Cuplikan dari film Max Havelaar
Ilustrasi: Cuplikan dari film Max Havelaar (1976)/virtual-history.com

MAX HAVELAAR  adalah sebuah novel karya Multatuli. Multatuli sendiri adalah nama samaran yang digunakan penulis Belanda yang lahir di Amsterdam, Eduard Douwes Dekker (1820-1887).

Buku Max Havelaar yang terbit dalam bahasa Belanda mempunyai judul asli “Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij”  (Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Roman ini ditulis oleh Multatuli hanya dalam waktu satu bulan pada 1859 di sebuah losmen di Belgia. 

Douwes Dekker dianggap sebagai pahlawan anti penjajahan kolonialisme oleh bangsa Indonesia. Bahkan seorang Pramoedya Ananta Toer dalam artikelnya di majalah New York Times (18 April 1999, hlm. 112-114), menyebut buku Max Havelaar sebagai “The Book that Killed Colonialism” atau “buku yang membunuh kolonialisme.”

Mungkin Max Havelaar memang sempat  membangkitkan gelombang ketidaknyamanan di Eropa serta mengobarkan api anti-kolonialisme, namun ada baiknya kita juga melihat sisi lain Eduard Douwes Dekker.

Fakta Tentang Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker mulai bekerja di Lebak pada 22 Januari 1856 dan meninggalkannya pada 20 April 1856, setelah pengunduran dirinya dikabulkan pemerintah Belanda pada 4 April di tahun yang sama.

Bergsma adalah pengagum buku Max Havelaar karya Eduard. Ia pun meminta kepada pemerintah Belanda agar ditempatkan di Lebak, Banten. 

Pada 1862, di hari pertama ia tiba di Lebak, Bergsma mengumpulkan semua pejabat pribumi dan bertanya apakah ada yang mengingat Asisten Residen Douwes Dekker. Dari sekian banyak orang ternyata hanya satu orang yang mengingat Eduard, ia menggambarkannya sebagai, “Tuan Asisten yang belum keliling.” Demikian dikisahkan Rob Nieuwenhuys dalam Mitos dari Lebak (2019, hlm. 56), 

Kenyataannya bahwa hanya ada satu orang yang mengingat Tuan Asisten Douwes Dekker, itu pun karena ia satu-satunya pejabat pemerintah yang tidak pernah turun ke bawah dan bertemu langsung rakyatnya untuk memantau kondisi mereka.

Sebagai buku, Max Havelaar, memang sempat menjadi bacaan wajib kaum terpelajar. 

Namun, hanya dalam waktu tiga bulan berdinas, dengan kondisi menutup diri di kantor tanpa berkunjung ke pelosok-pelosok, tidak juga menguasai bahasa Sunda-Banten, bahkan tanpa kunjungan balasan ke rumah Bupati Lebak, Eduard Douwes Dekker telah menyusun sebuah roman yang menggoyang Belanda dan Hindia-Belanda. 

Sebelum di  Lebak

Eduard pernah bertugas di Natal, Mandailing, Sumatera. Dengan gaya hidupnya yang aristokratis sekaligus beringas, membuat Eduard mendapat julukan “Sang Lord yang eksentrik”. Menurut catatan Willem Frederik Hermans dalam bukunya, mungkin karena Eduard menjadi pejabat pemerintah masih di usia masih muda maka membawa perilaku buruk dari negeri asalnya.

 “Ia mengambil seorang gadis bumiputera untuk menemaninya di rumah dan di tempat tidur. Si Upi Keteh pun (nama gadis bumiputera tersebut) masih berusia 13 tahun,” tulis Hermans.

Kebiasaan buruknya sejak di negeri Belanda sering kumat yaitu menghabiskan uang di meja judi, menempeleng orang seenaknya dan mengajak berduel.

Hingga suatu hari karena kecerobohan administrasi yang dilakukannya, Eduard dipanggil menghadap Gubernur Pantai Barat Sumatra, Gubernur Michiels di Padang dan ia tidak bisa mempertanggungjawabkan kekurangan kas pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Gubernur Michiels pun memberi sanksi, gajinya ditahan dan diberhentikan sementara. Eduard tidak boleh meninggalkan kota Padang, kemudian selama setahun hidup tanpa gaji dan seketika ia jatuh menjadi warga sipil pengangguran. Komunitas kecil Eropa di Sumatera pun mengucilkannya.

Setelah setahun lebih, pemerintah pusat Hindia Belanda memerintahkan Eduard ke Batavia. Ia lalu berangkat ke ibukota Hindia-Belanda dalam keadaan miskin. Hanya membawa beberapa barang, diantaranya: naskah dramanya yang pertama De Eerloze (Orang Tidak Terhormat) dan naskah Losse Bladen uit het Dagboek van een Oud Man.

Di Batavia, atas bantuan mantan atasannya, Ruloffs, ia kembali bekerja di Dinas Keuangan Hindia-Belanda. Pada masa ini, ia bertunangan dan kemudian menikah di Cianjur, April 1846, dengan Everdine Huberta, Barones van Wijnbergen. 

Atas bantuan Ruloffs pula, Eduard bisa membayar uang yang hilang di Natal. Begitu utangnya lunas, Eduard menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Jan Jacob Rochussen. Dan ia kemudian ditugaskan di Purwakarta, yang termasuk wilayah Residence Karawang. Tak lama, pada Mei 1846, Eduard mendapat promosi, tapi sekaligus semacam pembuangan, sebagai komis di kantor residensi Bagelen, Purworejo, sebuah tempat yang sangat terpencil pada sekitaran waktu itu.

Eduard juga sempat dipromosikan menjadi Sekretaris Residen Manado. Ini jelas sebuah kemajuan besar. Dan kesulitan keuangan pun turut menghilang. Kehidupan dalam pergaulan kecil Eropa di Manado sangat menyenangkan dan penuh sopan santun.

Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang baru, Albertus Jacobus Duymaer van Twist, kemudian menunjuk Eduard sebagai asisten residen di Ambon. Tapi tampaknya Eduard tidak betah, ia hanya bertahan lima bulan di Ambon, lalu minta cuti untuk pulang ke Eropa, permintaan itu dikabulkan pemerintah.

Di Amsterdam, Eduard dan istrinya hidup  mewah. Mengakibatkan gaji cutinya lambat laun menipis. Ambisi hidup sebagai seniman ternyata tidak cocok. Gaya hidup Eduard yang eksentrik, suka berjudi dan pesta, membuat utang semakin bertumpuk. 

Kesulitan hidup ini memaksa Eduard memutuskan kembali bekerja di Hindia-Belanda. Tahun 1855 Eduard dan keluarganya berlabuh di Batavia dan menghadap Gubernur Jenderal  Duymaer van Twist, di Istana Buitenzorg. 

“Saya merasa simpati dengannya karena kecintaannya kepada orang bumiputera. Ketika Lebak terbuka dan saya tahu keadaan penduduk di tempat itu buruk, saya berpikir bahwa ialah orang yang pantas ditugaskan di sana. Meski Dewan Hindia tidak mengusulkannya, saya mengangkatnya menjadi asisten Residen di Lebak,” terang Duymaer van Twist.

Kenyataan Douwes Dekker di Lebak

Pada 24 Februari 1856, atau sebulan sejak ia menjadi Asisten Residen Lebak, Douwes Dekker sudah mengirim surat kepada atasannya, Residen Brest van Kempen. Suratnya menyatakan bahwa Bupati Lebak saat itu, Raden Adipati Karta Natanagara, telah menyalahgunakan kekuasaan. Ia mengusulkan supaya Bupati Lebak, yang kedudukannya setara dengan dirinya, segera dipecat. 

Van Kempen, yang dikenal sebagai pejabat kolonial yang baik, terkejut menerima surat tersebut. Residen Brest van Kempen tidak percaya begitu saja ia kemudian meminta bukti-bukti yang mendasari tuduhan Eduard tersebut untuk diselidiki lebih lanjut. 

Eduard menolak memberikan apa yang diminta dan menyatakan akan bertanggung jawab penuh dan mengatasinya sendiri. Menurut Rob Nieuwenhuys dalam Mirror of the Indies (1999, hlm. 85), van Kempen tidak membiarkan asistennya melakukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab dirinya. Ia lantas mengirim surat untuk menjelaskan situasi tersebut kepada Gubernur Jenderal Duymaer van Twist, yang mengenal Eduard secara pribadi dan yang menempatkannya di Lebak.

Dewan Hindia murka dengan tindakan Eduard dan mengusulkan untuk dipecat. Sementara Duymaer van Twist memilih untuk memindahkannya ke kota lain, yaitu Ngawi. Namun Eduard tidak bersedia dan memilih mengundurkan diri. Hanya dalam tiga bulan, drama Lebak itu usai sudah.

Nasib buruk Eduard terulang lagi di Jawa seperti di Natal-Sumatera, yaitu sebagai pengangguran, ia pun kembali pada bakat yang telah milikinya sejak lama: menulis prosa, sampai akhirnya meninggal pada 19 Februari 1887 di Ingelheim am Rhein, Jerman.

Mengapa Buku Max Havelaar Akhirnya Terbit Padahal Buku Tersebut Menyudutkan Pemerintah Belanda?

Desas-desus bahwa Eduard hendak menerbitkan buku yang menentang pemerintah membuat gusar pemerintah Belanda maupun Hindia Belanda yang dikenal munafik dan anti-kritik. Menteri Urusan Tanah Jajahan, Jan Jacob Rochussen, bahkan merasa perlu mengirim surat kepada Van Lennep, penerbit buku Eduard. 

Rochussen bahkan berjanji akan mengembalikan jabatan Eduard di Hindia Belanda jika ia tidak menerbitkan bukunya. Tapi Eduard, dalam surat kepada Tine, istrinya, sebagaimana ditulis Rob Nieuwenhuys dalam Mirror of the Indies (1999: 86-87), menyebutkan bahwa Eduard mengajukan beberapa syarat, termasuk uang muka dalam jumlah besar, bintang kehormatan Order of the Netherlands Lion, dan kedudukan di Dewan Hindia. Rochussen murka dan menolak mentah-mentah permintaan Eduard. 

Maka terbitlah Max Havelaar. Buku yang kemudian mengguncang pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Penulisnya bahkan dianggap pahlawan oleh bangsa Indonesia karena berdiri berlawanan dengan pihak penjajah. Namun beberapa pihak menyebutkan bahwa novel Max Havelaar lebih merupakan teriakan lantang Eduard Douwes Dekker yang menggugat nasibnya sendiri lewat idealisme yang ia paksakan di Lebak. [S21]