Di pedalaman hutan Kalimantan, tersimpan sepotong sejarah yang tak hanya mengguncang nalar, tapi juga memperlihatkan betapa kuatnya ikatan antara budaya, spiritualitas, dan identitas. Tradisi itu bernama Ngayau—perburuan kepala manusia—yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Dayak, terutama sub-suku Iban, Kenyah, dan Kayan.
Ngayau Bukan Sekadar Kekerasan
Ngayau bukan sekadar aksi kekejaman tanpa alasan. Di balik kekerasannya, terselip makna-makna dalam yang menyangkut pertahanan diri, kehormatan, hingga keyakinan spiritual. Dalam praktiknya, seorang pengayau akan memenggal kepala musuh lalu membawanya pulang sebagai simbol keberhasilan, keberanian, dan status sosial.
Bagi masyarakat Dayak masa lampau, kepala manusia bukan hanya trofi perang, tetapi dianggap mengandung kekuatan magis. Roh dari kepala tersebut dipercaya dapat melindungi kampung, memberikan kesuburan bagi tanah, serta menguatkan energi spiritual komunitas.
Tradisi ngayau menyimpan berlapis-lapis motif yang tak bisa disederhanakan hanya sebagai aksi balas dendam. Pertama-tama, ada semangat pertahanan. Ngayau dilakukan sebagai bentuk perlindungan atas lahan pertanian atau wilayah dari ancaman luar.
Kedua, unsur spiritual menempati posisi penting. Kepala musuh diyakini membawa kekuatan yang dapat diwariskan kepada komunitas atau individu. Dalam beberapa kasus, seseorang harus membuktikan keberaniannya dengan membawa kepala manusia sebagai syarat dalam upacara pernikahan atau pembangunan rumah adat, di mana kepala itu digunakan sebagai bagian dari ritual menancapkan tiang pancang.
Tak kalah penting, ngayau juga mencerminkan hierarki sosial. Seorang pengayau yang berhasil akan naik statusnya dalam komunitas, dipandang lebih terhormat, dan berhak ikut dalam perundingan adat.
Etika dan Aturan Adat
Meski terdengar brutal, ngayau bukan tanpa aturan. Terdapat batasan-batasan adat yang dijunjung tinggi. Pelaku dilarang menyerang perempuan yang baru melahirkan, anak-anak, atau kampung yang sedang berkabung—tanda yang biasanya ditandai dengan tempayan berisi sesajen (sirok somah) di depan rumah. Kekerasan dibingkai dalam konteks yang “dibenarkan” oleh adat, bukan tindakan sembarangan.
Seiring perubahan zaman, praktik ini mulai dipertanyakan oleh masyarakat Dayak sendiri. Puncaknya terjadi pada tahun 1894 dalam sebuah pertemuan besar di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah. Di sinilah para tetua dari berbagai sub-suku Dayak sepakat mengakhiri tradisi ngayau karena lebih banyak mendatangkan permusuhan antarsesama daripada perlindungan.
Perjanjian Tumbang Anoi menjadi tonggak penting yang menandai transisi masyarakat Dayak dari kehidupan adat yang penuh konflik menuju harmoni sosial. Setelah kesepakatan ini, pelaku ngayau dikenai sanksi adat dan praktik tersebut perlahan menghilang dari kehidupan sehari-hari.
Ngayau dalam Konflik Sampit
Meski secara resmi telah dihentikan, bayang-bayang tradisi ngayau sempat mencuat kembali dalam tragedi Konflik Sampit pada Februari 2001. Dalam kerusuhan antar-etnis yang melibatkan suku Dayak dan pendatang Madura di Kalimantan Tengah, kekerasan meledak dengan cara-cara yang mengerikan. Banyak korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan—kepala mereka terpisah dari tubuh. Isu tentang kembalinya praktik ngayau mencuat di tengah ketegangan, meskipun dalam bentuk yang lebih merupakan aksi brutal daripada bagian dari ritual adat.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa sisa-sisa memori budaya dapat bangkit kembali dalam konteks konflik, bahkan jika nilai-nilainya telah bergeser jauh dari makna awalnya.
Ngayau bukan hanya tentang kekerasan, melainkan tentang bagaimana suatu masyarakat membangun sistem perlindungan, status, dan spiritualitas melalui cara-cara yang ekstrem di masa lalu. Hari ini, ia berdiri sebagai monumen sejarah yang menggambarkan kompleksitas budaya Dayak—tradisi yang pernah hidup, kini dikenang, dan menjadi bagian penting dari identitas mereka. Namun sejarah juga mengingatkan bahwa kekerasan, meski dibungkus dalam budaya, akan selalu menuntut pertanggungjawaban moral di setiap zamannya. [UN]