Koran Sulindo – Kemungkinan akan ada teror susulan setelah Tragedi Manchester, Inggris. BBC News memberitakan, pemerintah Inggris telah mengeluarkan pernyataan tingkat keamanan di negara itu dinaikkan statusnya menjadi kritis. Kepolisian bersenjata dan tentara di sana juga sudah dikerahkan menjaga keamanan publik.
Terkait hal tersebut, Kedutaan Besar Republik Indonesia di London lewat akun Twitter resminya, @KBRILondon, mengungkapkan bahwa status kritis terebut merupakan ancaman terorisme tingkat tertinggi di Inggris. Karena itu, pemerintah Indonesia meminta warga negara Indonesia yang sedang berada di Inggris, khususnya di Manchester, untuk meningkatkan kewaspadaannya. “WNI di UK agar tingkatkan kewaspadaannya,” tulis KBRI London, Rabu (24/5).
Pelaku bom bunuh di konser Ariana Grande Senin tengah malam (22/5) berhasil diidentifikasi kepolisian setempat. Menurut Kepala Polisi Manchester Ian Hopkins, pelakunya bernama Salman Abedi, yang berusia 22 tahun. “Saya dapat memastikan pelaku kekejaman semalam adalah Salman Abedi, yang berusia 22 tahun,” kata Hopkins. Serangan tersebut menewaskan 22 orang dan melukai 59 orang. Salman Abedi ikut tewas dalam ledakan tersebut.
Diberitakan Telegraph, berdasarkan informasi dari intelijen Amerika Serikat, Salman Abedi lahir di Manchester pada tahun 1994. Ia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Orang tuanya adalah pengungsi dari Libya yang datang ke Inggris untuk melarikan diri dari rezim Gaddafi.
Ayahnya bernama Ramadan Abedi, seorang petugas keamanan. Ibunya bernama Samia Tabbal, berusia 50 tahun. Suami-istri tersebut lahir di Libya dan kemudian bermigrasi ke London sebelum pindah ke daerah Fallowfield di selatan Manchester, tempat tinggal mereka sekeluarga selama 10 tahun terakhir.
Yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak, apakah Abedi “pemain tunggal” atau bagian dari sel teroris yang lebih luas. Komunitas Libya di Manchester bahkan masih terheran-heran Abedi adalah dinyatakan sebagai pelakunya. Karena, Abedi dikenal sebagai sosok yang pendiam dan sangat menghormati orang tua. “Salman? Saya sangat terkejut mendengarnya?” demikian komentar seorang pria, tetangga Abedia.
Menurut dia, saudara Abedi, Ismail, jauh lebih terbuka. “Tapi, Salman sangat pendiam. Tak ada yang menduga dia pelakunya,” tutur pria tersebut.
Diungkapkan pula, Salman dan Ismail kerap menjalankan ibadah di Masjid Didsbury, tempat ayah mereka menjadi seorang tokoh yang amat dihargai. “Dia selalu mengumandangkan azan lima kali sehari. Suaranya benar-benar indah. Dan anak-anaknya membaca Al Quran di dalam hati,” kata pria itu lagi. Sang ayah, lanjutnya, pasti sangat sedih jika mengetahui hal ini. “Karena, sia sangat menentang ideologi jihad yang salah. Dia menegaskan, ISIS bukan jihad, tetapi kejahatan. Keluarganya pasti sangat hancur.”
Sementara itu, teman keluarga Abedi mengatakan, apa yang dilakukan Salman pasti merupakan pengaruh orang lain. “Sangat mengerikan, Salman sudah tak bisa berpikir lagi,” ujarnya.
Tapi, Mohammed Saeed, tokoh di Masjid Didsbury, mengatakan Salman pernah mencari dirinya dengan penuh marah. “Ia marah karena saya dalam ceramah mengkritik ISIS dan Ansar al-Sharia di Libya,” ungkap Saeed, yang memang dikenal sebagai penceramah yang menentang terorisme.
Dia menjelaskan, setelah ceramah itu, Salman memperlihatkan wajah kebenciannya. “Dia menujukkan betapa dia sangat membenci saya,” tutur Saeed. [PUR]