Usai sudah hajatan pemilu di tahun 2024, tinggal hitung-hitungan akhir untuk memastikan siapa pemimpin negari ini di kursi eksekutif maupun legislatif. Kita memilih pemimpin berdasarkan kemauan rakyat dengan suara terbanyak. Pemimpin dipilih rakyatnya, bukan jatuh dari atas langit.
Dari jejak sejarah/budaya lawas, di wilayah Jawa pemimpin diyakini sudah ditentukan garis peruntungannya, dengan segala mitos dan taraf keyakinan.
Di Jawa seseorang dapat menjadi pemimpin/raja/ratu bila dia memperoleh wahyu dari dewa/ilahi yang memberi dia kekuasaan. Banyak pihak mengatakan itu hanya mitos, tapi tidak sedikit yang meyakininya hingga sekarang.
Untuk mendapatkan wahyu itu, sejumlah laku (kegiatan/usaha) harus ditempuh—yang sampai sekarang masih dilakukan masyarakat Jawa dan dikenal sebagai Agami Jawi (Kejawen)—seperti bersemedi (tapa), laku tirakat, lelana brata, pasa (berpantang tertentu) yang seluruhnya bersifat magis. Oleh karena wahyu hanya “jatuh” pada orang yang terpilih, maka hanya orang itu yang bisa menjadi pemimpin, sedangkan yang tidak punya wahyu tidak mungkin jadi pemimpin. Diyakini, orang yang mendapat wahyu, mukanya akan bersinar atau memiliki teja. Namun, kekuasaan itu akan hilang bila dia memiliki pamrih, mulai menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, atau melanggar pantangan yang telah diyakini.
Selain Wahyu ada Ndaru, dan Pulung yang digambarkan berupa cahaya terang. Wahyu, berbentuk segumpal sinar berwarna hijau cerah berkilauan menimbulkan kesejukan. Orang yang mendapat wahyu dipercaya akan mendapat kedudukan sangat tinggi, seperti raja atau kepala negara. Ndaru, adalah cahaya sebesar buah kelapa gading, dan mereka yang mendapatkannya akan menjadi gubernur atau bupati, sedangkan Pulung berbentuk cahaya sebesar bakal buah kelapa (bluluk). Pulung bisa juga dibilang sebagai garis/sinar keberuntungan. Penerima sinar ini diyakini akan menjadi pemimpin di tingkat dusun atau desa.
Kepemimpinan Jawa di masa pertengahan (abad ke-14 sampai 16 hingga) atau pada masa kerajaan Mataram, ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam menguasai dan memengaruhi orang lain. Konsep kepemimpinan Jawa di era ini sudah dipengaruhi nilai-nilai agama Islam yang mulai masuk ke Pulau Jawa.
Pakubuwono IV dalam Serat Wulangreh menyatakan, pemimpin adalah seseorang yang mampu memangku dan memuat siapa saja, lapang hati seperti laut yang luas. Tugas utama seorang pemimpin tidak lagi melindungi seluruh jagad raya sebagaimana pada masa kerajaan Jawa-Hindu, tetapi menegakkan kebenaran, meskipun untuk itu dia harus mengorbankan kepentingan sendiri.
Kepemimpinan dalam pandangan Jawa modern (jaman Kerajaan Mataran Islam, abad ke-16 sampai sekarang), menempatkan raja atau ratu bukan lagi sebagai penjelmaan dewa. Pasalnya pada masa itu sudah terjadi akulturasi nilai-nilai budaya agami Jawi dengan nilai-nilai agama Islam. Raja dianggap sebagai keturunan orang biasa yang memiliki sifat-sifat keutamaan. Namun begitu, dia memiliki kewajiban yang berbeda dengan petani atau rakyat biasa.
Dalam masa kerajaan Jawa modern, nilai-nilai kepemimpinan Jawa mengalami perubahan. Raja adalah pengayom (pelindung) dan penyayem (pembuat ketenteraman) bagi rakyat. Sistem politik kerajaan juga sudah mengenal nilai-nilai demokrasi, tidak lagi feodal meskipun tidak ada lembaga semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Raja bisa berdialog dengan rakyat (kawula), menggunakan ragam bahasa Jawa bagongan yang tidak membedakan status pangeran dengan abdi dalem atau bawahan.
Sekali lagi ini mitos yang hidup di kalangan Jawa, dan tentu di wilayah lain juga punya keyakinan tersendiri tentang cara memilih pemimpin bangsa, kelompok atau sukunya, negara ini sungguh kaya dengan segala kepercayaannya. [KS]