Koran Sulindo – Pemenuhan kebutuhan pasokan listrik merupakan salah satu faktor utama bagi pertumbuhan ekonomi. Industri akan berkembang, tenaga kerja juga akan terserap ketika kebutuhan listrik terpenuhi.
Sejauh ini kondisi ketenagalistrikan nasional sangat memprihatinkan. Dibandingkan sesama negara Asean saja, masih tertinggal jauh. Kapasitas terpasang nasional per kapita penduduk masih urutan keenam di lingkup Asean, setelah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kapasitas nasional yang baru mencapai 53.000 megawatt pada 2015 akhir mengindikasikan kapasitas per kapita tersedia nasional baru mencapai sekitar 210 watt per kapita, dengan total penduduk mencapai 252 juta orang.
Sementara Singapura sudah mencapai 2.500 watt per kapita, dan Malaysia 950 watt per kapita.
Persoalan ini mengemuka saat Komisi VII DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Pusat Sains Teknologi dan Akselerator – Badan Tenaga Nuklir Nasional (PSTA BATAN), Yogya, Rabu (14/9).
“Karena itu kebutuhan energi nasional pada 2025 yang diproyekasikan dua puluh tiga persennya dipenuhi oleh energi baru terbarukan, mustahil tercapai tanpa dukungan energi nuklir,” kata Dr.Tumiran dari Dewan Energi Nasional (DEN) menjelaskan kepada para wakil rakyat ini.
Sementara itu Kepala BATAN, Prof Dr Djarot Sulistyo Wisnubroto, pada awal acara, mengemukakan bahwa Indonesia sangat siap untuk membangun PLTN. “Terakhir, BATAN telah merampungkan studi tapak untuk pembangunan PLTN di Bangka, Babel, Sumatera,” ujarnya.
Sedangkan ketersediaan bahan baku Uranium maupun Thorium, sumberdaya manusia, maupun teknologi, lanjut Djarot, Indonesia pun telah siap. Bahkan IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) pun menyatakan, dari 19 parameter bagi suatu negara untuk boleh membangun PLTN, tinggal tiga parameter yang masih belum dimiliki Indonesia.
Salah satu parameter yang masih kurang, tutur Djarot, menyangkut komitmen nasional. Artinya ini menyangkut komitmen kepala negara. Kendala lain menyangkut pendanaan. Beaya untuk membangun satu PLTN bisa jadi setara dengan pembangunan 3-4 PLTU (pusat Listrik Tenaga Uap). Berikutnya, pembangunan satu PLTN membutuhkan waktu lama, antara 7-10 tahun.
“Mendengar berbagai penjelasan, saya kira tak ada alasan bagi dewan untuk tidak mendukung pemanfaatan energi nuklir,” kata Ketua Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu.
“Inilah saatnya kita membulatkan tekad menyatukan komitmen agar Indonesia segera membangun dan memiliki PLTN. Jadi, Indonesia tak akan mungkin bisa makmur tanpa nuklir,” ujar anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi.
Kurtubi yakin bila sudah ada keputusan untuk membangun PLTN, maka tak perlu menunggu sampai 2025 untuk beroperasi. “Saya yakin BATAN mampu, karena sudah lama berdiri. Kalau perlu 2018 sudah beroperasi tak perlu menunggu 2025,” tegasnya.
Kurtubi menambahkan dana untuk membangun PLTN memang tak perlu harus diambil dari APBN. “Bisa mengundang investor,” tegas Kurtubi lagi. (Yuk/DAS)