Pohon enau/kawung. (Foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Maraknya tren minuman kekinian yang disajikan di kafe-kafe modern, menjadikan gula aren menemukan kembali panggungnya. Aroma khas dan rasa legit yang dihasilkannya menjadi andalan dalam berbagai racikan, terutama kopi susu gula aren yang kini banyak digemari.

Namun, di balik popularitasnya, terdapat proses panjang dan penuh ketelatenan yang dijalani oleh para petani gula aren di berbagai pelosok Indonesia salah satunya di Dusun Ciawitali, Desa Cimenga, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan. Di sini hidup seorang petani bernama Baswan yang telah lebih dari 20 tahun mengabdikan diri pada pohon enau sumber manis alami yang kita kenal sebagai gula aren. Bagi Baswan, gula aren bukan sekadar hasil panen. Ia adalah warisan.

Dari Kawung ke Katung

Gula aren berasal dari air nira pohon enau atau disebut kawung dalam bahasa Sunda. Prosesnya dimulai jauh sebelum air nira menetes. Tangkai-tangkai pohon harus ditinggur, yakni diketuk ke arah bunga selama sekitar satu bulan, setiap empat hari sekali. Tujuannya yaitu untuk melemaskan pori-pori atau jalur air nira agar mengalir dengan lancar saat disadap.

“Kalau sudah keluar wangi khas dari bunga, itu tandanya pohon siap disadap,” tutur Baswan di beranda rumahnya, 31/05/2025.

Penyadapan dilakukan menggunakan katung, wadah dari bambu yang digantung di ujung tandan bunga. Saat musim sedang baik, satu dahan pohon bisa menghasilkan hingga 10 gandu, istilah lokal untuk satu buah cetakan gula. Tapi di musim yang kurang bersahabat, paling hanya lima. Semuanya tergantung alam.

Air nira yang terkumpul tak langsung bisa dijadikan gula. Ia harus disaring dulu, lalu direbus dalam kancah sebuah wajan besar dari besi. Di atas api sedang, cairan itu harus terus diaduk agar tidak gosong, sebab bisa menyebabkan rasa gula menjadi pait. Proses memasaknya bisa memakan waktu dua hingga lima jam, tergantung jumlahnya. Saat cairan mulai menyusut, warnanya berubah menjadi kecokelatan dan muncul letupan-letupan kecil tanda bahwa nira mulai menjadi gula.

Setelah cukup kental, cairan dituangkan ke dalam cetakan bambu berbentuk lingkaran. Gula lalu dibiarkan semalaman hingga mengeras dan dingin. “Jangan dibungkus pas masih panas,” pesan Baswan. “Kalau masih panas, nanti lembab dan bisa jamuran.”

Gula aren yang sudah mengeras. (Foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Harga satu bungkus gula aren buatan Baswan berkisar antara Rp60.000 sampai Rp65.000. Isinya? Sepuluh gandu manis alami yang lahir dari kerja keras dan kejujuran rasa. Gula aren yang di buatnya tanpa memakai bahan pengawet kimia apapun, semua dilakukan untuk menjaga cita rasa asli gula aren.

Tak Hanya Pemanis

Gula aren tak hanya hadir sebagai pelengkap kopi kekinian. Di dapur tradisional, gula ini jadi bintang utama dalam berbagai hidangan. Dari klepon yang kenyal dan legit, kolak yang hangat saat bulan puasa, hingga papais, kudapan khas Jawa Barat yang menyimpan manis di balik balutan daun pisang.

Selain rasanya yang lembut dan tak menusuk, aroma khas gula aren adalah sesuatu yang tak bisa ditiru oleh pemanis buatan.

Di tengah laju modernitas, cerita seperti milik Baswan mengingatkan kita bahwa banyak hal berharga lahir dari kesabaran, bukan pabrik. Dari tangan-tangan kasar yang sehari-hari bergulat dengan alam.

Gula aren bukan hanya soal rasa tapi ia adalah narasi tentang ketekunan, tentang hubungan manusia dengan pohon, dan tentang bagaimana sesuatu yang sederhana bisa menjadi bagian dari identitas kita.

Dan selama masih ada orang-orang seperti Baswan, manisnya tradisi itu tak akan pernah hilang. [UN]