Itu sebabnya, katanya, semua kegiatan di lngkungan keraton harus diketahui Sultan Sepuh XV PRA Luqman Zulkaedin. Dia memastikan kegiatan pelantikan pembantu Rahardjo di lingkungan keraton dilakukan tanpa seizin pihaknya, sehingga dia merasa berhak menegur penyelenggara. Tak ayal, bentrok pun terjadi.

Santana Kesultanan Cirebon, yang menyebut diri sebagai wadah para dzuriah atau keturunan Sunan Gunung Jati, menyesalkan terjadinya bentrok tersebut. Mereka menilai, penobatan Rahardjo Djali sebagai Sultan Sepuh Aloeda II dilakukan tanpa mengedepankan nilai pepakem kesultanan karena tak pernah melibatkan para dzuriah Sunan Gunung Jati.

Berdasar keseluruhan situasi yang terjadi di Kesultanan Kasepuhan Cirebon saat ini, mereka menilai Rahardjo Djali telah melanggar aturan Kesultanan Kasepuhan Cirebon. Bagi mereka, Rahardjo Djali bukan profil yang tepat menduduki tahta Kesultanan Kasepuhan Cirebon.

Perebutan tahta di Kesultanan Kasepuhan Cirebon kali ini tampaknya mengulang peristiwa serupa yang pernah bergejolak di sana. Pada 1677, terjadi konflik internal di Kesultanan Cirebon yang dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan keluarga mengenai penerus kerajaan.

Pihak luar akhirnya dilibatkan untuk mengatasi kisruh di antara keluarga. Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa Kesultanan Banten, terjun tangan. Sultan yang masih keturunan Syekh Syarif Hidayatullah ini akhirnya memutuskan membagi Kesultanan Cirebon menjadi tiga, yaitu Kesultanan Kanoman, Kesultanan Kasepuhan, dan Panembahan Cirebon.

Kesultanan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya yang bergelar Sultan Anom I, Kesultanan Kasepuhan diberikan kepada Pangeran Martawijaya yang bergelar Sultan Sepuh I, dan Pangeran Wangsakerta menjadi panembahan di Cirebon. Sejak saat itu, Sultan Sepuh I menempati Keraton Pakungwati yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan.

Mengacu pada kejadian tahun 1677 tersebut, banyak pihak meminta pemerintah turun tangan mengatasi kisruh beraroma kudeta di Keraton Kasepuhan Cirebon. Pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam sistem hukum dan kekuasaan di negara Republik Indonesia hendaknya memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan perebutan tahta yang berlarut-larut terjadi di Keraton Kasepuhan Cirebon. [Ahmadie Thaha]