Ilustrasi Kelaparan
Ilustrasi/Pinterest

Koran Sulindo – Jumlah penduduk dunia tahun 2050 diperkirakan mencapai 9,7 miliar, atau  bertambah sebanyak  3,5 miliar dari sekarang. Ini artinya dalam kurun waktu 50 tahun mendatang penduduk dunia akan meningkat dua kali lipat. Beberapa tantangan global terkait dengan ledakan jumlah penduduk adalah isu ketersediaan pangan.

Demikian dikatakan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Ss., Ph.D, dalam pidato sambutannya saat wisuda pasca sarjana UGM, Kamis (19/1). “Setiap hari ada 797 juta orang menderita kelaparan dan sekitar 2 miliar orang kekurangan gizi,” ujarnya.

Menurut Iwan, semakin besar jumlah penduduk maka berdampak makin banyaknya masyarakat yang membutuhkan makanan olahan daging, telur dan susu, ditengah produksi rumput dan biji-bijian makin terbatas karena makin jarangnya orang memilih hidup bertani atau bercocok tanam sebagai  pekerjaan tunggalnya. Ini masih ditambah lagi dengan persoalan urbanisasi yang terjadi secara massif menyisakan berbagai masalah lingkungan dimana lahan subur yang bisa ditanami tanaman pangan makin terbatas.

“Lapisan subur dari tanah makin menghilang. Akibatnya sekitar 40 persen daratan dunia menjadi gersang. Keadaan ini diperburuk oleh meningkatknya suhu global yang menghakibatkan semakin banyak lahan menjadi padang pasir,” kata Iwan.

Sebagai gambaran kata Iwan, diperlukan 1500 liter air untuk menghasilkan produksi 1 kilogram gandum. Lalu diperlukan 16 ribu  liter air untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi. Dengan begitu produksi makanan menyerap  70 persen kosumsi air dunia. Itu artinya pada tahun 2050 kita memerlukan air yang jumlahnya dua kali lipat daripada hari ini.

Melihat tantangan tersebut, menurut Iwan, perlu dikembangkan sistem pertanian yang  dapat menjamin keberlangsungan suplai makan yang memadai dengan harga yang terjangkau. Untuk itu sistem  yang dikembangkan harus menjamin setiap orang yang terlibat dalam proses produksi akan mendapat manfaat termasuk pemilik lahan terbatas, wanita, anak-anak dan usia lanjut.

Fenomena global selanjutnya, lanjut Iwan, yakni situasi pertumbuhan ekonomi dunia yang makin stagnan. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi dunia makin mengkhawatirkan. Isu global seputar pengangguran berujung makin lebarnya jurang pendapatan antara si kaya  dan si mikin.

“Lebih dari sepuluh tahun terakhir, pendapatan perkapita keluarga penduduk dunia relatif stagnan bahkan menurun dibandingkan dengan kebutuhan harian. Ini memicu kerentanan sosial, terutama diterjadi negara maju dan negara berkembang,” tuturnya.

Melihat kenyataan ini Iwan  menilai bahwa Indonesia perlu memperkuat perekonomian yang kini bergerak dan berkembang. Pendekatan yang berorientasi pada masyarakat  adalah salah satu cara untuk mencegah disparitas kestabilan sosial dan kemiskinan, meski jargon ini sulit dilakukan. Kerjasama antara pemerintah dan swasta menurutnya menjadi kunci  untuk menjawab tantangan dunia menghadapai pertumbuhan ekonomi dan inklusi sosial. Setiap komponen bangsa perlu terlibat  dalam menghadapi dan menjawab tantangan global ekonomi dunia.

“Dengan bekerja inovatif, efektif, meningkatkan produktivitas, berjiwa kewirausahan dan pemanfatan teknologi secara arif, saya kira bisa menjadi solusi,” ujar Iwan berpesan kepada para wisudawan.

Sementara itu sehari sebelumnya, di hadapan para lulusan program pasca sarjana UGM, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK), Agus Susanto, MM., mengungkapkan bahwa tenaga kerja Indonesia saat ini sekitar 123 juta. Dari 123 juta ternyata yang tingkat pendidikannya SD ke bawah itu ada 53 juta. Sementara yang lulusan sarjana hanya 6,7 %. Data ini menunjukkan tingkat pendidikan tenaga kerja saat ini yang terbilang cukup rendah. Padahal, untuk meraih peluang yang ditawarkan melalui momentum pertumbuhan ekonomi saat ini Indonesia memerlukan tenaga kerja yang berkualitas.

“Karena itu kemampuan tenaga kerja Indonesia perlu ditingkatkan agar dapat bersaing dengan tenaga kerja asing, khususnya di tengah ekosistem digital yang ada saat ini,” ujarnya.

Terkait upaya peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia, peran dari BPJS Ketenagakerjaan adalah untuk memberikan perlindungan jaminan sosial kepada seluruh tenaga kerja di Indonesia. Untuk itu, BPJS Ketenagakerjaan terus menciptakan inovasi sosial untuk memperluas cakupan peserta di tahun 2017.

Salah satu inovasi yang dikeluarkan oleh BPJS dalam menjangkau tenaga kerja hingga ke tingkat yang paling kecil adalah melalui program PERISAI yang telah dijalankan di Yogyakarta dan Jember sebagai pilot project.

“Inovasi dengan agen perisai ini akan membantu kami untuk menjangkau peserta di mana pun berada untuk memberikan sosialisasi, bimbingan, dan nasihat utamanya berhubungan dengan jaminan sosial,” kata Agus.

Ditambahkan Agus, peserta BPJS hingga akhir tahun 2016 sebesar 22,6 juta dengan pertumbuhan sebesar 17%. Untuk tahun 2017 target kita memiliki 25,2 juta peserta aktif. [YUK]