Fahri Hamzah

Koran Sulindo – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah meminta Pemerintah mempelajari temuan Tim Pansus Hak Angket terkait buruknya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla harus membaca laporan dari temuan Pansus angket dan saya pastikan Istana melihat proses yang dilakukan Pansus Angket di DPR ,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (23/8).

Ia meminta Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk bisa mengambil kesimpulan dari temuan Pansus Angket DPR dan dipandang dengan baik. KPK  saat ini seperti negara dalam negara yang tidak taat kepada prosedur bernegara, yang lain sudah baku, maupun penegakan hukum terkait hak-haknya.

“Harus ada tindaklanjut yang positif dari pemerintah, apapun temuannya tersebut,” kata Fahri.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menilai pemerintah harus mengintergrasikan KPK dengan sistem peradilan pidana. “Pemerintah perlu menyiapkan antisipasinya,” ujarnya.

Sebelumnya, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan hasil temuan sementara kerja sejak dibentuk 4 Juli hingga (21/8).

Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa menuturkan, sampai saat ini proses penyelidikan di Pansus Angket KPK masih terus berjalan.

Berikut hasil temuan sementara Pansus Hak Angket KPK:

1.Dari aspek kelembagaan, KPK bergerak menjadikan dirinya sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi, serta menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya.

2. Kelembagaan KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power) dalam sebuah negara hukum dan Negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

3. KPK yang dibentuk bukan atas mandat Konstitusi akan tetapi UU No 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya (para wakil rakyat) di DPR secara terbuka dan terukur.

4. Lembaga KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK belum bersesuaian atau patuh atas azas-azas yang meliputi azas kepastian hukum, keterbukaan akuntabilitas kepentingan umum dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Uu KPK.

5. Dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan eksistensi, jati diri, kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara, penegak hukum. KPK lebih mengedepankan praktek penindakan melalui pemberitaan (opini) daripada politik pencegahan.

6. Dalam hal fungsi supervisi, KPK lebih cenderung menangani sendiri tanpa koordinasi. dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan kembali instansi Kepolisian dan Kejaksaan. KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya di pusat tapi ingin mengembangkan jaringan sampai ke daerah. Yang sesungguhnya KPK dibentuk lebih pada Fungsi Koordinasi dan supervisi. Adapun penyelidikan, penyidikan dan penuntutan lebih pada fungsi berikutnya (Trigger Mechanism).

7. Dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan. Didapatkan bebagai praktek tekanan, ancaman, bujukan dan jani-janji. Bahkan juga didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Pencabutan BAP dipersidangan, kesaksian palsu yang direkayasa, hal hal itu terjadi dan kami dapatkan. Ke depan tentunya hal-hal itu perlu ada langkah-langkah perbaikan.

8. Terkait dengan SDM Aparatur KPK, kembali KPK dengan argumen independennya, merumuskan dan menata SDM nya yang berbeda dengan unsur aparatur lembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat kepada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara lainnya seperti UU Kepolisian, UU Kejaksaan. KPK dengan argumen inde penden tidak tepat dan tidak memiliki landasan hukum yang cukup hanya PP Apalagi PP No. 103 Tahun 2012 KPK sebagaimana telah dirubah dan PP No. 63 Tahun 2005 mendasarkannya kepada UU KPK yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana karupsi bukan tentang SDM Aparatur Walaupun ada putusan MK Nomor 109 Tahun 2015 atas hal tersebut. Ke depan harus dikembalikan dan diperbaiki secara hukum yang benar, agar tidak menimbulkan dualisme pengaturan di bidang aparatur negara diintermal KPK seperti adanya organisasi wadah pegawai, penyidik independen yang bisa berbeda kebijakan dengan atau bagi aparatur KPK lainnya.

9. Terkait dengan penggunaan anggaran, berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang belum dapat dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Untuk itu dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu. Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasaran utamanya yang terkait dengan kinerja KPK. Ke depan BPK juga perlu mengaudit atas sejumlah sitaan dan barang-barang rampasan (BARAN) dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan Pansus di 5 kantor RUPBASAN pada wilayah hukum Jakarta dan Tangerang yang tidak didapatkan data-data BASAN dan BARAN dalam bentuk uang rumah, tanah dan bangunan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara (RUPBASA.

10. Terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, Pansus memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM. Dan untuk itu, Komisi Ill DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap Instansi Kepolisian dan Kejaksaan melalui Rapat-rapat Kerja, RDP dan Kunjungan Lapangan atau Kunjungan spesifik.

11. Akan halnya mengenal sejumlah kasus atau permasalahan yang terkait dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik dan penuntut umum KPK, yang menjadi pemberitaan di publik seperti laporan saudara Niko Panji Tirtayasa di Bareskrim, kasus penyiraman penyidik Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem. Kemudian rekaman kesaksian saudari Miryam S Haryani, pertemuan Komisi III DPR dengan penyidik KPK kiranya Komisi DPR RI dapat segera mengundang pihak KPK dan POLRI dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik yang tidak berkesudahan.

Sejauh ini, perdebatan mengenai Pansus Hak Angket KPK masih terus bergulir. Apalagi setelah anggota Pansus mendatangi Lapas Sukamiskin, mengunjungi narapidana koruptor untuk menggali informasi seputar proses penyidikan yang dilakukan KPK. [CHA]