Setiap perjalanan sebuah bangsa menuju kemerdekaan, terdapat banyak sosok yang mungkin tidak selalu berada di garis depan pertempuran, tetapi memiliki peran yang tak kalah penting dalam membangun fondasi negara. Mereka adalah para pemikir, administrator, dan ahli hukum yang merumuskan dasar negara, memastikan bahwa kemerdekaan tidak hanya diperjuangkan dengan senjata, tetapi juga dengan pemikiran yang matang dan sistem yang kokoh.
Indonesia, sebagai sebuah negara yang lahir dari pergolakan panjang melawan kolonialisme, memiliki banyak tokoh yang berjasa dalam merancang pondasi hukum dan politiknya. Namun, di antara nama-nama besar yang sering disebut dalam buku-buku sejarah, ada sosok-sosok yang kontribusinya tak selalu mendapatkan sorotan yang layak. Salah satunya adalah Abdoel Gaffar Pringgodigdo, atau yang lebih dikenal sebagai A.G. Pringgodigdo.
Sebagai seorang cendekiawan, birokrat, dan pejuang kemerdekaan, kiprah A.G. Pringgodigdo tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Indonesia. Ia bukan hanya seorang saksi, tetapi juga aktor utama dalam berbagai peristiwa penting, mulai dari masa pergerakan nasional hingga awal pembentukan negara.
Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia memainkan peran vital sebagai sekretaris yang mencatat dengan rinci jalannya diskusi mengenai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945. Perannya ini menjadikannya salah satu figur kunci dalam sejarah konstitusi Indonesia.
Namun, perjuangannya tidak berhenti di situ. Setelah proklamasi kemerdekaan, ia terus mengabdikan diri dalam dunia administrasi negara dan akademisi. Ia meyakini bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga dengan membangun sistem hukum yang kuat dan mendidik generasi penerus agar mampu menjaga kedaulatan bangsa.
Lalu, bagaimana perjalanan hidup A.G. Pringgodigdo dalam mengukir sejarah Indonesia? Bagaimana ia menghadapi tantangan di masa kolonial, pendudukan Jepang, hingga pasca-kemerdekaan? Dilansir dari laman Ensiklopedia Kemdikbud, berikut ulasan tentang sosok A.G. Pringgodigdo yang kiprahnya sangat penting, tetapi kerap luput dari ingatan banyak orang.
Latar Belakang Pendidikan
Abdoel Gaffar Pringgodigdo atau A.G. Pringgodigdo merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam perumusan dasar negara dan sistem hukum. Ia lahir di Bojonegoro pada 21 Agustus 1904 dan wafat pada tahun 1988. Sebagai seorang intelektual, administrator, dan pejuang kemerdekaan, kiprahnya mencakup berbagai bidang, mulai dari birokrasi, politik, hingga akademisi.
Sebagai putra seorang bupati, A.G. Pringgodigdo mendapatkan kesempatan pendidikan yang baik. Ia mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) pada tahun 1911 hingga 1918, lalu melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) dan lulus pada tahun 1923. Setelah itu, ia bersama adiknya, Abdoel Kareem Pringgodigdo, melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Leiden, Belanda, dan meraih gelar dalam bidang Hukum dan Indologi pada November 1927.
Saat berkuliah di Belanda, ia aktif dalam kegiatan Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi mahasiswa yang mengusung semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme. Aktivitasnya yang semakin radikal membuatnya mendapat ancaman dari pemerintah kolonial, termasuk pencabutan beasiswa dan larangan bekerja di pemerintahan setelah kembali ke Hindia Belanda.
Karier dalam Birokrasi dan Politik
Setelah kembali ke tanah air, A.G. Pringgodigdo bekerja di kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya sebagai pegawai administrasi dari tahun 1927 hingga 1940. Pada 1943, ia diangkat menjadi Wedana Batoer, sebuah jabatan administratif penting pada masa pendudukan Jepang.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, ia terlibat aktif dalam perumusan dasar negara sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam BPUPKI, ia menjabat sebagai sekretaris dan memiliki catatan rinci mengenai rapat-rapat yang berlangsung, termasuk proses perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya, sebagian arsipnya sempat dibakar oleh tentara Belanda saat agresi militer tahun 1948.
Setelah proklamasi kemerdekaan, A.G. Pringgodigdo diangkat sebagai Sekretaris Negara di bawah Presiden Sukarno. Ketika Belanda menyerang Yogyakarta pada tahun 1948, ia diasingkan ke Pulau Bangka bersama para pemimpin Republik seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Mr. Assaat.
Kontribusi dalam Ilmu Hukum dan Akademisi
Sebagai seorang ahli hukum, A.G. Pringgodigdo menulis berbagai karya akademik, termasuk “Sedjarah Pembuatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945” yang diterbitkan dalam Madjalah Hukum dan Masjarakat No. 3 tahun 1958 serta “Sedjarah Singkat Berdirinja Negara Republik Indonesia” pada tahun yang sama. Kedua tulisan ini menjadi rujukan penting dalam studi sejarah konstitusi Indonesia.
Setelah tidak lagi aktif di dunia politik, ia beralih ke bidang akademik. Ia mengajar di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga. Pada tahun 1954, ia diangkat sebagai Rektor Universitas Airlangga hingga 1961. Keberhasilannya di Airlangga membuatnya dipercaya menjadi rektor pertama Universitas Hasanuddin di Makassar.
Kiprah A.G. Pringgodigdo sebagai pejuang, birokrat, dan akademisi menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya dilakukan di medan perang, tetapi juga melalui pemikiran, administrasi, dan pendidikan. Kontribusinya dalam perumusan dasar negara serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah bangsa.
Meski sebagian besar catatannya sempat hilang atau diabaikan, penelitian lebih lanjut oleh A.B. Kusuma berhasil menemukan kembali arsip yang hilang tersebut. Hal ini semakin menegaskan betapa pentingnya peran A.G. Pringgodigdo dalam merekam dan mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.
Sebagai seorang intelektual dan patriot sejati, jejak perjuangan dan pemikirannya tetap relevan hingga kini, menjadi inspirasi bagi generasi penerus dalam memahami dan menjaga nilai-nilai dasar negara Indonesia. [UN]