Koran Sulindo – Hampir selusin pemenang Nobel mengkritik pemimpin de facto Myanmar yang juga peraih Noberl Perdamaian, Aung San Suu Kyi. Mereka mengingatkan Suu Kyi terkait tindakan keras militer Myanmar terhadap minoritas muslim Rohingya, yang menurut mereka tragedi “sebesar pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan”. Militer Myanmar, kata mereka, telah membunuh ratusan orang, termasuk anak-anak, memerkosa banyak perempuan, serta membakar banyak rumah dan banyak warga sipil secara sewenang-wenang .
Kritik mereka disampaikan lewat surat terbuka kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Surat dikirimkan setelah pemerintah Bangladesh mengumumkan, sekitar 50 ribu muslim Rohingya masuk ke negaranya karena melarikan diri dari kekerasan yang menimpa mereka di negaranya, Myanmar.
Pemerintah Bangladesh meningkatkan patroli untuk menghentikan pengungsi yang melintasi perbatasan negara mereka selama tiga bulan terakhir. “Sekitar 50.000 warga Myanmar berlindung ke Bangladesh sejak 9 Oktober 2016,” kata pihak Kementerian Luar Negeri Bangladesh, 29 Desember 2016.
Akan halnya surat terbuka tersebut ditandatangani 23 orang aktivis, termasuk Uskup Agung Desmond Tutu, Malala Yousafzai, Jose Ramos-Horta, Tawakul Karman, Romano Prodi, dan Sir Richard Branson. “Akses untuk organisasi bantuan kemanusiaan telah hampir sepenuhnya ditolak, sehingga menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah yang sudah sangat miskin,” demikian antara lain isi surat tersebut.
Juga dinyatakan dalam surat itu, beberapa ahli internasional telah memperingatkan potensi genosida, yang melebihi tragedi di masa lalu, di Rwanda, Darfur, Bosnia, dan Kosovo. “Jika kita gagal untuk mengambil tindakan, orang mungkin mati dibunuh atau mati karena kelaparan.”
Soal pernyataan pemerintah Myanmar pada 9 Oktober 2016 lalu bahwa tindakan militer mereka merupakan respons atas beberapa serangan yang dilakukan militan Rohingya yang telah menewaskan sembilanpolisi, para aktivis mengatakan itu merupakan tindakan yang sangat tidak proporsional. “Mengumpulkan tersangka, menginterogasi mereka, dan membawa ke pengadilan adalah suatu hal. Tapi, menugaskan pasukan berhelikopter menembaki ribuan warga sipil biasa dan membiarkan militer memerkosa perempuan serta membuang bayi ke dalam api adalah hal lain,” kata para aktivis tersebut dalam surat terbuka itu.
Sementara itu, Amnesty International juga telah mengeluarkan laporkan terkait soal ini, yang dilansir Desember 2016. Menurut laporan yang berdasarkan wawancara ekstensif dengan orang-orang beretnis Rohingya serta analisis citra satelit tersebut, tindakan yang dilakukan militer Myanmar mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Seperti diketahui, etnis Rohingya di Myanmar merupakan penduduk minoritas. Meskipun telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi, mereka diperlakukan sebagai imigran ilegal dan tidak mendapatkan kewarganegaraan. Mereka juga dianiaya oleh aparat pemerintah dan banyak umat Buddha yang berhaluan politik nasionalis.