Ilustrasi Soekarno mengumumkan keluarnya Indonesia dari PBB. (Istimewa)

Dunia internasional tengah bergolak pada awal tahun 1960-an, dengan berbagai konflik dan persaingan ideologis. Di tengah situasi ini, Indonesia, sebuah negara muda yang baru saja merdeka dua dekade sebelumnya, berupaya menegaskan posisi dan peranannya di panggung global.

Presiden Soekarno, pemimpin karismatik yang lantang bersuara tentang pentingnya kedaulatan dan anti-neokolonialisme, menjadi simbol perlawanan negara-negara berkembang terhadap dominasi kekuatan besar dunia.

Namun, sikap tegas ini tidak selalu diterima dengan baik oleh komunitas internasional, terutama ketika Indonesia berselisih dengan Federasi Malaysia—konflik yang menjadi salah satu puncak ketegangan diplomatik terbesar di Asia Tenggara pada era tersebut.

Di tengah memanasnya hubungan Indonesia-Malaysia, Soekarno mengeluarkan keputusan yang mengguncang dunia. Pada malam 7 Januari 1965, sebuah pengumuman tegas disampaikan kepada publik dan menjadi berita utama di berbagai penjuru dunia: Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan ini bukan hanya langkah diplomatik yang berani, tetapi juga simbol perlawanan terhadap apa yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam tatanan internasional.

Apa yang sebenarnya melatarbelakangi keputusan tersebut? Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia, baik di dalam negeri maupun di arena global? Artikel ini akan menggali lebih dalam perjalanan sejarah yang penuh intrik, keberanian, dan konsekuensi dari keputusan monumental tersebut.

Latar Belakang Konflik

Indonesia secara resmi bergabung sebagai anggota PBB pada 28 September 1950. Namun, pada 1961, Indonesia mengambil langkah keluar dari PBB sebab rasa kecewa Soekarno karena adanya rencana akan dibentuknya Negara Federasi Malaysia. Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia bermula pada tahun 1963, saat Federasi Malaysia dibentuk.

Bagi Soekarno, Malaysia bukan sekadar federasi baru, tetapi dianggap sebagai alat neokolonialisme Inggris yang berpotensi mengancam stabilitas kawasan Asia Tenggara. Dengan menyebut Malaysia sebagai “boneka” Barat, Soekarno menggalang dukungan untuk menentang federasi ini. Ketegangan semakin meningkat ketika Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada tahun 1965.

Indonesia merasa dikhianati oleh PBB, yang menurut Soekarno, telah berpihak pada Malaysia dan melanggar prinsip netralitas yang seharusnya dijunjung tinggi. Ketidakpuasan terhadap PBB ini menjadi semakin nyata ketika organisasi tersebut mendukung pembentukan Federasi Malaysia, yang dianggap mengabaikan aspirasi dan keamanan nasional Indonesia.

Pada malam yang dramatis itu, Soekarno berdiri di hadapan publik untuk mengumumkan keputusan yang telah ia pikirkan matang-matang. Dengan nada tegas, ia menyatakan bahwa Indonesia tidak lagi dapat menjadi bagian dari organisasi internasional yang dianggap diskriminatif. Dalam pidatonya, Soekarno berkata, “Maka sekarang, karena ternyata Malaysia dijadikan anggota Dewan Keamanan PBB, saya sekarang menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB!”

Keputusan ini segera diikuti oleh langkah resmi. Mengutip berbagai sumber, Menteri Luar Negeri Subandrio mengirimkan surat kepada PBB pada tanggal 20 Januari 1965, yang menyatakan bahwa Indonesia telah keluar dari organisasi tersebut per 1 Januari 1965. Meski demikian, dalam surat tersebut ditekankan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada prinsip kerja sama internasional, walau berada di luar PBB.

Langkah ini membawa dampak besar baik secara domestik maupun internasional. Di kancah internasional, Indonesia terisolasi dari diskusi global dan kehilangan pengaruh dalam berbagai forum dunia. Negara-negara sahabat seperti India, Thailand, dan Australia mulai menjaga jarak, sementara citra Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok sedikit memudar.

Di dalam negeri, keputusan ini memperdalam instabilitas politik yang sudah ada. Ketegangan ekonomi dan sosial meningkat, yang akhirnya menjadi salah satu faktor penyebab peristiwa tragis G30S/PKI pada tahun yang sama. Setelah peristiwa tersebut, Presiden Soekarno kehilangan kendali, dan kepemimpinan beralih ke Jenderal Soeharto.

Kembali ke PBB: Babak Baru di Bawah Soeharto

Setelah pergantian kekuasaan, arah kebijakan luar negeri Indonesia mengalami perubahan besar. Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia kembali bergabung dengan PBB pada 28 September 1966. Langkah ini menjadi simbol rekonsiliasi dengan komunitas internasional dan upaya memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangga yang sempat renggang selama masa Konfrontasi.

Kembalinya Indonesia ke PBB menandai dimulainya era baru dalam politik luar negeri Indonesia, yang lebih kooperatif dan pragmatis. Dengan semangat baru, Indonesia melanjutkan perannya sebagai salah satu negara berpengaruh di Asia Tenggara dan dunia.

Keputusan untuk keluar dari PBB pada tahun 1965 adalah cerminan dari keberanian Soekarno dalam membela prinsip-prinsip kedaulatan nasional. Namun, langkah tersebut juga mengajarkan pentingnya diplomasi yang seimbang dalam menjaga hubungan internasional. Perjalanan sejarah ini menjadi pengingat bahwa di tengah arus politik global, kerja sama internasional tetap menjadi kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik. [UN]