Saudara-saudara sekalian. Stabilitas politik merupakan syarat pokok berlangsungnya pembangunan ekonomi. Melihat realitas bagimana sistem pemerintahan presidensial bekerja dalam era multipartai yang kompleks, tidak ada lain kecuali memastikan bagaimana konsolidasi demokrasi yang ditopang oleh kehidupan partai politik yang sehat dan kuat. Pelembagaan partai politik sebagai persemaian para pemimpin melalui fungsi kaderisasi; mewujudkan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung dan demokratis, serta; menyiapkan fondamen politik dan ekonomi yang kuat bagi keberlangsungan pemerintahan selanjutnya adalah contoh dari berbagai konsolidasi demokrasi yang saya jalankan.
Demikian pula untuk memenuhi tanggung jawab politik luar negeri. Ketegasan Pemerintah Indonesia di dalam menentang berbagai politik intervensi dari negara adidaya, sebagaimana terjadi pada Perang Irak; konsistensi di dalam memperjuangan kemerdekaan Palestina, dan; kegigihan Indonesia di dalam memperkuat tatanan dunia baru, temasuk menggelorakan kembali spirit Gerakan Nonblok dan membangun dialog Selatan-Selatan, adalah pelaksanaan nyata dari politik luar negeri bebas aktif.
Senat Guru Besar, Rektor, dan hadirin sekalian. Gelar doktor honoris causa yang diberikan kepada saya ini sesungguhnya adalah penghargaan pula kepada kabinet yang saya pimpin, yaitu Kabinet Gotong Royong. Izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada para menteri yang telah membantu saya dengan memberikan pengabdian terbaiknya kepada bangsa ini. Alhamdulillah, kita dapat melalui masa transisi dan meletakkan fondasi perekonomian nasional yang jauh lebih baik. Kita juga menampilkandemokrasi politik yang lebih terbuka, tanpa disintegrasi, dan berdiri kukuh melalui pelembagaan politik. Pada kesempatan ini izinkan saya menyampaikan “pertangungjawaban sejarah” atas berbagai persoalan penting ketika saya menjadi presiden.
Pertama terhadap Sengketa Sipadan dan Ligitan. Mari kita berdialektika. Betulkah Sipadan-Ligitan serta-merta lepas pada saat saya menjabat menjadi presiden? Peristiwa sejarah apa yang sebetulnya melatarbelakangi Sipadan dan Ligitan kemudian dinyatakan sebagai wilayah Malaysia?
Di sini ada Menteri Luar Negeri Kabinet Gotong Royong, Doktor Hassan Wirajuda. Silakan dikoreksi jika yang saya sampaikan ini kurang tepat. Hal ini pernah disampaikan beliau dalam kuliah umum bertajuk “Perundingan Batas Wilayah Maritim dengan Negara Tetangga”, yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Pada dasarnya, Sipadan-Ligitan bukan merupakan wilayah Indonesia jika didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4/Perppu/1960 tentang Negara Kepulauan, tetapi juga bukan merupakan wilayah Malaysia, sehingga keduanya kemudian memperebutkannya dengan berbagai argumentasi. Sengketa kedua pulau tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1967. Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesia (Presiden Soeharto) melunak dan menyepakati untuk membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) di Den Haag, Belanda—suatu jalan dan cara penyelesaian yang tidak dapat ditarik kembali.Pada tahun 1997, masalah tersebut resmi memasuki proses persidangan.
Pada saat saya menjadi presiden, saya memerintahkan Menteri Luar Negeri untuk terus memperjuangkan agar Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Akan tetapi, argumentasi yang diterima Mahkamah Internasional bukan karena Malaysia yang lebih dahulu masuk ke Sipadan/Ligitan. Bukti sejarah yang diterima Mahkamah Internasional adalah dokumen dari pihak Malaysia yang membuktikan bahwa Inggris (negara yang menjajah Malaysia dan menjadi bagian dari Commond Wealth) paling awal masuk Sipadan-Ligitan dengan bukti berupa mercusuar dan konservasi penyu. Sedangkan Indonesia dianggap tidak memiliki hak atas wilayah kedua pulau tersebut, karena Belanda (negara yang menjajah Indonesia), hanya terbukti pernah masuk ke Sipadan Ligitan, namun hanya singgah sebentar tanpa melakukan apa pun. Dan putusan Mahkamah Internasional tersebut kebetulan ditetapkan pada tahun 2002, saat saya menjabat sebagai presiden. Intermezo: belajar dari hal tersebut, saya saat itu memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan langkah progresif bersama pemerintah daerah untuk memberi nama pulau-pulau tidak berpenghuni dan terluar sekaligus mengarsipkan semua dokumen penting untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Semoga di masa pemerintahan sekarang dan yang akan datang, kebijakan tersebut dilanjutkan.
Kedua: Pulau Nipah. Ada satu catatan sejarah yang hampir terlupakan mengenai kedaulatan wilayah RI, yaitu terkait Pulau Nipah. Pulau ini berbatasan dengan Singapura. Saat itu, Pulau Nipah hampir tenggelam karena pengerukan pasir oleh Singapura. Jika pulau itu tenggelam dan hilang, tentu saja wilayah Singapura akan semakin luas. Saya segera perintahkan untuk menimbun kembali pulau itu. Ketika berkunjung ke Singapura, pada saat kembali ke Tanah Air, saya meminta dijemput dengan Kapal Perang Republik Indonesia untuk meninjau Pulau Nipah. Hal itu saya lakukan dengan sengaja untuk menunjukkan kepada Singapura bahwa Pulau Nipah adalah bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia.
Ketiga: Proyek LNG Tangguh antara Indonesia dengan RRT. Saudara-saudara silakan dibuka catatan sejarah, berapa harga gas dunia saat itu. Jangan dilihat harga sekarang, karena saat itu supply minyak internasional masih melimpah.Saat itu tidak ada satu pun negara yang mau membeli gas Indonesia. Sekarang ini juga hadir Menteri ESDM Kabinet Gotong Royong, Profesor Doktor Insinyur Purnomo Yusgiantoro. Bisa ditanyakan kepada beliau kondisi saat itu. Bukan hanya Indonesia yang dalam keadaan krisis, tapi dunia pun sedang dilanda resesi. Konsumsi gas domestik juga belum siap karena perlu dibangun infrastruktur. Gas bumi Indonesia untuk dapat diekspor harus dalam bentuk LNG.
Kita pun dalam kondisi harus bersaing dengan Rusia dan Australia yang langsung bertetangga dengan Tiongkok dan sudah berencana membangun pipa gas ke negara tersebut. Saya akhirnya memutuskan untuk melakukan lobi diplomatis “Lenso Bengawan Solo” secara langsung dengan Presiden RRT Jiang Zemin.
Peristiwa tersebut mengingatkan kembali sejarah hubungan baik antara RRT dan RI pada masa pemerintahan Bung Karno. Akhirnya, RRT membatalkan kerja sama dengan Rusia dan Australia dan memilih bekerja sama dengan Indonesia.
Selain hal tersebut, beberapa kerja sama strategis juga dijalankan. Pertama: RRT harus memberi bantuan diplomasi di forum internasional atas kedaulatan Indonesia. Kedua: RRT menanamkan investasi dalam bentuk megaproyek padat karya, seperti Jembatan Suramadu, Jembatan Selat Sunda, pelabuhan di Papua, membantu pembangunan pembangkit listrik 10.000 Megawatt, dan jalan ke desa sepanjang 5.000 kilometer.
Ketiga perjanjian itu dapat diperbaiki pada masa depan dengan melakukan penyesuaian harga setiap lima tahun setelah delapan tahun perjanjian awal. Selain itu, ada nilai solidaritas internasional, yaitu Indonesia dari hasil penjualan gas Tangguh dapat membantu rakyat Korea Utara yang sedang tertimpa bencana kelaparan—1,2 juta rakyat Korea Utara kelaparan. Satu hal yang saya tekankan pula, kerja sama tersebut melibatkan bank milik Pemerintah RRT, bukan bank swasta. Hal lain yang selalu saya tekankan bahwa semua pembangunan harus melalui uji kelayakan, amdal, serta memperhitungan keuntungan secara ekonomi dan sosial bagi rakyat Indonesia, tanpa mengorbankan kedaulatan politik dan ekonomi bangsa Indonesia.
Hadirin yang saya hormati. Itulah beberapa hal yang ingin saya luruskan. Catatan sejarah lainnya sedang disusun oleh para menteri Kabinet Gotong Royong. Saya ingin tekankan sekali lagi, betapa penting sejarah bagi kehidupan bangsa ini ke depan, terutama keputusan-keputusan politik untuk mengelola pemerintahan dan negara. Penting, sangatlah penting,agar sejarah bangsa terus diperkenalkan, dari perjuangan merebut kemerdekaan, hingga fondasi Indonesia Merdeka diletakkan oleh para pendiri bangsa.
Dasar negara Indonesia Merdeka adalah Pancasila, dengan spirit kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945 dan konstitusi yang menjadi kitab kita dalam berbangsa dan bernegara adalah UUD Republik Indonesia 1945. Dalam benang merah sejarah itu ditetapkan tujuan Indonesia Merdeka. Bukan untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi liberalisme dan kapitalisme yang terus menggerus nilai-nilai solidaritas, toleransi, gotong-royong, serta mempertajam jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam dasar negara dan konstitusi kita telah ditetapkan tujuan sekaligus cita-cita Indonesia Merdeka, yaitu masyarakat adil dan makmur dengan karakter dan kepribadian yang bersumber dari akar budaya kita sendiri.