Koran Sulindo – Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak rencananya akan kembali dihelat pada Juni 2018. Pilkada serentak itu akan memilih kepala daerah di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Beberapa partai politik sudah ada yang secara resmi mengumumkan calon kepala daerah yang akan diusung. Namun, tidak demikian halnya dengan partai pemenang pemilihan umum 2014 lalu, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.
Sejauh ini, partai politik yang dipimpin Megawati Soekarniputri itu baru memberi sinyal akan mengusung seorang nahdilyin yang kini menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Jawa Timur. Sinyal tersebut dilontarkan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristianto di Surabaya, 1 September 2017 lalu.
“Ibu Mega yang memegang keputusan memilih Gus Ipul. Yang punya wewenang hanya dia,” kata Hasto.
Diungkapkan Hasto lagi, Megawati sebelumnya telah meminta masukan dari kiai-kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) di provinsi tersebut. “Bu Mega telah memerintahkan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, dan didampingi Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Kusnadi, meminta masukan kiai di Jatim,” ujarnya.
PDI Perjuangan, lanjutnya, sudah berkomitmen untuk bergandengan tangan dengan NU, terutama di Jawa Timur. Karena itu, masukan dari kiai sangat penting dan diharapkan pada waktunya PDI Perjuangan akan menentukan nama terbaik untuk memimpin Jawa Timur selama lima tahun ke depan.
“September ini dijadwalkan rekomendasi sudah turun dan Bu Mega yang memiliki wewenang. Karena itu beliau meminta doa dan restu kepada kiai-kiai sepuh di Jawa Timur,” tutur Hasto.
PDI Perjuangan sendiri, menurut Hasto, memiliki kedekatan yang kuat dengan kiai NU. “Apalagi, kiai-kiai NU sangat dibutuhkan karena bangsa ini, khususnya Jatim, tidak bisa lepas dari para ulama yang memiliki peran sentral,” katanya.
Kontribusi NU untuk Tanah Air juga memiliki sejarah panjang. “Dalam kesejarahan NU yang didirikan 1926 betul-betul berserikat bagi republik ini,” ujar Hasto lagi. Itu sebabnya juga, tambahnya, PDI Perjuangan akan mendengarkan nahdliyin.
Dalam acara “Halaqah Nasional Alim Ulama se-Indonesia” di Jakarta, 13 Juli 2017, Megawati juga mengungkapkan bagaimana keluarganya dengan alim ulama, terutama ayahnya, Bung Karno. “Ayah saya mengatakan, tanpa mereka, mungkin kita akan tetap dijajah. Tanpa mereka kemungkinan kita tidak akan merdeka,” kata Megawati.
Dengan seringnya Bung Karno bertemu dengan alim-ulama, Megawati sejak dulu telah menyadari bahwa agama Islam adalah agama yang membawa ajaran kedamaian. Namun, belakangan ini, Megawati mengaku sedih, karena ada sekolompok orang yang justru bersikap bertentangan dengan ajaran Islam yang damai. “Kenapa ada orang yang mengatakan mereka beragama Islam tapi, menurut saya, beda dengan yang saya alami dari kecil sampai sekarang ini. Ketika bertemu ulama, saya merrasakan kehangatan cinta kasih. Tapi, ada keadaan yang sangat beda saat ini,” tutur Megawati.
Kisah yang hampir sama juga dipaparkan Hasto dalam acara “Halal Bihalal dan Konsolidasi PDI Perjuangan” di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, 16 Juli /2017. Ia mengatakan, betapa besarnya jasa para ulama dan tokoh Islam dalam perjuangannya bersama Bung Karno melawan penjajahan hingga menghasilkan kemerdekaan Indonesia.
“Apa yang Bung Karno pelajari tentang Islam ketika beliau mondok di tempat Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ketika beliau banyak belajar dengan Kiai Haji Hasyim Asy’ari, kemudian beliau banyak berkirim surat dengan Tuan Hasan, untuk memikirkan bagaimana Islam hadir tidak hanya sekadar sebagai rahmatan lil ‘alamin, tetapi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, ‘Islam Is A Progress,’ kata Bung Karno, ‘angkatlah api perjuangan Islam dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan Indonesia itu’,” kata Hasto.
Jadi, lanjut Hasto, kalau sekarang ada pihak-pihak yang mengatakan PDI Perjuangan selaku partai yang meneruskan ajaran Bung Karno ada jarak dengan Islam, itu jelas sama sekali tidak benar dan tidak masuk akal. PDI Perjuangan tentu akan terus mengikuti cara perjuangan Bung Karno yang bersinergi dengan para ulama dan tokoh Islam dalam mewujudkan bangsa Indonesia ini maju dengan berkeadaban.
Sejarah juga mencatat, Bung Karno bukan hanya dekat dengan ulama dari kalangan NU, tapi juga dari organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam yang lain, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Bahkan, Bahkan, Bung Karno pernah menjadi pengurus Muhammadiyah sewaktu diasingkan ke Bengkulu oleh pemerintah kolonial Belanda.
“Saya menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938 sekarang sudah 1962, jadi sudah 24 tahun,” kata Bung Karno ketika memberikan sambutan dalam “Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah”, tahun 1962. Saking dekatnya dengan Muhammadiyah, Bung Karno pernah mengatakan, bila dirinya wafat, ia ingin dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah di atas kain kafannya.
Adalah Hassan Din, tokoh Muhammadiyah di Bengkulu, yang mengajak Bung Karno terlibat di organisasi itu. Din meminta Bung Karno mengajar di sekolah Muhammadiyah. “’Kuanggap permintaan ini sebagai satu kehormatan,’ jawabku,” tutur Bung Karno kepada Cindy Adam yang ditulis dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sebelum mulai mengajar, Din juga berpesan kepada Bung Karno agar tak memasukkan materi politik dalam pelajaran. “Pasti tidak, kecuali hanya akan kusebut bahwa Nabi Muhammad selalu mengajarkan kecintaan kepada Tanah Air,” kata Bung Karno.
Menjelang wafatnya, Bung Karno juga sempat menyampaikan wasiat kepada Mayor Jenderal Soeryo, ajudan Presiden Soeharto. Isi pesannya: “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam solat jenazahku.” Sesuai wasiat tersebut, Buya Hamka pun memimpin solat jenazah Bung Karno di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.