Tradisi Phao Dat. (Foto: vietnamplus)

Di Vietnam bagian utara, suara dentuman tak biasa menggema setiap musim semi. Namun ini bukan ledakan dari senjata modern, melainkan meriam tanah liat, sebuah warisan budaya kuno yang masih lestari dalam tradisi rakyat bernama Phao Đất. Festival unik ini tak hanya memancarkan kemeriahan, tetapi juga menyimpan makna simbolis yang mendalam bagi masyarakat setempat, khususnya di provinsi Hai Duong.

Tradisi Phao Đất, atau yang juga dikenal sebagai clay firecracker festival, adalah permainan rakyat yang diwariskan turun-temurun. Di balik sorak sorai dan dentuman meriam, terselip harapan masyarakat akan datangnya tahun yang penuh keberkahan. Menurut kepercayaan yang berkembang, semakin keras suara ledakan yang dihasilkan dari lemparan meriam tanah liat ke tanah, maka semakin besar pula kemungkinan panen yang melimpah dan perlindungan dari bencana.

Ritual ini bukan sekadar permainan, melainkan bentuk doa kolektif yang dibalut dalam keceriaan. Seperti irama dari alam itu sendiri, suara ledakan meriam diyakini mampu membangunkan roh-roh pelindung, mengusir kesialan, dan menanamkan semangat juang dalam diri warga desa.

Jejak Sejarah dan Legenda yang Terpatri

Mengutip beberapa sumber, akar dari tradisi phao đất merentang jauh ke masa lalu, didukung oleh dua legenda yang hidup kuat dalam memori kolektif masyarakat.

Legenda pertama menyebutkan bahwa dentuman meriam tanah liat pertama kali terdengar pada tahun 1288, ketika rakyat melemparkan tanah ke Sungai Hoa dalam upaya menyelamatkan gajah milik Jenderal Tran Quoc Tuan, lebih dikenal sebagai Hung Dao Vuong dalam peperangan melawan invasi Mongol-Yuan. Dalam versi ini, meriam tanah liat menjadi simbol keberanian dan solidaritas rakyat mendukung perjuangan nasional.

Sementara itu, legenda kedua menelusuri asal-usul tradisi ini ke masa pemberontakan kakak-beradik Trung (Trung Sisters) melawan penjajah Dinasti Han. Salah satu jenderal perempuan mereka, Le Chan, disebut menggunakan meriam tanah liat untuk membakar semangat pasukan dan mengusir roh jahat yang mengganggu jalannya peperangan.

Kedua narasi tersebut, meski berlatar belakang berbeda, sama-sama menekankan nilai perlawanan, keberanian, dan spiritualitas dalam menghadapi masa sulit.

Setiap tahun, festival phao đất digelar antara awal musim semi hingga bulan keempat dalam kalender lunar, dengan puncaknya pada malam bulan purnama atau hari pertama bulan baru. Halaman-halaman desa di provinsi Hai Duong dan sekitarnya menjadi arena perlombaan antar tim yang mewakili masing-masing desa.

Desa-desa seperti Minh Duc, Quang Khai (Distrik Tu Ky), Nghia An, Ung Hoe, Kien Quoc (Distrik Ninh Giang), dan Duc Xuong (Distrik Gia Loc) dikenal sebagai pelestari utama tradisi ini. Mereka juga menjadi bagian dari perayaan besar Con Son–Kiep Bac Spring Festival, yang menyedot perhatian ribuan wisatawan dan pecinta budaya lokal maupun mancanegara.

Satu aturan penting dalam festival ini adalah penggunaan tanah liat murni tanpa kotoran. Tanah yang dipilih harus lembut, elastis, dan padat, agar saat dilempar ke tanah bisa menghasilkan bunyi dentuman maksimal. Meriam tanah ini biasanya dibuat dan digunakan oleh pria dewasa yang terlatih dan berpengalaman, karena teknik membentuk dan melemparnya memerlukan ketepatan dan kekuatan tertentu.

Kompetisi bukan hanya soal menang atau kalah, tapi lebih kepada kehormatan dan semangat komunitas. Desa yang menghasilkan ledakan paling keras dianggap mendapat pertanda terbaik untuk tahun itu.

Lebih dari sekadar tontonan rakyat, phao đất telah menjadi ruang penting dalam menjaga identitas budaya dan menumbuhkan solidaritas sosial. Tradisi ini menyatukan generasi tua dan muda dalam semangat kebersamaan, memperkuat rasa memiliki terhadap warisan nenek moyang, dan menjadi bagian penting dari strategi promosi budaya daerah.

Dalam dunia yang kian modern dan serba cepat, phao đất menjadi penanda bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan jembatan yang menghubungkan masa kini dengan nilai-nilai luhur dari zaman dahulu. Dentuman tanah liat yang menggelegar di udara menjadi pengingat bahwa di tengah kemajuan, suara-suara dari akar budaya tetap layak untuk didengar dan dirayakan. [UN]