Ilustrasi: Personel TNI.

Koran Sulindo – Banyak perwira menengah dan tinggi di TNI tak memiliki pekerjaan yang jelas. Atas dasar itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun menginginkan para penganggur terselubung tersebut mengisi jabatan di institusi sipil, tanpa perlu mengundurkan diri dari dinas kemiliteran.

“Kami menginginkan bahwa lembaga atau kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu, eselon dua. Tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya, sehingga kolonel bisa masuk di sana,” ungkap Hadi di Mabes TNI, Jakarta Timur, 31 Januari 2019.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang TNI sendiri menyatakan, hanya ada 10 lembaga sipil yang dapat menyediakan jabatan bagi para perwira aktif TNI, selain bekerja di internal militer tentunya. Dalam pasal 47 undang-undang itu disebutkan, 10 kementerian dan lembaga tersebut adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam); Kementerian Pertahanan; Sekretariat Militer Presiden; Badan Intelijen Negara; Badan Sandi Negara; Lembaga Ketahanan Nasional; Dewan Ketahanan Nasional; Basarnas; Badan Narkotika Nasional, dan; Mahkamah Agung.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sisriadi juga menyatakan, wacana itu muncul karena banyaknya permintaan dari setidaknya 10 kementerian yang membutuhkan tenaga dan keahlian para perwira. “Ada masalah kelebihan dan ada yang ingin meminta, sehingga disampaikanlah mungkin bisa diselesaikan dengan membuat undang-undang,” ungkap Sisriadi di Balai Media TNI, Jakarta Pusat, 6 Januari 2019.

Dalam kesempatan itu, ia juga dengan tegas menampik rencana tersebut dinilai sebagai upaya membangkitkan kembali Dwifungsi TNI (yang pada masa rezim Soeharto dinamakan Dwifungsi ABRI dan membuat negara ini dijalankan secara militeristis). “Dwifungsi menempatkan ABRI sebagai kekuatan pertahanan, sosial, dan politik. Tapi politik sudah kami hindari sejak reformasi. Mencium bau politik saja kami sudah sakit gigi,” kata Sisriadi.

Apa yang akan dijalankan sekarang justru menguntungkan, karena perwira TNI punya militansi. “Ada kementerian tertentu yang menggunakan tenaga perwira TNI, mereka keuntungannya militansi, tapi bukan militerisme,” ujarnya.

Diakui Sisriadi, pemberian jabatan sipil untuk perwira aktif TNI butuh proses panjang. Karena, untuk merevisi Undang-Undang TNI harus dibahas dulu di DPR. “Revisi undang-undang butuh waktu. Ketika selesai, mungkin sudah tidak ada lagi persoalan kelebihan perwira. Setelah perubahan masa pangkat, secara alamiah tiga-lima tahun ke depan jumlah perwira akan kembali normal,” ujarnya.

Alternatif solusinya: mendirikan lembaga lintas matra bernama Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) di tiga zona wilayah Indonesia. Gagasan pembentukan lembaga ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010. Namun, sampai sekarang belum diwujudkan karena keterbatasan anggaran pemerintah.

Kini, menurut Sisriadi, rencana itu telah disetujui Presiden Joko Widodo dan akan segera bergulir. “Kalau sudah ada tiga Kowilhan akan ada 60 jabatan jenderal baru dan 240 kolonel bisa terserap,” tuturnya.

Namun, menurut Panglima TNI dalam amanatnya yang dibacakan Inspektur Jenderal TNI Letjen Muhammad Herindra, Selasa (5/3), ada kementerian dan lembaga baru yang juga bisa diduduki perwira aktif TNI, antara lain Kementeriaan Koordinator Bidang Kemaritiman, Kantor Staf Presiden (KSP), dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).  “Saat ini, Undang-Undang TNI masih dalam proses revisi dengan menambahkan beberapa kementerian, antara lain Kemenkomaritim, Kantor Staf Kepresidenan, dan Badan Keamanan Laut,” kata Panglima TNI seperti yang diungkapkan Herindra di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Dalam revisi undang-undang tersebut, lanjutnya, juga akan diubah nama dan nomenklatur lembaga, seperti Sandi Negara menjadi Badan Siber dan Sandi Negara serta Badan SAR Nasional (Basarnas) menjadi Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan. Akan halnya TNI yang akan menempatkan personelnya di berbagai kementerian dan lembaga, ungkap Herindra lagi, karena adanya kebutuhan untuk pelaksanaan tugas menjaga kedaulatan negara.

“Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 dilaksanakan karena ada kementerian atau lembaga yang baru terbentuk setelah tahun 2004,” tuturnya.

Pada amanatnya itu, Panglima TNI juga menyatakan, restrukrisasi TNI bukan berarti dijalankan kembali Dwifungsi TNI. Karena, penempatan perwira TNI di kementerian atau lembaga sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 berlaku.

“Karena, secara profesionalitas, banyak perwira kita, yakni Angkatan Laut, yang sudah menduduki jabatan di Bakamla. Kemudian sekarang ada KSP, makanya sekarang ditambahkan,” katanya.

Toh, banyak pihak meragukan penjelasan dan pernyataan pihak TNI itu. Puluhan lembaga swadaya masyarakat menolak rencana tersebut. Mereja juga membuat petisi “Tolak Kembalinya Dwi-Fungsi ABRI melalui Penempatan TNI di Lembaga Sipil” di www.change.org, yang sampai artikel ini ditulis telah lebih dari 50 ribu orang ikut menandatangani.

Mereka menilai, rencana penempatan militer aktif pada jabatan sipil tidak tepat. “Seharusnya, restrukturisasi TNI itu harus melihat pada efektivitasnya menjalankan fungsi pertahanan dan tentunya enggak boleh bertentangan dengan agenda reformasi TNI,” demikian antara lain ditulis dalam pengantar petisi tersebut.

Sebenarnya, jauh-jauh tahun sebelum wacana ini muncul pada awal tahun 2019 lalu, peingatan sudah dilontarkan pakar militer dan politik Dr. Salim Said. “Saya harap Presiden ingatkan aparat, jangan rayu tentara kerjakan pekerjaan sipil,” katanya setelah makan siang dengan Presiden Joko Widodo di Istana, Jakarta, 5 Juni 2015, sebagaimana dikutip banyak media.

Dijelaskan Salim, keterlibatan TNI dalam politik karena adanya dua faktor, yakni faktor pendorong (push) dari internal TNI dan faktor tarikan (pull) dari kekuatan politik sipil. Menurut dia, politisi sipil yang melakukan itu karena kurang percaya diri dalam berpolitik secara demokratis dan masih memandang  TNI sebagai kekuatan politik yang perlu dimanfaatkan untuk melawan pesaingnya. Godaan menggandeng TNI dalam politik merupakan  langkah cepat dan mudah dalam meraih kekuasaan. “Muncul kecenderungan, posisi tawar politisi sipil semakin kuat ketika berhasil menggandeng pengaruh TNI,” tuturnya. [PUR]