Koran Sulindo – Sudah sepatutnya rakyat Indonesia gembira dengan langkah maju pemerintah yang mencoba mewujudkan sistem ekonomi yang sejalan dengan Pancasila, yakni dengan melakukan reforma agraria atau landreform. Seperti diungkapkan Presiden Joko Widodo pada pidatonya di peringatan ulang tahun PDI Perjuangan pada 10 Januari 2017 lalu, pemerintah akan segera meredistribusi 12,7 juta hektare lahan kepada rakyat melalui koperasi-koperasi di Tanah Air.

“Sekarang ini kita kantongi 12,7 juta hektare yang akan segera kami bagikan kepada rakyat, yang akan kami bagikan kepada tanah adat, yang akan segera kami bagikan kepada koperasi-koperasi yang ada di Tanah Air,” kata Jokowi.

Program reforma agraria memang dicantumkan dalam Nawacita, yang merupakan agenda prioritas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Poin kelima Nawacita berbunyi: “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektare, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.”

Itu sebabnya, program ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Bidang tanah yang masuk dalam program ini berasal dari kawasan hutan, legalisasi aset, tanah transmigrasi yang belum bersertifikat, dan lahan bekas tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang habis masa berlakunya atau tanah telantar.

Namun, yang lebih penting dari itu, reforma agraria adalah amanat rakyat yang dituangkan dalam Ketetapan MPR RINomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Yang menjadi dasar hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria.

Yang perlu diketahui, ada lima prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, yakni pembaruan hukum agraria kolonial menuju hukum agraria nasional; untuk menjamin kepastian hukum; untuk menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia; untuk mengakhiri pengisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah, dan; sebagai wujud implementasi atas Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 memberi kewenangan bagi negara untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR RINomor IX/MPR/2001 juga dijelaskan, “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Jadi, jelaslah, peran negara memang sangat penting untuk menjalankan reforma agraria. Pemerintah sebagai penyelenggara negara tak bisa menjalankan program ini alakadarnya, hanya sebatas proforma, apalagi sekadar untuk pencitraan. Pemerintah harus dapat mengontrol dengan baik pelaksanaannya, termasuk dalam upaya penegakan hukumnya, penataan organisasi pelaksananya, sistem administrasinya, pendidikan dan pelatihan, serta tentu saja pembiayaannya.

Tanpa kontrol yang ketat, reforma agraria niscaya akan menambah kisruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena, mengingat faktor historis dan kultural, tanah merupakan bagian yang sangat penting—bahkan ada yang menganggap sakral—dalam kehidupan masyarakat kita. Belum lagi faktor nilai ekonomis tanah.

Dengan begitu, potensi konflik yang muncul akan sangat tinggi jika program reforma agraria hanya dijalankan setengah hati.

Tambahan pula, selama Orde Baru berkuasa lebih dari 30 tahun, Undang-Undang Pokok Agraria seperti disembunyikan entah ke mana. Bila ada orang atau pihak yang mencoba mengingatkan itu, stigma komunis pun langsung dilekatkan. Akibatnya, terjadi ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria selama puluhan tahun.

Di pedesaan, jumlah petani yang tak memiliki tanah atau yang luas tanahnya kecil semakin bertambah. Seiring dengan itu, jumlah lahan secara keseluruhan yang dikuasai semakin sedikit. Kemiskinan struktural pun tercipta dan kondisinya amat parah.

Orde Baru juga menjalankan politik sentralisme dan sektoralisme pada sektor agraria. Maka, terjadilah pengambilalihan sumber-sumber agraria yang menjadi hak rakyat. Juga tercipta konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria. Akibatnya: rakyat miskin sulit—bila tidak ingin dikatakan tidak mungkin—untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Pertanian pun menjadi sektor yang dibelakangkan. Ketahanan pangan nasional melemah dan ketergantungan pada impor menjadi tinggi, bahkan sampai sekarang.

Tak mengherankan pula bila konflik serta sengketa agraria pada masa Orde Baru menjadi begitu massif. Dan, tak sedikit pula yang diwarnai kekerasan serta melibatkan militer.

Tentu saja, kita tak mengingingkan semua itu (terus) terjadi. Karena itu, sudah seharusnyalah pemerintah sekarang menjalankan apa yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria. Seperti kata Bung Karno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1960, “Tanah tidak boleh menjadi alat pengisapan!” [Purwadi Sadim]