Sepeninggal Bung, negeri ini dikelola secara otoriter oleh rezim Orde Baru. Gerakan politik kaum nasionalis yang masih setia mengikuti dan menjalankan ajaran-ajaran Bung sangat dibatasi. PNI, partai yang Bung dirikan bersama tokoh nasionalis lainnya, selalu diawasi gerak-geriknya dan dikerdilkan.

Saya menyaksikan sendiri proses pengerdilan PNI tersebut. Karena, sejak menjadi mahasiswa ITB di tahun 1969, saya sudah menjadi anggota PNI Muda. Walaupun saat itu saya tak memiliki jabatan struktural, hanya menjalankan tugas sebagai pendamping para tokoh-tokoh PNI serta kurir untuk segala surat dan pesan lisan, itu membuat saya mengenal tokoh-tokoh utama PNI, seperti Pak Isnaeni, Mr. Iskaq Tjokroadidurjo, Mr. Hardi, dan anggota-anggota lain. Karena itulah saya cukup tahu perkembangan yang terjadi di dalam tubuh partai kala itu.

Yang lebih menyakitkan lagi, rezim Orde Baru juga melakukan de-Soekarnoisasi, berupaya melakukan pengaburan secara sistematis terhadap peran Bung dalam sejarah bangsa Indonesia. Selain itu, rezim Orde Baru juga “melarang” dan menjauhkan ajaran-ajaran Bung dalam sistem ketataneragaan dan kebijakan pembangunan. Alih-alih menjalankan ajaran Bung tentang kemandirian bangsa dan membangun poros Nefos, pemerintah Orde Baru malah secara gencar mengundang modal asing, terutama dari negara-negara kapitalis-imperialis– yang Bung sebut sebagai Oldefos.

Seperti kerap Bung ingatkan dalam berbagai pidato, ketergantungan terhadap negara-negara Oldefos itu pada akhirnya membuat bangsa dan negara kita didikte kepentingan kaum imperialis. Akibatnya, sistem kapitalisme makin merasuk di negeri ini dan sosialisme Indonesia makin meredup. Kesenjangan sosial-ekonomi antara si kaya dan si marhaen makin lebar.

Singkat kata, negeri kita di bawah rezim Orde Baru makin jauh dari cita-cita kemerdekaan yang Bung gariskan bersama founding father lainnya. Puncaknya, pengkhianatan terhadap cita-cita para founding father tersebut mengakibatkan negeri ini terpuruk dalam krisis ekonomi dan nyaris bangkrut.

Begitulah Bung. Kemudian lahir era reformasi di negeri ini. PDI Perjuangan, partai kaum nasionalis yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, putri sulung Bung, menjadi pemenang dalam Pemilu 1999. Meski sempat tertunda, Megawati kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia, presiden kelima. Di masa kepemimpinan putri Bung tersebut, saya tahu persis banyak pembenahan dilakukan sehingga negeri ini bisa keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, pertumbuhan ekonomi serta tax ratio dan penerimaan meningkat. Megawati berani menyatakan pendapatnya dan berani tampil beda dari kekuatan Barat.

Martabat Indonesia sebagai bangsa yang besar juga mulai pulih. Tapi, seperti juga yang pernah Bung alami, kaum imperialis dari Oldefos merasa terganggu kepentingannya dengan sepak-terjang kepemimpinan Megawati, sehingga ia tidak bisa melanjutkan darma-baktinya untuk negara sebagai Presiden RI.

Kini, setelah 46 tahun Bung berpulang ke haribaan Allah, negeri ini kembali dipimpin seorang presiden yang berasal dari rahim kaum nasionalis, dari PDI Perjuangan. Tapi, rupanya, kaum neo-imperialis masih kuat menancapkan cengkeramanya dalam setiap bidang kehidupan negera-bangsa.

Kami, para pengikut setia ajaran Bung, masih terus berjuang sekuat tenaga dan pikiran untuk menegakkan prinsip-prinsip perjuangan yang pernah Bung canangkan. Perjuangan itu tidaklah mudah, tapi bagaimanapun harus tetap dijalankan. Karena, bagi kami ini adalah sebuah tugas sejarah.

Bung, demikian dulu surat saya. Salam rindu.

EmirMoeis2

 

 

Emir Moeis Pendiri/Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia