Meski tidak harmonis, hubungan Vatikan-China berpotensi membaik dalam masa jabatan Paus Leo XIV. (Sumber: ResearchGate)

Lima hari telah berlalu sejak terpilihnya Robert Francis Prevost sebagai Paus baru, pada Jumat (09/05/2025).

Negara-negara di dunia telah mengucapkan selamat kepada Paus Leo XIV. Ucapan selamat dari Republik Rakyat China cukup menjadi sorotan.

“Diharapkan bahwa di bawah kepemimpinan Paus yang baru, Vatikan akan terus terlibat dalam dialog yang konstruktif dengan China dan melakukan komunikasi mendalam mengenai isu-isu internasional yang menjadi perhatian bersama,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian, dikutip dari China Daily.

Ucapan selamat juga datang dari Asosiasi Patriotik Katolik China (CCPA). Xinhua mempublikasikan berita yang sangat singkat tentang hal itu. Isinya:

“Asosiasi Patriotik Katolik China dan Konferensi Waligereja Gereja Katolik di China pada hari Jumat mengucapkan selamat kepada Paus Leo XIV atas terpilihnya ia sebagai paus baru.”

Dua ucapan selamat tersebut mengingatkan dunia akan hubungan yang tidak harmonis antara Vatikan dan China. Seperti apa sejarahnya?

Memutus Hubungan Diplomatik

Mengutip dari TIME, dua tahun setelah didirikan, rezim Komunis ateis Republik Rakyat China memutus hubungan diplomatiknya dengan Vatikan pada tahun 1951 dan mengusir utusan kepausannya—utusan Tahta Suci—dengan alasan “spionase”, yang tampaknya merupakan penolakan terhadap pengaruh Barat.

Vatikan, sementara itu, mempertahankan hubungan formal dengan Taiwan, pulau yang memiliki pemerintahan sendiri yang diklaim sebagai kedaulatan China.

Di dalam negeri, Konstitusi China mengizinkan kebebasan beragama, dengan beberapa syarat: tidak seorang pun boleh menggunakan agama untuk “melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban umum, mengganggu kesehatan warga negara, atau mengganggu sistem pendidikan negara” dan “kelompok agama dan urusan keagamaan tidak boleh dikendalikan oleh kekuatan asing.”

Katolik adalah salah satu dari lima agama resmi yang diakui Partai Komunis China, tetapi umat Katolik hanya diizinkan secara hukum untuk menjalankan versi agama yang diawasi oleh negara.

Asosiasi Patriotik Katolik China (CCPA)

Masing-masing dari lima agama—empat lainnya adalah Buddha, Taoisme, Islam, dan Protestan—memiliki badan yang dikendalikan pemerintah yang mengelola urusan masing-masing; untuk Katolik, badan tersebut adalah Asosiasi Patriotik Katolik China (CCPA).

CCPA bermaksud memastikan praktik agama Katolik selaras dengan “sinisasi” agama yang digagas Xi Jinping—yang memaksa agama untuk memasukkan agenda politik Partai Komunis China ke dalam ideologi dan praktik mereka.

Sementara Paus umumnya memegang otoritas atas penunjukan uskup di seluruh dunia, CCPA dan Konferensi Waligereja Gereja Katolik di China (BCCCC), organisasi pemerintah lainnya, melakukan penunjukan ini di China tanpa persetujuan Vatikan.

Umat Katolik Bawah Tanah

Namun, sebuah faksi Gereja Katolik, yang secara umum dikenal sebagai umat Katolik bawah tanah, memilih untuk tidak berafiliasi dengan CCPA dan sebagai gantinya mengandalkan Vatikan—serta para uskup yang ditahbiskan secara rahasia—untuk kepemimpinan teologis.

Pemerintah China secara historis telah melecehkan faksi ini, menahan beberapa pastornya, dan menutup gereja-gerejanya.

China memiliki sekitar 6 juta umat Katolik menurut angka resmi, sementara diperkirakan ada tambahan 6 juta anggota Gereja bawah tanah.

Upaya Paus Fransiskus

Pihak kepausan, seperti Paus Yohanes Paulus II, telah berupaya memperbaiki hubungan tersebut, tetapi syarat-syarat Beijing untuk mencapai rekonsiliasi penuh dengan Vatikan dilaporkan mencakup pemutusan hubungan dengan Taiwan dan bersumpah untuk tidak mencampuri cara Partai Komunis China menjalankan Gereja Katoliknya—termasuk penunjukan uskup—yang tidak disetujui oleh Gereja.

Paus Fransiskus berulang kali menyatakan keinginannya untuk mengunjungi China—yang belum pernah dikunjungi oleh Paus mana pun.

Pada akhirnya, ia tidak pernah menginjakkan kaki di sana, tetapi, sebagai tanda mencairnya ketegangan, Beijing mengizinkannya terbang di atas wilayah udara China pada tahun 2014.

Di tahun itu, Paus Fransiskus menyampaikan ucapan selamat kepada Xi Jinping saat ia singgah untuk perjalanan ke Korea Selatan.

Itulah pertama kalinya seorang Paus diizinkan memasuki wilayah udara China dalam perjalanan menuju negara Asia.

Pada tahun 2018, kepausan Fransiskus menyaksikan perkembangan bersejarah lainnya: kesepakatan bersama antara China dan Vatikan tentang pengangkatan uskup. Ini menandai kesediaan untuk berbagi otoritas Katolik.

Rinciannya belum dipublikasikan, tetapi Reuters melaporkan bahwa kesepakatan itu mencakup suatu kerangka kerja di mana otoritas China dan masyarakat lokal akan mengajukan nama-nama uskup baru yang akan disetujui Vatikan.

Sepanjang masa jabatannya, Paus Fransiskus juga meningkatkan profil diplomatik Vatikan dengan terlibat dengan China, kata Thomas Chingwei Tu, seorang peneliti Vatikan di Universitas Nasional Chengchi Taiwan.

Tu menunjuk bagaimana Paus Fransiskus pada tahun 2023 mengirim Kardinal Matteo Maria Zuppi ke China—yang merupakan prestasi langka—bukan untuk misi gerejawi tetapi sebagai bagian dari misi perdamaian untuk Ukraina.

Paus Leo XIV belum menunjukkan posisinya dalam isu Vatikan-China. Namun satu hal yang pasti, ia harus meneruskan upaya Paus Fransiskus untuk memperbaiki hubungan kedua negara, mengingat China secara terang-terangan mengharapkan hal yang sama. [BP]