, 50% kekayaan nasional Indonesia dan Brasil dikuasai 1% masyarakat kayanya.

Pada tahun 2017 lalu, ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, juga mempertanyakan soal klaim-klaim perbaikan atas ketimpangan perekonomian selama dua tahun terakhir pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla. Apalagi, ungkap Faisal, rasio gini yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS), seperti yang dinyatakan Jokowi pada awal tahun 2017, adalah ketimpangan pengeluaran. BPS tidak mengukur tingkat ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan. Yang dihitung hanya rasio gini berdasarkan pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional.

Itu sebabnya, ketimpangan pengeluaran tentu lebih rendah ketimbang ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan. “Karena perbedaan konsumsi orang terkaya dibandingkan konsumsi orang termiskin cenderung jauh lebih kecil dibandingkan perbedaan pendapatan dan kekayaannya,” tulis Faisal dalam blog-nya.

Perbedaan data pengeluaran dan kekayaan berdasarkan data BPS, lanjutnya, tampak sangat berbeda. Kelompok terkaya sekitar 20% menyumbang 47% pengeluaran, sedangkan kelompok 40% termiskin hanya menyumbang 17% dengan kecenderungan menurun dan stagnan dalam enam tahun terakhir. Fakta tersebut menegaskan, pertumbuhan ekonomi yang disebut tertinggi ketiga di antara negara-negara G20 hanya dinikmati 1% masyarakat kaya Indonesia.

Yang bikin miris lagi, kelompok miliarder Indonesia mendapat 2/3 kekayaannya dari praktik bisnis di sektor kroni, yang dimungkinkan karena kedekatan dengan kekuasaan. Tak mengherankan jika indeks crony-capitalism Indonesia berada di posisi ketujuh dunia pada 2016, yang lebih buruk jika dibandingkan pada tahun 2007 dan 2014.

Dikatakan pula oleh Faisal, hasil pembangunan tidak mampu mengangkat kehidupan rakyat miskin yang hidup pas-pasan. Petani yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia justru mengalami penurunan kesejahteraan. Artinya, hasil penjualan produk pertanian yang dihasilkan petani tidak mampu menutupi harga barang yang menjadi kebutuhannya. Karena itu, nilai barang dan jasa yang mereka beli dari pendapatannya semakin berkurang.

Demikian pula hanya dengan nasib buruh tani. Upah yang mereka terima selama dua terakhir (2015 dan 2016) terus merosot. Kelompok ini termasuk pekerja informal di pedesaan.

Nasib yang hampir sama juga dialami pekerja informal perkotaan. Upah mereka pun mengalami penurunan walau lebih kecil jika dibandingkan dengan upah buruh tani di pedesaan. Padahal, sekitar 58% pekerja di Indonesia merupakan pekerja informal, dengan status pekerjaan yang meliputi berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar. “Penurunan upah riil paling tajam terjadi tahun 2015,” kata Faisal.

Meski ada kenaikan upah minumum setiap tahun, tambah Faisal, itu sama sekali tidak mampu meningkatkan kesejahteraan buruh. Tambahan pula, pengusaha merespons soal ini dengan menurunkan jam kerja, karena menurunnya tingkat produksi. Pengusaha berupaya tidak memecat buruh karena langkah ini justru berbiaya relatif lebih mahal.