Ilustrasi: Suasana ketika Pemuda Pancasila hendak membubarkan pameran Tribute to Thukul/akun Facebook Pius Ginting

Koran Sulindo – Puluhan anggota Pemuda Pancasila mendatangi kantor Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Banguntapan, Bantul, Senin (8/5). Mereka meminta pameran Tribute to Widji Thukul dengan tema ‘Aku masih utuh, dan kata-kata tidak binasa’ untuk dibubarkan. Mereka juga membawa lima poster dan 10 puisi yang tertempel di dinding lantai bawah.

“Ada sekitar lima karya dan sejumlah puisi yang dibawa. Sebagian lain sudah kita pertahankan,” kata Andreas Iswinarto, sang perupa.

Dijelaskan Andreas, saat didatangi Pemuda Pancasila (PP) ini, penyelenggara tengah menyiapkan gelaran pameran Tribute to Wiji Thukul. Sedianya pameran ini akan berlangsung mulai Senin (8/5) hingga 11 Mei mendatang. Selain pameran juga akan digelar diskusi tentang kebebasan pers. “Pameran ini bertujuan untuk mempelajari tokoh Wiji Thukul sebagai aktivis buruh. Juga, bulan Mei ini bisa dikatakan sebagai momen peringatan 19 tahun reformasi dan hilangnya Wiji Thukul,” ujarnya.

Ditambahkan Andreas, kalaupun dirinya memamerkan karyanya terinspirasi puisi karya Wiji Thukul, karena masih relevan menggambarkan kondisi saat ini.  “Pemerintahan memang berkali-kali ganti sejak reformasi 1998 tapi kondisi ekonomi-politik masih belum banyak berubah. Di sinilah puisi Wiji Thukul menemukan relevansinya,” katanya.

Pemuda Pancasila Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bertanggungjawab atas tindakannya membubarkan pameran Tribute to Wiji Thukul. Karena, menurut Ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila DIY, Faried Jayen Soepardjan, kepada wartawan,  mengatakan bahwa pelepasan lukisan ini karena diduga kelompok ini adalah kelompok yang ingin menghidupkan faham-faham komunis lagi di tengah-tengah kehidupan Yogya yang aman, tenang dan nyaman ini.

“Saya nyatakan di sini, saya beserta anggota saya adalah intoleransi untuk paham-paham komunis dan separatis. Saya risih kenapa sih dihidupkan lagi paham-paham seperti itu,” katanya.

Dikatakan Faried, sudah sangat jelas bahwa way of life Indonesia berpegang kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Ditekankan pula, komunis atau PKI, masih terlarang berdasarkan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang belum dibatalkan. Dan Faried mengindikasikan bahwa acara pameran ini berbalut gerakan anak turun komunis.

“Saya intoleransi dengan komunis dan separatis. Gerakan-gerakan ini kan mengarah ke paham PKI,” ujarnya lagi.

Di samping itu, lanjut Faried, pameran ini juga tidak mempunyai izin kepolisian. Sebaiknya pameran ini tak perlu dilakukan di lokasi yang terkesan sembunyi-sembunyi, dalam arti perlu mendapat izin dari kepolisian dulu. “Kalau memang untuk kemajuan seni di rumah saya pun boleh,” tambahnya.

Sementara itu Direktur Pusham UII, Eko Riyadi bertekad akan melaporkan peristiwa ini ke Polda Yogyakarta.

“Sebagai tanggung jawab mereka menjaga dan mengamankan hak asasi kebebasan berekspresi,” kata Eko. [YUK]