Koran Sulindo – Kongres Pemuda pada tahun 1926 dan 1928 membuktikan, gagasan cemerlang punya kaki yang cepat menjadi kuat, sehingga dapat berlari untuk meraih harapan dengan penuh kehormatan. Hasilnya: ikrar bersama yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda 1928, yang merupakan sublimasi dari berbagai penderitaan yang telah begitu lama sama-sama dirasakan oleh bangsa yang dijajah oleh bangsa lain.
Itu sebabnya penyair Sutardji Calzoum Bachri memandang Sumpah Pemuda 1928 sebagai puisi. Bukan hanya indah, Sumpah Pemuda 1928 adalah puisi yang menjadi magnet penarik berbagai macam latar belakang sosial, politik, budaya, etnis, dan berbagai kepentingan di wilayah jajahan Belanda, yang disebut sebagai Hindia Belanda.
Adapun Bung Karno menilai Sumpah Pemuda 1928 memiliki makna revolusioner. Karena, sumpah atau ikrar itu mendorong dibentuknya satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antarbangsa yang abadi.
“Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, Saudara-Saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah-air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Presiden Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda Ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta, 28 Oktober 1963.
Apakah pemantik munculnya gagasan di sebagian kalangan anak muda di Hindia Belanda untuk mengadakan Kongres Pemuda pada tahun 1926?
Tak dapat dinafikan, salah satu yang memiliki pengaruh kuat bagi para pemuda di Hindia Belanda untuk bergerak bersatu dan membuat kongres adalah apa yang dikenal sebagai Manifesto Politik 1925, yang dibuat organisasi Perhimpunan Indonesia, di Belanda. Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Sejak Indische sampai Indonesia (2005) bahkan mengungkapkan, Manifesto Politik 1925 berhasil merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai Ideologi.
Menurut Sartono, Manifesto Politik 1925 yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia di Belanda pada tahun 1925 lebih fundamental daripada Sumpah Pemuda 1928. Karena, dalam manifesto politk tersebut dimuat ihwal perjuangan memperoleh kemerdekaan Indonesia; pemerintahan yang dikelola oleh bangsa sendiri atas pilihan sendiri; kesatuan bangsa sebagai syarat utama perjuangan, dan; menolak bantuan dari penjajah dan pihak lain
Manifesto Politik 1925 itu berbunyi, “Masa depan rakyat Indonesia secara eksklusif dan semata-mata terletak di dalam bentuk suatu pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya, karena hanya bentuk pemerintahan yang seperti itu saja yang dapat diterima oleh rakyat. Setiap orang Indonesia haruslah berjuang untuk tujuan ini sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya, dengan kekuatan dan usahanya sendiri, tanpa bantuan dari luar. Setiap pemecahbelahan kekuatan bangsa Indonesia dalam bentuk apa pun haruslah ditentang, karena hanya dengan persatuan yang erat di antara putra-putra Indonesia saja yang dapat menuju ke arah tercapainya tujuan bersama.”
Pada intinya, sebagaimana diungkapkan sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009), Manifesto Politik 1925 berisi prinsip perjuangan, yakni persatuan (unity), kesetaraan (equality), dan kemerdekaan (liberty). “Sedangkan Sumpah Pemuda sebagaimana ada pada memori kolektif bangsa ini hanya menonjolkan persatuan. Paling tidak demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini melalui slogan populer ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa’,” tulis Asvi.
Jadi, dalam Manifesto Politik 1925, persatuan haruslah dijalankan seiring dengan kemerdekaan dan kesetaraan. Tak dapat dipisahkan.
Asvi Warman menungkapkan, ide-ide Perhimpunan Indonesia dalam buletin Indonesia Merdeka telah mengilhami para pemimpin pemuda yang kelak akan merumuskan Sumpah Pemuda 1928. Memang, sebagaimana diungkapkan sejarawan G. Moedjanto dalam Indonesia Abad Ke-20: Dari Kebangkitan Nasional sampai Linggarjati (2001), Perhimpunan Indonesia dalam memperjuangkan tujuannya, kemerdekaan Indonesia, menyebarkan keyakinan, pertama, perlunya persatuan seluruh nusa Indonesia. Kedua: perlunya seluruh rakyat Indonesia diikutsertakan. Ketiga: adanya pertentangan antara penjajah (kaum sana) dan terjajah (kaum sini) yang tidak boleh dikaburkan. Keempat: perlunya segala cara harus ditempuh untuk memulihkan kerusakan jasmani dan rohani rakyat.