Tenggelamnya Titanic yang dilukiskan dalam Untergang der Titanic, ilustrasi tahun 1912 karya Willy Stöwer. (Wikipedia)
Tenggelamnya Titanic yang dilukiskan dalam Untergang der Titanic, ilustrasi tahun 1912 karya Willy Stöwer. (Wikipedia)

Setiap tanggal 15 April, dunia memperingati Hari Peringatan Titanic, sebuah momen untuk mengenang lebih dari 1.500 jiwa yang hilang dalam salah satu tragedi maritim paling menggemparkan dalam sejarah: tenggelamnya RMS Titanic. Peristiwa memilukan ini tidak hanya mengubah wajah industri pelayaran, tetapi juga mengguncang keyakinan manusia terhadap teknologi. Tragedi ini juga menjadi inspirasi beberapa film, bahkan salah satu film itu mendapat banyak penghargaan. Melalui artikel ini, kita akan mengulas kembali tragedi pilu ini.

Kapal Impian yang Menjadi Mimpi Buruk

Pada awal abad ke-20, satu-satunya cara menyeberangi Samudra Atlantik adalah dengan kapal laut. Di tengah persaingan antar perusahaan pelayaran, setiap kapal baru berlomba menjadi yang tercepat, terbesar, dan paling mewah. RMS Titanic, yang diluncurkan pada tahun 1912, adalah puncak dari ambisi tersebut.

Melansir laman Euclid Public Library, kapal ini dibangun oleh perusahaan White Star Line, Titanic memiliki panjang 882 kaki, lebar 92 kaki, dan menjulang dengan delapan dek megah. Kapal ini dilengkapi dengan empat cerobong asap raksasa, tiga baling-baling besar, dan tiga mesin uap bertenaga dari 29 ketel yang dikobarkan oleh 159 tungku batu bara, yang setiap hari menghabiskan lebih dari 600 ton batu bara.

Namun, keistimewaan Titanic bukan hanya terletak pada ukuran dan kekuatan mesinnya. Di dalamnya, penumpang kelas satu menikmati fasilitas mewah seperti restoran dan kafe elit, dua perpustakaan, pusat kebugaran, hingga kolam renang dalam kapal. Sebuah suite di kapal ini bahkan dibanderol seharga $4.500 untuk sekali jalan, harga yang cukup fantastis di masa itu.

Sayangnya, di balik kemegahannya, Titanic memiliki kelemahan fatal. Kapal yang disertifikasi untuk membawa 3.547 orang ini hanya dilengkapi dengan 20 sekoci yang mampu menampung 1.187 orang. Kesombongan akan teknologi membuat para perancangnya yakin bahwa kapal ini “tidak dapat tenggelam”.

Pada 10 April 1912, Titanic memulai pelayaran perdananya dari Southampton, Inggris, menuju New York City, dengan membawa sekitar 2.200 penumpang dan awak. Perjalanan itu tampak lancar hingga malam tanggal 14 April 1912.

Pukul 23.40, seorang awak bernama Frederick Fleet melihat gunung es dan membunyikan bel alarm. Meskipun upaya dilakukan untuk memutar haluan, Titanic menabrak gunung es tersebut, yang merobek lambung kapal di bawah permukaan air. Enam dari enam belas kompartemen kedap air langsung terisi. Padahal, Titanic hanya bisa tetap mengapung jika maksimal empat kompartemen terendam.

Dalam hitungan jam, kapal mulai miring dan perlahan tenggelam. Banyak penumpang awalnya enggan meninggalkan kapal, masih percaya pada janji “tidak dapat tenggelam” yang tersemat pada Titanic.

Sinyal darurat SOS dikirim ke kapal-kapal terdekat. Namun, kapal Californian tak merespons karena radionya dimatikan. Barulah RMS Carpathia, yang berada 58 mil jauhnya, menerima panggilan dan langsung meluncur ke lokasi. Sayangnya, ia baru tiba sekitar pukul 4 pagi—dua jam setelah Titanic tenggelam sepenuhnya pada pukul 2:20 dini hari.

Dari sekitar 2.200 penumpang dan awak kapal yang menaiki Titanic, hanya 706 orang yang berhasil selamat. Sebagian besar di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Catatan sejarah menunjukkan bahwa 72% wanita selamat, dibandingkan dengan 50% anak-anak dan hanya 16% pria. Angka-angka ini mencerminkan betapa terbatasnya fasilitas evakuasi yang tersedia, serta kebijakan “wanita dan anak-anak lebih dahulu” yang diterapkan dalam proses penyelamatan. Secara keseluruhan, sekitar 63% dari seluruh orang di atas kapal kehilangan nyawa di lautan Atlantik yang membeku malam itu.

Tragedi tenggelamnya Titanic langsung mengguncang dunia. Pemberitaannya mendominasi berbagai media massa internasional dan menimbulkan tekanan besar terhadap industri pelayaran untuk memperbaiki standar keselamatan. Dari peristiwa ini, lahirlah sejumlah regulasi baru yang mengubah wajah pelayaran laut secara global. Salah satu perubahan paling signifikan adalah kewajiban bagi setiap kapal untuk membawa sekoci yang cukup bagi seluruh penumpang dan awak kapal. Selain itu, sistem komunikasi pun ditingkatkan, radio kapal diwajibkan untuk tetap menyala selama 24 jam penuh dalam pelayaran, sehingga pesan darurat dapat diterima kapan saja. Latihan keselamatan dan sistem evakuasi di atas kapal juga mulai diterapkan secara lebih serius dan terstruktur, sebagai bagian dari upaya pencegahan agar tragedi serupa tidak terulang kembali.

Dari Tragedi Nyata Menjadi Inspirasi Karya Sinema

Kisah tenggelamnya Titanic, dengan segala kompleksitas emosi dan peristiwa yang melingkupinya, tidak hanya menjadi pelajaran sejarah yang penting, tetapi juga sumber inspirasi abadi bagi dunia perfilman. Tragedi ini telah diangkat ke layar lebar berkali-kali dalam berbagai versi dan pendekatan.

Salah satu film pertama yang mengangkat kisah ini adalah Titanic (1953), sebuah film klasik Hollywood yang menghadirkan cerita fiktif berlatar tragedi nyata. Kemudian, pada tahun 1958, film A Night to Remember dirilis. Berbeda dengan film Titanic yang lain, film ini berfokus pada keglamoran dan kisah romantis di atas Titanic. Film yang disutradarai oleh Roy Ward Baker ini bercerita tentang malam terakhir di atas Titanic.

Film ni diproduksi menelan biaya mencapai 500 ribu poundsterling. Dalam film ini, diceritakan bahwa penumpang Titanic kelas bawah terkunci di gerbang kapal dan mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Namun, adaptasi paling terkenal dan mendunia datang dari tangan sutradara James Cameron melalui film Titanic (1997). Film ini tidak hanya sukses secara komersial, tetapi juga artistik, dengan memenangkan 11 Academy Awards dan menjadi salah satu film paling laris sepanjang masa. Dengan kisah cinta yang menyentuh dan visual yang memukau, film ini menghidupkan kembali memori publik tentang tragedi Titanic, bahkan bagi generasi yang jauh dari tahun kejadiannya.

Melalui karya-karya sinematik ini, Titanic tak hanya dikenang sebagai kapal megah yang tenggelam, tetapi juga sebagai simbol dari harapan, pengorbanan, dan pelajaran tentang kerendahan hati dalam menghadapi kekuatan alam yang tak terduga.

Lebih dari satu abad berlalu, kisah Titanic tetap hidup dalam ingatan manusia. Hari Peringatan Titanic bukan sekadar penghormatan bagi para korban, tetapi juga pengingat bahwa bahkan pencapaian terbesar manusia pun tidak kebal terhadap kekuatan alam. [UN]