Tiga Praktik Koruptif Versi KPK, Mulai dari Pemerasan, Gratifikasi dan Suap

Ketua KPK Firli Bahuri

koransulindo.com – Dalam webinar “Jual Beli Jabatan, Kenapa dan Bagaimana Solusinya?”, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkap tiga jenis tindak pidana korupsi yang erat kaitannya dengan praktik jual beli jabatan, yaitu pemerasan, gratifikasi, dan suap.

Ketiga jenis korupsi ini seringkali menjerat kepala daerah. Lalu bagaimana, praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintah dapat dihindarkan? Itu, kata Firli, harus mulai dari pembinaan SDM di pemerintah daerah yang dilaksanakan secara profesional, akuntabel, transparan, kompetitif, dan jujur.

Bila manajemen ASN dipedomani, maka praktik jual beli jabatan juga tidak akan terjadi. Pasalnya, dalam catatan sejak 2016 hingga 2021 kasus jual beli jabatan telah melibatkan tujuh kepala daerah, yaitu Klaten, Nganjuk, Cirebon, Kudus, Jombang, Tanjungbalai, dan terakhir Probolinggo.

Adapun tujuh kepala daerah yang berurusan dengan KPK yakni, Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk M Taufiqurrahman, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial, dan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.

Kasus teranyar yang sedang ditangani KPK adalah, kasus dugaan suap terkait dengan jual beli jabatan kepala desa di Pemerintah Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Tak tanggung-tanggung, KPK total menetapkan 22 orang sebagai tersangka kasus tersebut.

Empat orang penerima suap kasus tersebut termasuk Bupati Probolinggo periode 2013-2018 dan 2019-2024, Puput Tantriana Sari, dan suaminya, Hasan Aminuddin, anggota DPR RI periode 2014-2019 dan 2019-2024, dan pernah menjabat sebagai Bupati Probolinggo 2003-2008 dan 2008-2013. Sementara, 18 orang sebagai pemberi suap merupakan aparatur sipil negara Pemkab Probolinggo.

Dalam kasus suap jual beli jabatan di Progolinggo saja, kata Firli, ada persyaratan khusus di mana usulan nama para penjabat kepala desa harus mendapatkan persetujuan Hasan, dalam bentuk paraf pada nota dinas pengusulan nama sebagai representasi dari Puput. Para calon penjabat kepala desa juga diwajibkan memberikan dan menyetorkan sejumlah uang.

Adapun tarif untuk menjadi penjabat kepala desa di Kabupaten Probolinggo sebesar Rp20 juta per orang, ditambah dalam bentuk upeti penyewaan tanah kas desa dengan tarif Rp5 juta per hektare.

Semua keputusan yang diambil oleh Puput, kata Firli, termasuk perihal proses seleksi jabatan, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari suaminya, yang merupakan angota DPR RI dari fraksi NasDem.

Bisa dibayangkan, bila jabatan kepala desa saja dijualbelikan, tentu kita jadi bertanya-tanya berapa tarif untuk jabatan camat, kepala sekolah, kepala dinas, sekretaris daerah (sekda), dan jabatan publik lainnya di Pemkab Probolinggo.

Padahal, para pejabat yang diangkat bupati merupakan orang-orang yang nantinya akan mambantu bupati dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, dan melayani masyarakat. Ini bisa dibayangkan, bila jabatan saja diperjualbelikan, maka jangan berharap pelayanan publik terhadap masyarakat dapat optimal.

Perlu Diingat!

Karenanya, kepada para kepala daerah agar menjauhi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang, khususnya dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN. Disebabkan terus berulangnya kasus korupsi terkait pengisian jabatan di lingkungan pemda.

KPK mengungkapkan, jual beli jabatan menjadi salah satu modus korupsi yang kerap dilakukan kepala daerah. Dari hasil pemetaan KPK atas titik rawan korupsi di daerah, KPK mengidentifikasi beberapa sektor yang rentan terjadi korupsi, yaitu di antaranya terkait belanja daerah seperti pengadaan barang dan jasa.

Selanjutnya, korupsi pada sektor penerimaan daerah mulai dari pajak dan retribusi daerah maupun pendapatan daerah dari pusat, dan korupsi di sektor perizinan mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan.

KPK dalam upaya pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola pemerintahan daerah, telah mendorong diimplementasikannya Monitoring Center for Prevention (MCP).

Sementara, untuk mencegah benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang kepala daerah dalam pengisian jabatan, KPK mendorong diimplementasikannya manajemen ASN berbasis sistem merit.

Dalam aplikasi MCP, terdapat lima indikator keberhasilan yang disyaratkan bagi pemda untuk dipenuhi, yaitu meliputi ketersediaan regulasi manajemen ASN berupa peraturan kepala daerah (perkada) atau SK kepala daerah, sistem informasi, kepatuhan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan pengendalian gratifikasi, tata kelola sumber daya manusia (SDM), serta pengendalian dan pengawasan. [WIS]

Baca juga: