Rawon.

Dari barat hingga timur, tiap daerah di Indonesia punya caranya sendiri untuk menyambut pagi. Tak hanya soal rasa, tapi juga cara masak, bahan yang digunakan, hingga nilai-nilai yang menyertainya. Sarapan bagi banyak orang mungkin hanya soal kenyang, tapi di negeri ini, sarapan adalah warisan. Dimana sarapan menjadi cermin budaya, dan jika kita menelusurinya satu per satu, kita akan menemukan betapa kayanya warisan kuliner Nusantara. Mari kita jelajahi jejak rasa itu, dimulai dari ujung barat Indonesia, Aceh hingga ke timur jauh, Papua.

Bubur Kanji Rumbi dari Aceh

Pagi di Aceh terasa berbeda saat semangkuk Bubur Kanji Rumbi hadir di meja. Warnanya memang sedikit pucat, tapi aromanya kaya akan rempah, di dalamnya ada kapulaga, cengkeh, jahe, dan serai yang saling berpelukan. Bubur ini dulu hanya muncul saat Ramadan, sebagai menu buka puasa yang menghangatkan perut dan hati. Tak banyak yang tahu, cita rasa bubur ini lahir dari persinggungan budaya India, Arab, dan Aceh sendiri, yang terbiasa menerima dan meracik pengaruh luar menjadi sesuatu yang baru dan khas.

Lontong Sayur dari Minang dan Betawi

Di Padang atau di pasar-pasar pagi Jakarta yang ramai, Lontong Sayur adalah bintang utama. Kuah santannya kental, gurih, dengan sedikit tendangan pedas dari sambal. Di atasnya, ada telur balado merah menyala dan kerupuk jangek yang kriuknya khas. Lontong Sayur sejatinya bukan hanya makanan, tapi semacam pesta kecil di pagi hari. Dulu, menu ini lebih sering muncul saat Lebaran, tapi kini ia hadir setiap hari sebagai teman sarapan favorit yang mengenyangkan dan membahagiakan.

Gudeg dari Yogyakarta

Di Yogyakarta, sarapan dengan gudeg bisa menjadi pilihan lezat dan khas. Gudeg biasanya disajikan dengan nasi putih, lauk seperti ayam, telur, tahu, dan tempe, serta sambal krecek. Gudeg adalah makanan yang tak bisa diburu-buru. Nangka muda dimasak berjam-jam dengan santan dan gula merah hingga warnanya cokelat tua dan manisnya meresap. Sejak zaman Kerajaan Mataram, gudeg sudah dikenal sebagai makanan bangsawan. Tapi kini, siapa pun bisa menikmatinya.

Rawon dari Jawa Timur

Banyak orang bilang Rawon cocok disantap siang atau malam. Tapi bagi beberapa orang, menikmati rawon hangat di pagi hari, bersama nasi dan telur asin, adalah kebiasaan turun-temurun. Warna hitamnya mungkin terlihat asing, tapi rasa gurihnya membuat ketagihan. Kluwek bahan rahasianya adalah buah yang harus diproses dulu agar aman dimakan.

Menariknya, rawon sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Nama rawon disebutkan dalam Prasasti Taji, yang berasal dari tahun 901 Masehi dan ditemukan di Ponorogo, Jawa Timur. Prasasti ini menunjukkan bahwa rawon telah ada dan dikonsumsi masyarakat sejak 1000 tahun yang lalu. Dalam prasasti tersebut, rawon disebut dengan “rarawwan” (sayur rawon).

Barongko dari Sulawesi Selatan

Di rumah-rumah Bugis dan Makassar, Barongko adalah camilan sekaligus sarapan yang menenangkan. Pisang dihaluskan, dicampur santan dan telur, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Rasanya manis lembut, pas sekali untuk memulai hari. Dahulu, barongko hanya disajikan untuk para raja. Tapi sekarang, siapa pun boleh menikmati rasa kerajaan ini. Ia jadi bukti bahwa yang sederhana pun bisa terasa mewah, selama dibuat dengan ketulusan.

Papeda dari Papua

Papeda, bubur sagu yang bening, lengket, dan disantap dengan ikan kuah kuning yang kaya kunyit. Bagi orang Papua, Papeda bukan hanya makanan, tapi simbol hidup berdampingan dengan alam. Tak perlu sawah atau ladang luas hutan dan pohon sagu sudah cukup. Papeda diajarkan dari kecil, diwariskan dari dapur ke dapur. Dan ketika kita mencicipinya, kita juga mencicipi kehangatan rumah, keuletan nenek moyang, dan rasa syukur atas alam yang bisa menyedikan makanan mengenyangkan.

Makanan-makanan itu mungkin tak muncul di restoran mewah, tapi di warung, di dapur rumah, di pasar pagi. Setiap sendok sarapan tradisional adalah jembatan menuju masa lalu, sekaligus pegangan untuk mencintai masa kini. [UN]