Partai politik di Indonesia makin longgar, cair, dan kehilangan identitas politiknya. Ideologi seolah tak penting lagi dan demokrasi hanya sekadar permainan.
Koran Sulindo – Pagi 3 November 1945 itu republik baru akan memasuki usia 3 bulan. Wakil Presiden Mohammad Hatta terlihat canggung dan tak seperti biasanya terlihat tergesa ketika menuju acara pengumuman penting hari itu. Menteri Sekretaris Negara pertama republik ini, Prof. Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo, juga terlihat sama; belakangan diketahui ia tak membawa daftar urutan maklumat.
Acara itu berlangsung tak sampai 1 jam. Maklumat Pemerintah Republik Indonesia itu sementara nomor urutnya tidak diisi, hanya diberi tanda silang (X). Namun kelak setelah Pringgodigdo menjadi Menteri Kehakiman setahun kemudian, nomor urut tak pernah diterakan. Jadilah maklumat tersebut bernama Maklumat No. X, dengan nada kalimat resmi yang datar, isi hanya pendek, tanpa konsiderans, dan melulu hanya anjuran pemerintah. Isinya juga hanya 2 buah. Pertama, pemerintah menyorong pembentukan partai politik. Kedua, Parpol-parpol itu diharap sudah berdiri saat pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946, hanya dalam 2 bulan ke depan.
Yang berada di balik kecanggungan dan keterburuan itu sebenarnya adalah revolusi. Sistem politik Indonesia berubah drastis: penggantian sistem kabinet presidensiil menjadi kabinet parlementer.
Setelah itu hingga Desember 1945, partai politik tumbuh bak cendawan di musim hujan. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dipimpin oleh Dr. Soekiman Wirjosandjoyo, berdiri pada 7 November. PKI (Partai Komunis Indonesia), dipimpinMr. Moch. Yusuf, juga berdiri tanggal itu. PNI (Partai Nasional Indonesia), dipimpin Sidik Djojosukarto, berdiri 29 Januari 1946. PSI (Partai Sosialis Indonesia), dipimpin Amir Sjarifuddin, berdiri 10 November 1945. PRS (Partai Rakyat Sosialis), dipimpin oleh Sutan Syahrir, berdiri 20 November 1945. PSI dan PRS kemudian bergabung dengan nama Partai Sosialis pada Desember 1945, dan dipimpin Sutan Syahrir. Nama paling buntut inilah yang disebut-sebut di belakang gagasan Maklumat tersebut.
Setelah 73 tahun berlalu, setelah naiknya demokrasi terpimpin di bawah Soekarno, demokrasi diktatorial di bawah Soeharto, dan 20 tahun terakhir di bawah demokrasi elektoral di bawah bendera reformasi yang menggulingkan penguasa sebelumnya, apa kabar partai politik di Indonesia?
Pemilu Ideologis
Indonesia menjadi identitas politik ketika Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo mengusung gagasan modern dalam berpolitik melalui Indische Partij (Partai Hindia) pada 25 Desember 1912. Inilah partai politik pertama di nusantara yang membangun kesadaran politik dan kebangsaan Indonesia tanpa membedakan sekat perbedaan suku-rasial dan keyakinan.
Partai ini memicu pergerakan kebangsaan di kalangan pemuda.
Tatkala Sumpah Pemuda dibacakan pada 28 Oktober 1928, nama Indonesia menjadi identitas pemersatu sebuah bangsa modern baru di Asia. Sumpah itu merekatkan suku, agama, dan sekat primordial.
Pada 1 Juni 1945, Soekarno berpidato di hadapan BPUPKI yang bersidang tiga hari berturut mencari dasar negara. “Kita tidak mendirikan negara buat satu orang, satu golongan, tetapi buat semua sehingga dasar pertama untuk negara Indonesia adalah dasar Kebangsaan,” kutipan isi pidato Bung Karno hari itu.
“Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia. Kita bukan hanya membicarakan bangsa, melainkan juga tanah airnya. Rakyat Minangkabau yang ada dimana-mana merasakan “kehendak akan bersatu” walaupun Minangkabau hanya sebagian kecil dari nusantara, demikian juga masyarakat Jogja, Sunda dan Bugis. Nationale staat meliputi seluruh wilayah Indonesia yang merupakan wilayah kesatuan.”
Nama Indonesia menjadi sebuah negara bangsa baru di dunia.
Meloncat melewati kemerdekaan, revolusi mempertahankan kemerdekaan, dan seterusnya hingga kini, Pemilu 1955 sekali lagi dan tampaknya akan terus-menerus menjadi pembanding dalam percakapan seperti ini. Kala itu, semua orang memiliki hak memilih dan dipilih termasuk individu (korps militer dan polisi) dan organisasi kemasyarakatan. Pemilihan umum dilakukan dua tahap: September untuk memilih anggota DPR dan Desember memilih anggota Konstituante.
Dari laporan media massa ketika itu, sebelum pemilihan, parpol seperti Masyumi dan PKI terlibat “perang” ideologi untuk merebut suara rakyat. Lewat Suara Partai Masyumi dan Harian Abadi, selain mendidik pemimpin dan kader di bidang ideologi, Masyumi juga menggunakan media tersebut untuk menyerang ideologi lawan-lawan politiknya.
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam tulisannya (Political Battle of Mass Media Critical Discourse Analysis: Suara Partai Masjumi Magazine and Bintang Merah Magazine in 1951) menggambarkan pertarungan ideologi Masyumi dengan lawan-lawan politiknya.
Rhoma mengutip artikel berjudul Tata Negara Diktaktur (Komunis), yang dimuat dalam Suara Partai Masyumi Edisi Mei 1951, No. 5:23: “… djika seorang Kominis [sic] dipilih untuk duduk disidang Perwakilan Rakjat, maka orang itu dengan pura2 sadja berdjandji agar setia pada Undang2 Dasar, sedangkan dalam hatinja yang sedang menjalankan perintah Moskow saja … ”
Ini hanya satu contoh bagaimana Masyumi menggunakan media untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Selain mengenai pemilu, Masyumi juga dengan konsisten mempertahankan sikap politiknya yang mendukung hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), sikap yang berseberangan dengan PKI.
Untuk menunjukkan ideologinya kepada khalayak, tulisan-tulisan yang dimuat media massanya, Masyumi sengaja memilih kata-kata seperti “muktamar” untuk menjelaskan pertemuan, “jihad” yang berarti berjuang.
Media massa Masyumi juga menyediakan rubrik-rubrik khusus yang berisi “unsur negara Islam” yang ditulis dewan redaksi. Juga berita politik yang berhubungan dengan partai tersebut, semisal isu-isu negara Islam dari Pakistan, Turki dan Maroko.
Di samping Masyumi, PKI juga menyebarkan gagasan dan ideologinya lewat Harian Rakyat dan Bintang Merah. Setelah melewati masa sulit karena “teror putih” berkaitan dengan Peristiwa Madiun 1948, pengurus dan kader berkampanye dengan menyebutkan “PKI Baru”. Itu dilakukan sejak 1950 dan sebagai cara untuk “menyingkirkan” Peristiwa Madiun dari ingatan publik. Pasalnya, peristiwa itu menjadi “senjata” lawan politik untuk menyudutkan PKI.
Para pengurus muda seperti Sudisman, Aidit, Lukman, dan Nyoto, membangun PKI dengan formasi baru. Seperti Masyumi, mereka menggunakan media massa terutama majalah sebagai alat berkomunikasi dengan publik. Juga sebagai alat mendidik pemimpin dan anggota partai secara ideologi.
Majalah Bintang Merah didirikan sejak 15 Agustus 1950, awalnya dicetak hanya 3.000 eksemplar namun dalam setahun melonjak menjadi 10 ribu eks.
Dalam terbitan awal tertulis “Bintang Merah kita memberikan sinar tjemerlang menerangi djalan jang harus ditempuh oleh setiap anggota kaum Buruh jang sadar akan klasnja,” tulis Rhoma dalam jurnal yang diterbitkan European Journal of Interdisciplinary Studies (Volume 1, Issue 2; May-August 2015) itu.
Dalam bidang pendidikan ideologi, media massa PKI acap kali memberitakan berita politik yang beraliran marxis. Juga peristiwa-peristiwa internasional terutama dari negara-negara yang berideologi komunis, seperti berita, kemenangan rakyat Vietnam, kemenangan perang rakyat Tiongkok, serta menerbitkan artikel-artikel yang ditulis Marx, Lenin, Stalin, dan Muso.
Dalam terbitan media itu PKI, juga ditemukan kata-kata khas yang mencerminkan ideologi komunis. Semisal, “klas” dan “proletar”. Dari beberapa contoh itu, kita bisa menyimpulkan pembentukan opini publik lewat media massa kedua parpol menjadi jelas secara ideologi. Semua advokasi media mereka memiliki posisi yang jelas dan tidak ragu dalam menggunakan bahasa yang sesuai ideologinya.
Media massa kedua partai juga berhasil menjalankan fungsinya untuk mendidik anggota dan kader partai. Media massa kedua partai bersifat mendorong – bukan hanya mencerahkan – massa untuk mengikuti ideologi partai.
Demokrasi Main-main?
Tahun depan Pileg dan Pilpres akan digelar serentak pada 17 April 2019. Rangkaian tahapan sudah akan dilakukan sejak Oktober 2017 lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan pemilu serentak itu diikuti 12 parpol lama dan 2 partai baru. Partai lama adalah PDIP, Partai Amanat Nasional, Demokrat, Gerindra, Gerakan Perubahan Indonesia, Golkar, Hanura, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasional Demokrat, Partai Persatuan Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Partai baru adalah Partai Berkarya dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Namun setelah 20 tahun berjalan, pemilu yang mestinya menjadi wadah regenerasi kepemimpinan dan kedaulatan rakyat masih jauh api dari panggang. Pemimpin dan wakil rakyat yang amanah, belum banyak yang lahir; masih dapat dihitung dengan jari. Pemerintah lokal dan regional yang merepresentasikan keberpihakan negara terhadap rakyat masih banyak berbentuk impian.
Setelah berpengalaman 20 tahun bebas, parpol masih memperlakukan pemilu lebih sebagai ajang transaksi. Mereka tak juga menyadari melahirkan kader yang mumpuni adalah salah satu kewajibannya. Tak heran, berbagai survei menyatakan rakyat pelan-pelan mulai meninggalkan mereka.
Kepemimpinan transaksional hanya berdasar pertukaran kepentingan ekonomi-politik itu jelas gagal jika harus menterjemahkan kehendak rakyat.
Nampaknya, demokrasi Indonesia tak pernah beranjak dari fase transisi.
Konsolidasi politik dan segala kegaduhan selama ini seperti memang tak pernah ingin berangkat menuju demokrasi substansial. Indonesia seperti hanya berputar-putar dalam demokrasi elektoral kapitalistik, yang kita rayakan sejak Orde Baru yang diktatorial itu ditumbangkan anak-anak muda yang baru tumbuh kumisnya.
Dominasi demokrasi elektoral (electoral democracy) yang kapitalistik dalam sistem politik Indonesia ini, ditandai dengan pemilu reguler dan kompetisi antarparpol memperebutkan pemilih melalui basis transaksional, mengubah pemilu menjadi seperti pasar, tempat jual beli suara mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Dan tentu itu harus dengan biaya yang tak murah.
Ongkos politik yang mahal, dan makin lama makin mahal bersama jalannya waktu, membuat dana parpol yang selalu terbatas tak mencukupi lagi. Maka datanglah para donatur, para investor politik, yang jelas mengharapkan keuntungan imbal balik dari pertukaran ini. Pemilu akhirnya hanya melahirkan perselingkuhan penguasa dengan pengusaha.
Demokrasi elektoral hanya nampak seolah pertunjukan pertarungan kekuasaan tanpa akhir antara parpol dan para gladiatornya. Dan hampir tiap hari publik menyaksikan banalitas para politisi negeri ini, antara lain soal bajak membajak caleg, terutama kalangan artis. Juga banyaknya politisi yang berpindah partai dengan berbagai alasan, terutama yang bersifat transaksional ataupun karena “sakit hati” tak dipakai lagi di partainya.
Kelakuan para politisi ini menunjukkan tidak adanya loyalitas pada partai, atau ideologi di belakangnya, jika ada. Seolah tak punya hasrat untuk konsisten dalam berpartai dan, tentu saja, surutnya integritas dalam berpolitik.
Setelah Reformasi berlalu 20 tahun, demokrasi Indonesia pergi tak jauh dari pintu berangkat dulu. Hanya berputar dan bermain-main di situ. [Kristian Ginting/Didit Sidarta]