Buku-buku sejarah menyebutkan kerajaan tertua di Nusantara bernama Kutai. Bukti otentiknya berupa prasasti berbentuk tiang batu yang disebut yupa. Ada tujuh prasasti yupa yang ditemukan di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Empat yupa ditemukan pada 1879, sementara tiga lainnya ditemukan pada 1940. Prasasti yupa ditulis menggunakan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Pallawa dan Sanskerta merupakan pengaruh dari India.
Dari penafsiran para epigraf atau ahli membaca aksara kuno, prasasti yupa bertarikh abad ke-4 sampai ke-5. Dengan demikian disimpulkan sampai hari ini kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Nusantara. Lokasi kerajaan ini di wilayah Muara Kaman, kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.
Prasasti yupa menyebut nama-nama raja Kundunga, Aswawarman, dan Mulawarman. Mulawarman merupakan raja terkemuka yang pernah memberi sedekah 20.000 ekor lembu kepada para brahmana. Dari istilah-istilah tersebut, diketahui kerajaan Kutai berciri Hindu.
Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan (Kutai) Martadipura. Kepercayaan Kaharingan sangat dominan pada masa ini. Berikutnya ada kerajaan Sri Bangun yang bercorak Buddha. Kerajaan yang tergolong muda bernama kerajaan Kartanegara dan bercorak Islam.
Suku Kutai
Menurut tradisi lisan, suku Kutai berpindah dari daratan Asia yang kini disebut Provinsi Yunan – Tiongkok Selatan antara 3.000-1.500 Sebelum Masehi. Mereka kelompok pengembara yang sampai Kalimantan dengan melewati Hainan, Taiwan, Filipina kemudian menyeberangi Laut Tiongkok Selatan menuju Kalimantan Timur. Pada saat itu perpindahan penduduk dari pulau ke pulau tidak begitu sulit. Pada zaman es, permukaan laut sangat turun akibat pembekuan es di kutub Utara dan Selatan sehingga dengan perahu kecil bercadik, mereka dengan mudah menyeberangi selat Karimata dan Laut Tiongkok Selatan menuju Kalimantan Timur.
Para imigran dari daratan Tiongkok ini masuk ke Kalimantan Timur dalam waktu berbeda. Menurut Wikipedia, kelompok pertama datang sekitar 3.000-1.500 Sebelum Masehi. Sekitar 500 Sebelum Masehi berlangsung lagi arus perpindahan penduduk yang lebih besar. Kelompok inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal penduduk Kutai. Setelah arus perpindahan penduduk dari Yunan terjadilah percampuran penduduk karena perkawinan.
Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku. Seluruh masyarakat asli Kalimantan sebenarnya adalah serumpun. Hanya permasalahan politik penguasa dan agama menjadi jurang pemisah antara keluarga besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi Masyarakat Melayu Muda. Khususnya dalam Islam maupun Nasrani, hal-hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran lama akan ditinggalkan. Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan Dayak.
Pemberian nama Kutai menjadi nama suku akibat dari politik kepentingan penguasa saat itu yang berambisi menyatukan dua kerajaan, yaitu Kutai Kartanegara dengan Kutai Martadipura. Tujuannya untuk memperbesar wilayah Kutai Kartanegara dan menahan perluasan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Masyarakat Dayak akhirnya bertransformasi menjadi Masyarakat Kutai saat berdiam di wilayah kekuasaan kerajaan Kartanegara dan diharuskan mematuhi peraturan penguasa. Yang menolak dan memiliki kesempatan melarikan diri akhirnya masuk ke pedalaman dan tetap menjadi masyarakat Dayak. Versi lain menyebutkan istilah dayak bukan merupakan nama suku tapi pemberian Belanda untuk menghina masyarakat.
Masih menurut Wikipedia, kerajaan Kutai pada awalnya disebut Queitaire (Kutai) oleh pendatang dan pedagang yang datang dari India Selatan. Kata queitaire berarti belantara, dengan ibu kota kerajaan bernama Maradavure (Martapura) berada di Pulau Naladwipa (Kalimantan). Dalam berita Champa atau Tiongkok disebut Kho-Thay artinya Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar.
Pada masa itu penduduk Kutai terbagi menjadi lima puak (suku), yakni Puak Pantun, Puak Punang, Puak Sendawar, Puak Pahu, dan Puak Melanti. Puak Pantun merupakan suku tertua yang ikut mendirikan kerajaan Kutai Martadipura. Suku ini mendiami kabupaten Kutai Kartanegara sampai kabupaten Kutai Timur sekarang.
Puak Punang adalah suku yang mendiami wilayah pedalaman, diperkirakan hasil percampuran antara Puak Pantun dan Puak Sendawar (Tunjung-Benuaq). Suku ini mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun (atau dikenal dengan nama Negeri Paha pada masa pemerintahan Kutai Martadipura). Puak Punang tersebar di wilayah Kota Bangun, Muara Muntai, Danau Semayang, Sungai Belayan, dan sekitarnya.
Puak Tulur adalah suku yang mendiami wilayah Sendawar (Kutai Barat). Suku ini mendirikan Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan Rajanya yang terkenal Aji Tulur Jejangkat. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung dan Benuaq (Ohong dan Bentian).
Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah Sungai Kedang Pahu. Suku ini tersebar di Kecamatan Muara Pahu dan sekitarnya. Puak ini merupakan keturunan Dayak Benuaq.
Puak Melanti adalah masyarakat yang mendiami wilayah pesisir. Mereka merupakan puak termuda di antara puak-puak Kutai. Di dalam masyarakat ini telah terjadi percampuran antara suku Kutai asli yaitu Dayak, dengan suku pendatang yakni Banjar, Jawa, dan Melayu.
Masa selanjutnya Puak Pantun, Punang, Pahu, dan Melanti berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa yang mirip namun berbeda dialek. Sedangkan sebagian Puak Sendawar yang tidak berasimilasi dengan pendatang akhirnya hidup di pedalaman, oleh peneliti Belanda disebut dengan istilah orang Dayak.
Saat ini suku atau orang Kutai dibedakan dengan orang-orang Dayak lain karena umumnya memeluk Islam. Mereka sering disebut Halok atau Haloq (sebutan untuk suku Dayak atau suku asli Tanah Kutai yang keluar dari adat/budaya/kepercayaan nenek moyang), untuk membedakannya dengan orang Dayak yang belum memeluk Islam.
Pada masa sekarang orang Kutai umumnya memeluk Islam. Sisa-sisa Hindu masih terlihat dalam berbagai upacara daur hidup, misalnya upacara naik ayun, pemberian nama bayi, dan pengobatan tradisional.
Adat-istiadat lama Suku Kutai memiliki beberapa kesamaan dengan adat-istiadat suku-suku rumpun Ot Danum (khususnya Tunjung-Benuaq), misalnya Erau (upacara adat yang paling meriah berawal dari abad ke-12), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), serta mantra-mantra dan ilmu gaib. Adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Suku Kutai asli akan menyebut Suku Dayak dengan istilah Densanak Tuha yang artinya Saudara Tua karena masih satu leluhur. [DS]