Ilutrasi kekerasan terhadap perempuan [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pepatah ini tampaknya tepat untuk menggambarkan kenyataan yang menimpa Baiq Nuril Maknun, mantan guru honorer dan Anindya Shabrina, seorang aktivis mahasiswa di Surabaya. Keduanya merupakan korban pelecehan seksual, akan tetapi justru menjadi tersangka karena dinilai mencemarkan “nama baik” sesuai Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus yang menimpa Baiq Nuril, misalnya, bermula ketika ia acap menerima pelecehan seksual dari kepala sekolah tempatnya mengajar di Mataram. Pelecehan itu dilakukan lewat telepon. Ia tak berani melaporkan tindakan kepala sekolah tersebut karena takut kehilangan pekerjaan. Namun, pada suatu waktu, karena tak tahan menerima pelecehan itu, Baiq Nuril memberanikan diri untuk merekam percakapan yang dilakukan kepala sekolahnya itu.

Di dalam percakapan itu, kepala sekolah mengaku telah berselingkuh dengan bendahara sekolah. Rekan kerja Baiq Nuril, Imam Mudawin meminta rekaman tersebut dan menyebarkannya ke Dinas Pendidikan Kota Mataram serta sekitarnya. Hasilnya, kepala sekolah itu dimutasi dari jabatannya. Tidak terima rekaman percakapanya disebar, si kepala sekolah justru melaporkan Baiq Nuril dengan UU ITE.

Kasus tersebut sempat bergulir di Pengadilan Negeri Mataram pada 2017. Bahkan Baiq Nuril juga sempat ditahan dan akhirnya permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan untuk menjadi tahanan kota. Pengadilan Negeri Mataram memvonis Baiq Nurul bebas. Jaksa tidak terima dan mengajukan kasasi. Hasilnya, Baiq Nuril dinyatakan bersalah dan harus membayar denda sekitar Rp 500 juta.

Seperti Baiq Nuril kasus serupa juga dialami Anindya Shabrina, seorang mahasiswa di Surabaya. Bermula dari curahan hatinya di media sosial karena dilecehkan yang diduga anggota Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Awalnya, Anindya menghadiri undangan pemutaran film di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Tidak lama kemudian, aparat gabungan kepolisian lengkap dengan senjata laras panjang bersama Satpol PP mendatangi asrama tersebut.

Mereka berkeras ingin membubarkan pemutaran film dan merangsek masuk ke asrama mahasiswa itu. Anindya bersama temannya dan advokat publik Surabaya menahan mereka dan menanyakan surat tugas mereka. Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, aparat justru bertindak arogan dan represif.

Anindya mengaku ditarik anggota kepolisian perempuan dan seseorang berpakaian preman yang diduga polisi. Ketika ditarik itu, payudara Anindya diremas. Pembubaran dan pelecehan inilah yang dituliskan Anindya di media sosial dan kemudian berujung penetapannya sebagai tersangka dengan menggunakan UU ITE.

Apa yang menimpa Baiq Nuril dan Anindya hanyalah puncak gunung es dari kasus-kasus kekerasan yang menimpa kaum perempuan di Indonesia. Merujuk kepada catatan Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat setiap tahun. Pada 2017, misalnya, kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan mencapai 348.446 atau meningkat sebesar 74 persen dibanding 2016 yang hanya 259150 kasus.

Baiq Nuril Maknun, korban pelecehan seksual justru menjadi terpidana UU ITE [Foto: Istimewa]

Kekerasan yang dialami perempuan yang paling menonjol – seperti tahun sebelumnya – adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT/ranah personal) mencapai 71 persen (9.609); pada ranah komunitas/publik mencapai 26 persen (3.528); dan di ranah negara mencapai 1,8 persen (217). Pada ranah pribadi itu tidak sedikit kaum perempuan yang mengalami kekerasan seksual yaitu 2.979 kasus atau sekitar 31 persen dari 9.609 kasus. Pun demikian di ranah komunitas/publik, kekerasan seksual mencapai 911 kasus, pelecehan seksual 704 kasus dan perkosaan 699 kasus serta persetubuhan 343 kasus.

Data yang dikumpulkan Komnas Perempuan ini bersumber dari pengadilan negeri/pengadilan agama, lembaga layanan mitra dan unit pelayanan dan rujukan, sebuah unit yang dibentuk Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan.

Kapitalisme Imperialis
Ketika memeringati Hari International untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan setiap 25 November, Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) menilai kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk paling primitif dan barbar untuk memelihara penindasan terhadap kaum perempuan. Merampas kebebasan kaum perempuan pekerja demi mempertahankan dominasi imperialisme dan kekuasan sistem lama yaitu setengah jajahan dan setengah feodal di Indonesia.

Kenyataan serupa juga terjadi di India dan Filipina karena karakteristik ekonomi masyarakatnya setengah jajahan dan setengah feodal. Karenanya, kaum perempuan di Filipina, misalnya, ditindas dan dieksploitasi, mengalami diskriminasi gender dan sosial. Mereka dipaksa harus melayani suami, membesarkan anak dan hanya mengerjakan urusan rumah tangga. Di pedesaan, perempuan tani dan buruh tani termasuk perempuan Moro dibuat tidak berdaya, upah sangat rendah, mempekerjakan anak, buta huruf dan acap terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Sedangkan di India, menurut teoritikus feminis proletar, Anuradha Ghandy, semua kaum wanita di India di bawah tekanan feodalisme, kapitalis, imperialis dan patriarkal. Itu terjadi hampir di seluruh penjuru India termasuk di pedesaan. Akan tetapi, kata Ghandy, kelas pekerja dan wanita kelas menengah di perkotaan memiliki beberapa masalah khusus. Pertama, dalam masalah keluarga termasuk di perkotaan, kaum wanita ditindas oleh budaya feodal.

Kendati tidak terlalu parah, umumnya gadis dan wanita muda tidak memiliki hak untuk memutuskan hal penting dalam kehidupan mereka. Gadis-gadis yang belum menikah berada di bawah tekanan untuk menikah dengan seorang pria dari kasta yang sama dan agama yang sama sesuai dengan keputusan keluarga. Gadis itu akan mengalami banyak tekanan, bahkan untuk bekerja saja, ia harus mendapat izin dari ayahnya.

Berdasarkan kenyataan itu, menurut Seruni, potret penderitaan kaum perempuan di bawah dominasi imperialisme pada 2018 sangat memprihatinkan. Setidaknya, Seruni mencatat 10 keprihatinan yang terjadi kepada kaum perempuan di seluruh dunia. Pertama, kaum perempuan memikul dua pertiga beban pekerjaan dunia, namun hanya memperoleh 10 persen pendapatan dan menguasai 1 persen alat produksi.

Kedua, sekitar 116 juta perempuan usia 15 tahun hingga 24 tahun di negara berkembang tidak lulus sekolah. Dua per tiga dari 774 juta orang buta huruf adalah perempuan. Ketiga, upah perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Bahkan perempuan di AS hanya mendapatkan kurang dari US$ 1 81 sen, sedangkan laki-laki mendapatkan US$ 1 untuk pekerjaan yang sama. Di Asia dan Afrika, kaum perempuan mengalami ketimpangan upah dengan rata-rata 60 persen.

Keempat, sekitar 70 persen dari populasi rakyat miskin dunia adalah perempuan. Kelima, perempuan dan anak adalah pengungsi dan korban perang terbesar. Keenam, lebih dari 64 juga anak perempuan menikah di bawah umur. Ketujuh, 1 dari 5 gadis di bawah umur 18 tahun melahirkan di negara berkembang dan menyebabkan 70 ribu kematian karena melahirkan.

Kedelapan, sekitar 35 persen perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kesembilan, perempuan yang duduk di parlemen di seluruh dunia hanya 20 persen, itu pun perempuan kelas penindas. Terakhir, perempuan menjadi korban perdagangan manusia terbesar unuk seks dan pekerjaan yang tidak dibayar.

Meski fakta menyatakan demikian, menurut Gandhy, kaum laki-laki pada umumnya bukan musuh. Karena musuh adalah patriarki sebagai bagian dari masyarakat berkelas dan kapitalisme imperialis. Demikian juga dengan kaum perempuan yang bukan hanya subjek revolusioner. Karena banyak juga kaum perempuan membela sistem kelas dan dengan demikian berada di kubu reaksioner, termasuk mereka yang mengaku berusaha membebaskan perempuan.

Dari sini kita menjadi tahu, pembebasan rakyat, demikian Gandhy, tidak mungkin tanpa pembebasan kaum perempuan. Maka, perjuangan pembebasan kaum perempuan melawan patriarki dan dominasi patriarkal sangat penting untuk membebaskan seluruh rakyat. Pembebasan ini menjadi sebuah transformasi revolusioner dunia dan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya patriarki melainkan masyarakat berkelas dan semua yang terkandung di dalamnya. [Kristian Ginting]