Ilustrasi/bloomberg.com

Koran Sulindo – Rupiah terus melemah dalam 2 minggu terakhir. Senin (23/4/2018) kemarin mata uang ini ditutup di ambang Rp14.000 per dolar Amerika Serikat, menurut Bloomberg Dollar Index, posisi terendah sejak Desember 2015. Dalam sehari saja rupiah turun hingga 0,6 persen, mendekati Jumat akhir pekan lalu yang terperosok hingga 0,70 persen.

Pada Senin (23/4/2018) kemarin, rupiah melemah ke titik Rp13.900 per dolar AS. Pada Senin sore, rupiah yang ditransaksikan antarbank menembus Rp13.943 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.863 per dolar AS. Kurs Refrensi Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) yang diumumkan BI juga menunjukkan pelemahan. Mengutip Jisdor BI, dolar diperdagangkan di Rp13.894 per dolar AS, pada Senin (23/4), melemah 90 poin dibanding Jumat (20/4) yang sebesar Rp13.804.

Bank Indonesia (BI) menyatakan terus mengintervensi pasar dengan dosis yang cukup besar untuk menjaga stabilisasi rupiah.

“Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar Surat Berharga Negara dalam jumlah cukup besar,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo, di Jakarta, Senin (23/4/2018) malam, melalui rilis media.

Sejak Jumat (21/4) pekan lalu hingga Senin (24/4) tekanan terhadap rupiah terjadi karena berlanjutnya penguatan greenback itu terhadap mata uang negara-negara di dunia. Penguatan dipicu meningkatnya imbal hasil obligasi pemerintah AS, (US treasury bills), yang mendekati level psikologis tiga persen. Ekspetasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve lebih dari tiga kali selama 2018 juga berperan.

Faktor Eksternal

Sementara itu Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo, mengatakan level rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar sepenuhnya dan pelemahan nilai tukar rupiah tersebut disebabkan oleh faktor eksternal, sehingga bukan karena kondisi ekonomi di dalam negeri sedang melemah.

“Tekanan terhadap rupiah dikarenakan dampak ekonomi global yakni perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, sehingga tidak hanya berdampak pada Indonesia. Namun, negara-negara berkembang lainnya juga terdampak,” kata Dodi, di Jember, Jawa Timur, Senin (23/4/2018) sore, seperti dikutip antaranews.com.

BI meminta masyarakat tidak panik dengan nilai rupiah yang melemah dan tidak melakukan tindakan membeli dolar secara berlebihan yang justru memicu semakin sulit untuk mempertahankan nilai rupiah.

“BI sedang main `lepas dan tarik` dengan sangat hati-hati dalam tekanan nilai rupiah. BI sebagai bank sentral sedang berupaya menangani moneter tersebut dan terpenting adalah masyarakat tetap tenang dengan kondisi tekanan ekonomi yang terjadi di dunia global,” kata Dodi.

Pembalikan Modal

Ekonom Bank UOB, Enrico Tanuwidjaja menilai sentimen kenaikan suku bunga bank sentral AS masih menjadi salah satu faktor yang menahan apresiasi rupiah terhadap dolar AS.

“Risiko kenaikan suku bunga Fed bisa berdampak ke pembalikan modal dan berdampak negatif bagi rupiah,” kata Enrico, dalam diskusi “Kondisi Perekonomian Terkini dan respon Kebijakan Bank Indonesia” di Mataram, Sabtu (21/4/2018) lalu, seperti dikutip antaranews.com.

Enrico menilai BI harus tetap hati-hati dalam melakukan intervensi terhadap pelemahan rupiah dengan menggunakan cadangan devisa karena cara itu tidak selamanya berhasil.

Malaysia telah memangkas cadangan devisanya hingga mencapai 30 miliar dolar AS, namun mata uang ringgit tetap melemah.

“Kalau diperlukan ya dilakukan intervensi. Memang tidak ada level cadangan devisa yang ideal, tapi yang penting seberapa banyak cadev kita bisa membiayai impor, dan cadev kita masih tinggi,” katanya.

Dalam kesempatan sama, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Firman Mochtar, mengatakan pelemahan tak hanya dialami rupiah, tapi juga mata uang dunia lainnya.

“Ini isu fenomena global,” kata Firman.

BI mencatat posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2018 sebesar 126,00 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 7,9 bulan impor atau 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka itu juga di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. [DAS]