Baiq Nuril [foto/Republika]

Koran Sulindo – Nama Baiq Nuril Maqnun kini tengah menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak, korban pelecehan seksual oleh bekas atasannya itu justru divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Terkait itu, politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari meminta Presiden RI Joko Widodo memberi amnesti bagi Baiq Nuril Maqnun.

Menurut Eva, sudah layak dan sepantasnya jika Presiden memberikan amnesti dan kemudian juga rehabilitasi nama baik Nuril.

Eva menilai, putusan MA atas kasus Baiq Nuril jelas menjauhkan penanganan kasus hukum dari keadilan.

Apalagi, Pengadilan Negeri Mataram dan Pengadilan Tinggi Lombok sebelumnya telah melihat bahwa Nuril bukanlah pelaku penyebarluasan rekaman telepon yang dipersoalkan.

Atas dasar itu, PN Mataram dan PT Lombok membebaskan Nuril dari dakwaan jaksa penuntut umum.

“Putusan MA harusnya hanya menelaah putusan-putusan pengadilan di bawahnya yaitu PN atau PT. Jadi tidak malah bikin putusan atas perkaranya sendiri yang itu jadi wewenang hakim PN dan PT,” kata Eva dalam keterangan tertulis kepada wartawan, di Jakarta, Senin (19/11).

Eva yang juga Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP menilai, majelis kasasi MA yang mengadili kasus ini bukan hanya melampaui kewenangan, tapi sekaligus tidak menunjukkan keteladanan dalam berperikemanusiaan.

Hal ini menurut dia bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Hakim mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Aturan itu menyatakan bahwa dalam pemeriksaan perkara hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi dengan mengidentifikasi fakta persidangan.

“Harus MA melakukan koreksi diri terhadap kinerja para hakim yang menurut berbagai riset menjadi lembaga yang integitasnya rendah karena korupsi dan diskriminatif terhadap perempuan yang lemah,” kata Eva.

Presiden Jokowi sendiri mendukung proses hukum yang tengah dijalani oleh Baiq Nuril. Kepala Negara berharap Baiq bisa mendapatkan keadilan dalam proses peninjauan kembali.

Dukungan kepada Baiq tersebut disampaikan Jokowi usai blusukan di Lamongan, Jawa Timur.

Pada kesempatan itu Jokowi mengharapkan agar semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Hal itu tak terkecuali dirinya sebagai Presiden yang tak mungkin melakukan intervensi atas proses hukum.

“Sebagai kepala pemerintahan, saya tidak mungkin, tidak bisa mengintervensi putusan itu. Ini yang harus diketahui terlebih dahulu,” kata Jokowi.

Tapi meskipun begitu, masih terbuka peluang bagi Baiq untuk menempuh proses hukum berikutnya yakni mengajukan PK ke Mahkamah Agung.

Jika PK itu diajukan, Jokowi berharap MA memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi Baiq.

“Kita berharap nantinya melalui PK, Mahkamah Agung dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Saya sangat mendukung Ibu Baiq Nuriil mencari keadilan,” kata Jokowi.

Bahkan kalaupun putusan PK itu belum bisa memberikan keadilan bagi Baiq, Jokowi mempersilakannya agar langsung mengajukan grasi kepada presiden.

“Seandainya nanti PK-nya masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke Presiden. Memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke presiden, nah nanti itu bagian saya,” kata Jokowi.

Kasus yang menimpa Baiq bermula dari tahun 2012 ketika Baiq masih berstatus sebagai Pegawai Honorer di SMAN 7 Mataram. Satu ketika dia ditelepon oleh M yang merupakan kepala sekolah di SMA tersebut.

Dalam perbincangan selama kurang lebih 20 menit itu, hanya 5 menit pembicaraan yang membahas soal pekerjaan. Sisanya, M justru bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya. Perbincangan terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq.

Tak hanya sekali menelepon, Baiq merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Selain itu bahwa Baiq juga dicurigai memiliki hubungan gelap dengan M oleh orang-orang sekitarnya.

Jengah dengan konsidi itu, Baiq merekam perbincangannya dengan M untuk membuktikan bahwa ia tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Baiq juga tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam. Baiq hanya berbicara kepada rekan kerjanya, Imam Mudawin soal rekaman itu.

Menjadi masalah karena rekaman itu justru disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.

Merasa tidak terima aibnya diketaui orang banyak, M melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ketika kasus itu berlanjut hingga ke persidangan, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.

Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah dan divonis hukuman kurungan selama enam bulan dan denda Rp 500 juta. [SAE/TGU]