Peran Pak Pos menghadapi tantangan era digital
Peran Pak Pos menghadapi tantangan era digital (Kompas.id)

Patung Pak Pos dengan sepedanya masih tampak berdiri, menghias pelataran Kantor Pos Besar Jakarta sejak 1991. Itulah bagian dari monumentasi sejarah. Sebab ketika itu, tigapuluh tahun lalu, Pak Pos telah berubah. Banyak dari mereka sudah menggunakan sepeda motor, bukan naik sepeda.

Sebagai kenangan sejarah, patung itu menampilkan Pak Pos berdiri dengan seragam warna kuning kunyitnya, bertopi khas dan menatap ke depan mencari alamat surat yang sedang diantar. Sementara sepedanya yang berdiri di belakangnya, membonceng tas yang dipenuhi benda-benda pos. 

Hiasan berupa patung kecil pak Pos seperti patung tadi, bersama sepedanya, dulu pernah dijual pelapak Madiun, Jawa Timur, sebagai kenang-kenangan. Harganya Rp 750.000. Namun, hiasan tersebut sudah tak dijual lagi di sana, menghilang bersama tergerusnya peran Pak Pos.

Dulu di banyak kota di Indonesia, Pak Pos alias pengantar pos memang menjalankan tugasnya dengan mengendarai sepeda. Namun di berbagai kota besar sekarang, untuk mempercepat pelayanan, banyak dari mereka menggunakan sepeda motor karena jarak yang harus ditempuh sudah semakin jauh.

Bagaimana pun kita akui, Pak Pos pernah memiliki peran penting bagi kehidupan, khususnya dalam soal surat-menyurat. Jika merujuk sejarah, jalan raya seribu kilometer Anyer-Panarukan dibuat untuk kepentingan pos. Jalan sepanjang itu pernah disebut Jalan Raya Pos.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, yang berkuasa 1808-1811 atas mandat Louis Bonaparte, adik Napoleon dari Prancis, sangat berkepentingan dengan pos. Maka, dia pun membangun jalan selama bertahun-tahun, dibayar pengorbanan rakyat luar biasa melalui kerja paksa. 

Proyek jalan yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur itu pun disebut Jalan Raya Pos. Melalui fasilitas ini, dinas pos dan Pak Pos berjasa besar dalam mendukung kepentingan Pemerintah Hindia Belanda, sekaligus juga bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, bahkan terutama bagi kepentingan bisnis. 

Karena perannya yang penting, sering Pak Pos sendiri menjadi inspirasi bagi banyak orang, tak terkecuali oleh musisi. Sayup menyelinap dalam ingatan lagu “Aku Tukang Pos” yang nadanya mirip lagu Ibu Soed “Nenek Moyangku Orang Pelaut.” Lagu tukang pos itu masih terus dinyanyikan anak-anak di sekolah:

Aku tukang pos / rajin sekali / Surat kubawa naik sepeda / siapa saja aku layani / tidak kupilih / miskin dan kaya / Kring … kring … pos!

Pak Pos juga dijadikan sebuah lagu oleh band legendaris asal Inggris, The Beatles.

Please, Mister Postman, look and see / If there’s a letter, a letter for me / I been standing here waiting, Mister Postman

Tak cuma John Lennon dan The Beatles yang pada 1963 merilis lagu ‘Please Mister Postman’ untuk menggambarkan peran Pak Pos dalam menjembatani urusan cinta via surat. Pada pertengahan 1980-an, Vina Panduwinata pun punya lagu bertajuk ‘Surat Cinta’ untuk menggambarkan peran Pak Pos.

Hari ini ku gembira / Melangkah di udara / Pak pos membawa berita / Dari yang ku damba

Demikian pembuka lagu ‘Surat Cinta’ ciptaan Oddie Agam dan aransemen musik oleh Addie MS itu.

Pada masanya, surat cinta yang dikirim via Pak Pos boleh dibilang satu-satunya media primadona untuk mengungkapkan rasa cinta dan sayang kita pada seseorang. Lewat kedua lagu itu juga tergambar kiprah Pak Pos pada masanya.

Situasi berubah dratis. Ketika era digital datang, nasib bisnis pos langsung berbalik 180 derajat. Perusahaan pos dari negara adidaya Amerika Serikat (AS), United States Postal Service (USPS), menjadi salah satu korbannya. Kinerja mereka terus memburuk dan didera kerugian miliaran dolar.

Berbeda dengan USPS, perusahaan pos Jepang termasuk yang cekatan bersiasat di era digital. Pada 2015, Japan Post Holdings berada di peringkat ke-38 dalam daftar Fortune 500. Perusahaan ini mencetak pendapatan hingga 129,7 miliar dolar AS dan laba 4,39 miliar dolar AS.

Bagaimana dengan PT Pos Indonesia? Nasibnya nyaris seperti USPS. Perusahaan yang sudah berkiprah sejak masa kolonial Belanda ini tergolong lambat beradaptasi. Bisnis dasar mereka di bidang persuratan tergerus surat elektronik (e-mail) dan layanan kirim pesan singkat (SMS), bahkan kini digratiskan oleh WhatsApp, Line dan Telegram.

Saat awal ketika Internet mulai merambah Indonesia, sebetulnya PT Pos Indonesia pada 1996 sudah berusaha berubah. Ia mencoba menjadi penyedia layanan Internet dengan membentuk WasantaraNet. Sempat tersedia warnet besar di Kantor Pos Besar Jakarta di Pasar Baru. Namun kita tahu, WasantaraNet kemudian lenyap begitu saja.

Pada 2015, saat dipimpin Gilarsi W. Setijono, PT Pos juga pernah mencoba berbagai diversifikasi bisnis agar perusahaan itu tetap eksis. Sayang, sebagian Pak Pos sepertinya tak menunjukkan sinergi dengan baik. Mereka beberapa kali menggelar unjuk rasa, bahkan pernah melibatkan pihak luar. 

Padahal mereka tahu, nasib mereka memang terpaksa secara bertahap tergerus oleh peta persaingan. Untunglah jasa ekspedisi masih bertahan, tapi ia mesti berpacu dengan kurir swasta. Selain Pos Indonesia, kini tersedia banyak opsi pengiriman, seperti JNE, J&T, Tiki, dll.

Kini semuanya berubah. Internet mengubah banyak hal. Kenangan kaum milenial terhadap Pak Pos dan produk kantor pos pun amat tipis karena kaum muda memang tak banyak mengalami atau berinteraksi dengan pak pos. Hanya orang tua dan kakek-nenek mereka yang mengalami wesel pos dan surat cinta yang dikirim via kantor pos. [AT]