Tari Kabasaran - Antara
Tari Kabasaran (Sumber foto: Antara)

Jika diartikan, visi dan misi prajurit Waraney di Minahasa diatas adalah: Satu Kita Semua! Satu Lalu Dipisahkan Tempat Karena Kebaktian Agama/Ajaran.Tapi Kita Semua Satu! Satu Dibagian Dalam! Bersatu Menghadapi Musuh Dari Luar!.

Minahasa, atau dulu pernah disebut Tanah Malesung adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi.

Minahasa memiliki kekayaan budaya yang kental. Salah satunya adalah Tari Kabasaran. Tarian ini adalah tarian adat yang dibawakan oleh pria lengkap dengan senjata tajam berupa pedang atau tombak dan sangat mirip dengan gerakan perkelahian ayam jantan.

Tarian Kabasaran adalah tarian adat untuk perang atau tarian untuk mengawal salah satu tokoh adat penting di Minahasa. Dahulunya tarian ini hanya dikeluarkan saat perayaan upacara-upacara adat. Namun seiring dengan perkembangannya, tarian sakral ini pun kini bisa ditonton publik untuk kegiatan pariwisata.

Warna busana yang digunakan dalam tarian ini adalah merah. Sedangkan hiasan kepala para penari ini terbuat dari kain ikat kepala yang diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah lei-lei atau kalung-kalung leher, wongkur penutup betis kaki, rerenge’en atau giring-giring lonceng yang terbuat dari kuningan.

Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung.

Diiringi oleh Tambur dan/atau gong kecil. Alat musik pukul yang digunakan seperti Gong, Tambur atau pun Kolintang, biasa disebut “Pa ‘Wasalen” dan para penarinya disebut Kawasaran, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung, hampir mirip dengan tarian Cakalele dari Maluku.

Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku AlfoerscheLegenden yang ditulis oleh P.N. Wilken Tahun 1830, dimana Kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, yang mana mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.

Sangat disayangkan bahwa sejak Tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga Kabasaran Minahasa memakai Kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip,seperti: Kokerah, Tinonton, Pasolongan dan Bentenan. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yang diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho.

Sebagai Prajurit kelengkapan topi dengan hiasan bulu dan paruh  burung Enggang, atau burung Uwak, mirip suku Dayak. Untuk baju perang yang terbuat dari kulit binatang, suku Dayak menggunakan kulit harimau akar, sedangkan di Minahasa memakai kulit sapi hutan anoa yang disebut Wa’teng. Kesamaan bentuk pedang yang melebar pada bagian ujungnya, di Minahasa disebut Santi. Juga kesamaan bentuk gerakan tari senjata tajam yang di Minahasa disebut Cakalele sedangkan penarinya disebut Kawasaran, lalu ada juga kesamaan bentuk perisai kayu yang di Minahasa disebut Kelung.

Suku Minahasa dan suku Dayak Kalimantan memang banyak mempunyai kesamaan karena termasuk suku Melayu Tua (Proto Melayu) dengan ciri fisik; mata agak sipit, kulit kuning, rambut lurus, termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia (atau kadang disebut “bahasa kepulauan’ yang persebarannya di Taiwan, Hawaii, hingga Selandia Baru, serta dari Madagaskar hingga Pulau Paskah) demikian menurut ahli arkeologi dan antropologi Australia, Peter Bellwood.

Para penari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang, diiringi tambur sambil membawa pedang dan tombak tajam itu sejatinya membuat Kabasaran ini tak pernah redup daya tariknya. Warna pakaian dominan merah dengan berbagai aksesoris berupa topi berhias sayap dan paruh burung uwak (buceros exaratus) atau burung jenis lainnya. Kalung dengan tengkorak Monyet (macaca nigra), gelang dan lain-lain menambah kesempurnaan seorang prajurit yang gagah perkasa.

Pada zaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani dan rakyat biasa. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi Waraney.

Para Waraney yang memiliki sifat jujur, pemberani dan bijaksana merupakan simbol ketangguhan Bangsa Malesung yang memiliki arti bahwa keturunan bangsa Malesung harus selalu menjaga tanah Minahasa agar selalu tentram dan damai, dimana para Waraney di masa ini dituntut untuk rajin bekerja, membangun daerah, serta berjuang untuk anak cucu.

Menuju itu semua tidaklah mudah. Proses ritual dari jalan hidup seorang Waraney cukup panjang. Sejarah panjang Waraney yang merupakan prajurit perang pemberani dari bangsa Malesung (Orang Minahasa) yang tidak pernah mundur dalam setiap peperangan yang terjadi di zaman kolonial maupun sebelum zaman kolonial sudah teruji.

Meski pada suatu waktu pernah berjaya tetapi ada masanya dimana kejayaan Waraney tenggelam karena ulah penjajah di zaman kolonial. Sebelumnya Waraney merupakan tentara bangsa Malesung yang menjadi ujung tombak suku Minahasa di dalam setiap kondisi yang dapat mengancam baik itu ancaman dari binatang buas maupun manusia.

Tugas seorang Waraney bukan saja sebagai prajurit untuk berperang. Waraney yang dimaksud adalah sebagai seorang yang dapat melindungi dan memimpin suku, menafkahi keluarga dan menjaga tradisi dari para leluhur Minahasa. Jadi Waraney disaat itu adalah mereka sebagai para pemburu, petani, ahli seni, ahli bangunan, nelayan, ahli pengobatan, dan ahli perang. [NoE]