Penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Dirdik KPK Aris Budiman [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Setelah kesaksian Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Aris Budiman di hadapan Panitia Khusus (Pansus) Angket, internal lembaga itu disebut sedang berkonflik. Akan tetapi, penjelasan Aris itu sama sekali tidak menggambarkan bagaimana sesungguhnya konflik di KPK.

Penjelasan Aris justru secara sepihak menuding penyidik senior KPK Novel Baswedan sebagai sosok yang paling “berkuasa” di lembaga itu. Aris di hadapan anggota Pansus menyebut Novel mampu mengubah sebuah keputusan di KPK dan oknum demikian sangat “berbahaya” dan bisa mengganggu kinerja lembaga.

Tapi, apa sesungguhnya yang terjadi di KPK? Perdebatan antara Aris dan Novel rupanya berkaitan dengan rekrutmen kepala satuan tugas (Satgas) di KPK. Aris mengusulkan kepala Satgas diambil dari Mabes Polri yang berpangkat Ajun Komisaris atau Komisaris Polisi. Novel yang mewakili wadah pegawai KPK menolak usulan tersebut.

Ia berpendapat kepala Satgas sebaiknya dipimpin oleh penyidik yang berasal dari internal KPK. Apalagi disebut Novel banyak penyidik yang mumpuni untuk memimpin sebuah Satgas di KPK. Bahkan Aris pada 2016 disebut Alghiffari Aqsa, kuasa hukum Novel, merekrut penyidik tidak sesuai dengan aturan KPK.
“Mewakili wadah pegawai KPK, Novel menyampaikan protes kepada Aris. Lalu, melalui email juga disampaikan protes secara baik-baik,” kata Alghiffari.

Ketika memberi keterangan di Pansus Angket KPK, Aris juga berpendapat demikian. Tidak ada pertentangan secara terbuka dengan Novel, hanya beradu konsep dan ide. “Menentang secara terbuka setelah saya dikirimi email,” Aris beberapa waktu lalu di depan anggota Pansus DPR.

Menurut Alghif, kendati Novel mengirimkan email protes kepada Aris, namun tidak pernah membocorkannya kepada yang lain. Bahkan tidak hanya sekali Novel berkirim email kepada Aris. Isi email yang kedua, Novel menyayangkan mengapa Aris menyebarkan email tersebut, padahal itu adalah email internal KPK.

Menanggapi hal tersebut, Aris justru mengatakan, pesan Novel itu bisa saja tersebar ke penyidik di Mabes Polri. Menurut Alghiffari, kata-kata demikian terlontar dari Aris ketika bertemu dengan Novel setelah pengiriman email. “Kita menduga justru ada kebocoran dari dia,” tutur Alghif.

Persoalannya kini semakin runyam setelah Aris menganggap email yang disampaikan Novel kepadanya adalah sebagai bentuk penghinaan. Ia pun melaporkan Novel dengan tuduhan pencemaran nama baik. Berbeda dengan kasus penyerangan terhadap Novel, Kepolisian Daerah Metro Jaya secara super-cepat memproses laporan Aris. Hasilnya: Novel tersangka.

Puncak perbedaan pendapat kedua orang tersebut karena isi email Novel yang menyebut Aris sebagai Direktur Penyidikan KPK terburuk sepanjang masa. Email ini pula yang memicu emosi Aris kepada Novel. Itu terjadi pada 14 Februari 2017.

Keberatan Novel berujung pada pemberian Surat Peringatan II dari pimpinan KPK. Belakangan keputusan itu ditarik karena protes sejumlah pihak termasuk mantan komisioner KPK. Tentu saja itu membuat Aris tidak puas. Karena itu pula, Aris menyebut Novel “berkuasa” di KPK.

Aris dan Sejumlah Kasus
Aris dilantik menjadi Dirdik KPK pada 16 September 2015 oleh Taufiequrachman Ruki, yang saat itu menjabat sebagai Plt Ketua KPK. Semenjak menjabat, Aris mengaku kesulitan dalam melaksanakan tugas, terutama perihal rekrutmen penyidik dari Polri.

“Ini akan diperkirakan ada masalah pada periode tertentu. Ini friksi berkaitan dengan posisi. Saya ingin menata tapi kesulitan,” kata Aris saat menghadiri rapat Pansus.

Aris Budiman Bulo lahir di Pangkajane 25 Januari 1965. Ia boleh dibilang termasuk senior di kepolisian. Ia meniti karier dan mulai dikenal sejak menjabat sebagai Kapolsek Kurik dan Kapolres Merauke. Usianya ketika itu boleh dibilang masih muda: 24 tahun.

Setelah itu, ia diangkat menjadi Kapolsek Metro Tebet, Jakarta Selatan pada 1990. Lalu, menjadi Kapolres Metro Jakarta Selatan. Selanjutnya pada 2009, Aris menjadi Kapolresta Pekalongan yang kemudian menjadi Dirreskrimsus Polda Metro Jaya pada 2014 dan menjadi Wakil Direktur Tipikor Bareskrim Mabes Polri pada 2015.

Dianggap cemerlang, Aris diangkat menjadi Dirdik KPK pada 2015 dan selama mengabdi, ia berhasil mengungkap kasus “besar” yang antara lain menetapkan bekas Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka proyek pengadaan quay container crane tahun anggaran 2010. Kendati telah menjadi tersangka, kasus Lino justru mandek tanpa alasan yang jelas.

Ia juga disebut berhasil mengungkap dugaan korupsi pembangunan Stadion Gelora Bandung Lautan Api yang menghabiskan dana Rp 545 miliar. Juga kasus korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) yang menyeret sejumlah nama anggota DPRD DKI, dan dugaan pemungutan biaya pembuatan paspor dengan tersangka mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Akan tetapi kasus tersebut menguap.

Dalam kasus korupsi KTP elektronik, Aris disebut membocorkan rencana penyidik memanggil Miryam S Haryani, mantan anggota DPR dari Hanura. Dari situ, anggota Komisi III DPR menawarkan bantuan kepada Miryam dengan janji terlepas dari kasus e-KTP asal mau membayar dua miliar rupiah.

Dari keterangan Miryam ditemukan fakta, beberapa orang di Komisi III memastikan nama perempuan tersebut tidak akan ada dalam kasus e-KTP karena mengaku sudah berkomunikasi dengan Aris Budiamn serta enam orang lainnya. Aris juga disebut pernah menolak penetapan status tersangka Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus e-KTP dengan alasan belum ada bukti kuat adanya aliran dana.

Pendapat Aris itu berlawanan dengan penuntut umum, yang justru menilai sudah ada dua alat bukti yang cukup tentang peran Novanto. Tapi Aris Budiman tetap mengirim nota gelar perkara kepada pimpinan yang isinya menerangkan bahwa penyidik tak punya bukti kuat tentang peran Novanto. [WIS/KRG]