Achmad Soebardjo (sebelah kiri Bung Karno, jas abu-abu
Achmad Soebardjo (sebelah kiri Bung Karno, jas abu-abu)/istimewa

Koran Sulindo –Hanya berselang seminggu setelah Proklamasi Kemerdekaan, pengurus rumah Ahmad Soebardjo menyampaikan bahwa seseorang ingin bertemu. Ia menyebut, tamunya itu telah menunggu di ruang depan.

Ketika Soebardjo beranjak menuju ruang depan, ia merasa pernah mengenal tamunya yang memilih duduk di pojok. Sepintas rautnya mirip Iskaq Tjokrohadisuryo, bekas anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Mulai mendekat, Soebardjo langsung terhenyak. Bukan Iskaq, tetapi kawan lama yang juga sama-sama bertemu di Belanda. “Wah, kau Tan Malaka,” sambut Soebardjo.

“Saya kira kau sudah mati, sebab saya baca di surat kabar kau disebut jadi korban dalam kerusuhan di Birma, ada lagi kabar kau berada di Yerusalem, dan dikatakan mati dalam kerusuhan Israel,” lanjut Soebardjo.

Onkruid vergaat toch niet,” balas Tan Malaka dalam bahasa Belanda sembari tertawa. Jawaban itu kurang lebih berarti; Alang-alang toh tak dapat musnah kalau tak dicabut dengan akar-akarnya.

Setelah berbasa-basi beberapa kejap, Soebardjo langsung to the point. “Apa maksudmu?” tanya Soebardjo.

“Sampai sekarang saya hidup incognito di bawah tanah. Sekarang Indonesia sudah merdeka, saya ingin hidup dan bergerak di atas tanah, secara resmi. Saya ingin menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia,” kata Tan Malaka menjawab pertanyaan Soebardjo.

Dalam bukunya, Kesadaran Nasional sebuah otobiografi, Ahmad Soebardjo mengaku langsung was-was dengan maksud Tan Malaka itu. Apa maksudnya ia ingin berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia? Apakah dia ingin mempengaruhi jalannya Revolusi Nasional dengan pandangannya?

Sebagai orang yang pandai mempengaruhi orang-orang yang tak berpikiran kritis, Soebardjo khawatir Tan Malaka akan berhasil mempengaruhi pemimpin-pemimpin revolusi.

Kawan Lama

Soebardjo mengenal Tan Malaka di Drescher, Belanda pada tahun 1915 ketika ia baru datang ke negeri itu. Soebardjo mengenang, saat berkenalan Tan Malaka sangat kurus karena sakit dan untuk kesehataannya dia tinggal di Bussum. Sebagai orang Indonesia, Tan Malaka tergolong memiliki tubuh yang besar, sekurang-kurangnya lebih tinggi dibanding Soebardjo. Ia mempunyai pundak yang lebar, kuping berdiri dan mata yang tajam. Jika berbicara suaranya tenang dan lembut, tidak seimbang dengan bentuk badannya.

“Saudara Tan tinggal di mana?” tanya Soebardjo.

“Bagaimana seorang zwerver mempunyai tempat kediaman tertentu?” jawabnya, zwerver adalah istilah dalam bahasa Belanda untuk menyebut gelandangan atau ‘pengembara’. “Saya menginap di mana saya dapat tempat berlindung.”

“Kalau begitu, baiknya saudara tinggal buat sementara waktu di rumah paviliun saya saja. Saya perlu mendengar pengalaman Saudara sesudah kita berpisah di Negeri Belanda”

Mendengar pengalaman Tan Malaka mengenai perjalanannya dalam buangan di Eropa, membuat Soebardjo maklum mengapa ia ingin hidup menikmati alam kemerdekaan Indonesia. Mewujudkan keinginan bertemu pemimpin-pemimpin Republik, Soebardjo akhirnya mempersilahkan beberapa orang datang ke kediamannya untuk diperkenalkan dengan Tan Malaka. Demikianlah yang terjadi, berturut-turut datang Gatot Tarunomihardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Sajuti Melik, bahkan Bung Karno.

Pada suatu hari kepada Soebardjo, Tan Malaka memberi tahu bahwa dirinya diajak Sajuti Melik ke rumah Dr Suharto di Kramat Raya. Di sana ia bertemu kembali dengan Bung Karno.

Kepada Tan Malaka, Bung Karno mengatakan dalam perjuanganya ia mengambil banyak petunjuk-petunjuk yang ditulis Tan Malaka dalam Massa Aksi. “Bung Tan, kita sekarang menghadapi kedatangan Sekutu yang akan melucuti Angkatan Perang Jepang. Saya bisa ditangkap, dibuang atau dibunuh. Berhubung dengan kemungkinan itu saya minta kepada Saudara, berikanlah petunjuk-petunjuk kepada pemimpin kami dalam hal taktik dan strategi perjuangan rakyat kita untuk mempertahankan kemerdekaan,” kata Bung Karno.

Mengaku tak dikenal pemimpin-pemimpin Indonesia, Tan Malaka meminta Bung Karno untuk memberi surat kepada dirinya sebagai tanda pengenalan. “Baik, nanti saya sampaikan kepada Bung Tan surat yang dimaksud itu,” kata Bung Karno.

Rupanya Bung Karno memiliki kesan mendalam kepada Tan Malaka, kesan ini bahkan disampaikan saat memimpin sidang Kabinet Menteri di Pejambon. “Saudara-saudara, kita dewasa ini menghadapi kedatangan sekutu. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi akan diri saya. Saya bisa ditangkap, diasingkan atau dibunuh. Teruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan kita. Dalam hal itu saya nanti akan meninggalkan suatu surat di mana saya sebut nama seseorang yang mahir dalam perjuangan massa. Dengarkanlah nasihatnya demi keselamatan Republik kita.”

Testamen

Lagi hari berselang, Tan Malaka masih belum juga menerima surat pengenalan itu. Ia kembali meminta Soebardjo memperingatkan Bung Karno tentang surat itu. Belakangan,  suatu hari Soebardjo menerima telepon bahwa Bung Karno akan datang ke rumah Soebardjo. Ia beritahukan hal itu kepada Tan Malaka dan mereka berdua menemui kedatangannya.

Ketika akhirnya Bung Karno datang, ternyata ia tidak sendirian. Bung Karno datang bersama Hatta yang sekaligus diperkenalkan kepada Tan Malaka. Mereka berempat duduk di ruang belakang rumah. “Bagaimana tentang surat tanda pengenalan yang Bung janjikan?” Tan Malaka langsung bertanya.

“Kami datang ke sini justru untuk menyusun surat itu,” jawab Bung Karno. “Coba susunlah surat itu dengan kata-kata Bung Tan sendiri.”

Soebardjo segera menyiapkan sehelai kerta yang kemudian digunakan oleh Tan Malaka untuk menulis maksudnya. Selesai membuat konsep, tulisan itu disampaikan kepada Bung Karno.

Segera setelah membacanya, Bung Karno menyerahkan konsep itu kepada Hatta. Ia mengusulkan agar tanda pengenalan Tan Malaka itu diubah menjadi surat amanat dari Soekarno-Hatta yang kemudian dikenal sebagai ‘testamen politik’.

Soebardjo menyebut pada pokoknya surat itu berbunyi, “kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas diri Soekarno-Hatta, maka pimpinan perjuangan kemerdekaan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, dan Wongsonegoro.

Nama Sjahrir diusulkan Hatta karena pengaruhnya di kalangan pemuda intelektual, sedangkan Wongsonegoro di kalangan Pamong Praja. Menggenapi usul Hatta, Soebardjo menyebut nama Iwa Kusuma Sumantri karena sebagai orang Sunda ia memiliki pengaruh kuat di Jawa Barat.

Demikian amanat itu yang kemudian diketik Soebardjo dengan dibuat tiga copy untuk masing-masing disampaikan kepada nama-nama yang dimaksud itu.

Beralasan suasana yang tak aman karena revolusim Soebardjo mengaku  tak bisa lagi menyampaikan surat-surat itu kepada ketiga nama selain Tan Malaka itu. Ia juga menyebut, setelah beberapa saat tinggal di rumahnya Tan Malaka minta diri. Ia menyebut mau pergi ke Jawa Tengah.[TGU]