Koran Sulindo – Persoalan pulau-pulau reklamasi di Teluk Jakarta sudah menjadi isu nasional. Nilai proyeknya memang triliunan rupiah dan masalahnya juga berkelindan dengan persoalan politik kekuasaan, yang cikal-bakalnya sudah ada pada masa rezim Soeharto.
Luasnya mencapai 5.152 hektare, lebih luas dari wilayah Jakarta Pusat yang 4.800 hektare. Potensi keuntungan pun sangat besar, bisa ratusan triliun rupiah.
Ada 17 pulau yang dibuat dan 13 di antaranya (Pulau A sampai Pulau M), dengan luas 3.565 hektare, masuk ke kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK), Pantai Mutiara, Pluit, dan Ancol. Empat pulau lainnya dibangun untuk pelabuhan dan kawasan berikat.
Dari seluruh luas lahan itu, setidaknya 55% dapat dijual untuk komersial dan 45% untuk fasilitas umum, fasilitas sosial, dan kewajiban lainnya, misalnya retribusi. Jadi, setidaknya yang menjadi “hak” pengembang adalah 1.960,75 hektare atau 19.607.500 meter persegi.
Karena masuk ke wilayah perumahan elite, harga jual tanahnya pun mengikuti harga pasaran di sana, yang berkisar Rp 20 juta sampai Rp 50 juta per meter persegi. Taruhlah harga tanah di pulau-pulau reklamasi rata-rata Rp 25 juta per meter persegi, maka total lahan komersial reklamasi menghasilkan Rp 490,2 triliun, dengan total keuntungan Rp 418,9 triliun bila asumsinya biaya reklamasi Rp 2 juta per meter persegi atau total Rp71,3triliun untuk 3.565 hektare. Asumsi harga itu bersandar pada biaya reklamasi di Malaysia, yang hanya Rp1 juta per meter persegi.
Namun, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahudin Uno telah menyatakan akan menghentikan proyek tersebut. Karena, ia bersama Gubernur Anies Baswedan ingin menunaikan 23 program kerja yang dijanjikan selama masa kampanye Pilkada DKI 2017 lalu. “Pandangan sudah jelas buat kami, tertulis jelas di rencana kerja, bahwa kami mengambil posisi menghentikan reklamasi. Sudah final,” tutur Sandiaga pada diskusi bertema “Untung Rugi Reklamasi” di DPD Partai Golkar DKI Jakarta, 29 Oktober 2017.
Kendati begitu, dia akan berkoordinasi dengan pihak DPRD DKI Jakarta, terutama terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian itu antara lain mencakup pemanfaatan lahan sampai masalah lapangan pekerjaan bagi warga. “Untuk pembahasaan KLHS, kami harus berkoordinasi dengan pihak legislatif. Pertemuan informal sudah ada, sekarang secara formal tinggal menunggu,” ungkapnya.
Proyek ini direncanakan sejak tahun 1995. Pada tahun itu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 tentang Reklamasi Teluk Jakarta. Dalam keppres itu dinyatakan Gubernur DKI Jakarta sebagai pihak yang berwewenang untuk reklamasi. Lampiran keppres tersebut menunjukkan gambar bahwa reklamasi bukan berupa pulau-pulau terpisah dari garis pantai utara, melainkan perluasan dari pantai utara (pantura).
Pada tahun 1995 juga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Tata Ruang KawasanPantura Jakarta. Namun, terjadi krisi moneter pada tahun 1997, sehingga proyek reklamasi tertunda. Pemda DKI lalu menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan PT Kapuk Naga Indah untuk Pulau C (2B), D (2A), dan Pulau E (1).
Setelah rezim Soeharto runtuh, Gubernur Sutiyoso dan DPRD DKI Jakarta pada tahun 1999 menerbitkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan reklamasi masuk ke rencana tata ruang dan berubah dari rencana tahun 1995. Tujuan reklamasi disebutkan untuk perdagangan dan jasa internasional, perumahan, dan pelabuhan wisata. Perda RTRW itu juga menyatakan, reklamasi seluas kurang-lebih 2.700 hektare dan diperuntukkan bagi perumahan kelas menengah atas.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup, saat itu dipimpin Menteri Nabiel Makarim, menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 14 yang menyatakan proyek reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta tidak layak dilaksanakan. Kementerian mengatakan, reklamasi akan meningkatkan risiko banjir, terutama di kawasan utara, merusak ekosistem laut, dan menyebabkan penghasilan nelayan menurun. Proyek juga akan membutuhkan sekitar 330 juta meter kubik pasir (untuk wilayah seluas 2.700 hektare), dan akan mengganggu PLTU Muara Karang di Jakarta Utara.
Keputusan itu digugat oleh enam kontraktor Pengadilan Tata Usaha Negara. Keenam perusahaan itu adalah PT Bakti Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, Pelindo II, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT Jakarta Propertindo.
Pada tahun 2007, Gubernur Sutiyoso menerbitkan izin prinsip untuk Pulau 2A, yang kemudian menjadi Pulau D, untuk PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group, melalui Surat Gubernur Nomor 1571/-1.711 bertanggal 19 Juli 2007.
Pada tahun itu juga, Sutiyoso digantikan oleh Fauzi Bowo. Karena pada tahun 2007 terjadi banjir rob yang cukup parah di Jakarta Utara, Gubernur Fauzi Bowo atau akrab dipanggil Foke meminta anggaran kepada Bappenas untuk melakukan kajian mengenai Banjir Jakarta, tapi tidak disetujui.
Foke kemudian menghubungi Walikota Rotterdam, Belanda, untuk membantu. Dari sana lahirlah skema Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS).