Para Guru Besar dan hadirin yang saya hormati. Di tempat ini pula pada tanggal 23 Desember 1964, Bung Karno juga dianugerahi gelar doktor honoris causa dalam ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran (gelar doktor honoris causa ke-25).

Sejarah sangat penting bagi perjalanan suatu bangsa. Tentu kita semua ingat kata-kata yang disampaikan Bung Karno: “Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!” Never leave history!

Pada saat menerima gelar doktor honoris causa tersebut, dalam orasi ilmiahnya, Bung Karno mengutip pemikiran sejarawan Inggris, Sir John Seeley, penulis buku The Expansion of England: ”… kita harus mempelajari sejarah agar supaya kita bijaksana lebih dahulu, agar supaya kita tahu ke mana kita harus berjalan. Orang yang tidak mempelajari atau mengambil pelajaran dari sejarah sebetulnya orang yang tidak bijaksana, orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mengetahui arah, orang yang tidak mengetahui tujuan.”

Kepada kaum muda, saya berpesan jangan sekali-kali menganggap sejarah sebagai barang rongsokan. Tahun 2019, saya meyakini lahirnya generasi baru, termasuk dalam ranah politik. Tidak dapat saya bayangkan dampaknya apabila generasi muda yang menjadi penentu masa depan bangsa adalah generasi muda yang ahistoris.

Bagi saya, sejarah adalah harta karun yang begitu berharga. Menjadi pekerjaan rumah kita untuk terus melakukan penggalian kebenaran sejarah bangsa ini. Mempelajari sejarah bukan berarti sekadar mengingat peristiwa atau periodisasi dalam sejarah. Bukan itu.

Mempelajari sejarah adalah memahami tentang pemikiran, nilai, keyakinan, dan keseluruhan dialektika yang terjadi di setiap peristiwa penting di masa lalu atas dasar kebenaran sejarah. Memahami kebenaran sejarah memerlukan pisau analisis yang disebut proses berpikir kritis: “tesis, antitesis, yang kemudian menyatu dalam sintesis”. Itulah dialektika dalam filsafat, filsafat dialektika.

Kunci dalam proses berpikir dialektis harus diawali dari pemikiran dan perkataan yang jujur, jujur sejak dalam pikiran. Sebab, “ada” bagi manusia sesungguhnya dimulai sejak dalam pikiran. Cogito ergo sum, ‘aku berpikir, maka aku ada’.

Tanpa kejujuran dalam pikir dan kata tidak akanada dialektika, artinya tidak akan pernah bangsa ini menemukan kebenaran sejarah yang sejati. Dengan kata lain, bangsa ini tidak akan pernah menemukan jatidirinya. Apa yang disampaikan Bung Karno tersebut sangatlah relevan. Sebab, keseluruhan tindakan, pemikiran, dan keputusan politik yang saya lakukan, sebagaimana dibacakan dalam pidato pertangungjawaban akademis tadi, bertitik tolak dari keyakinan kebenaran sejarah.

Hadirin yang saya hormati. Pertanggungjawaban ilmiah dari Universitas Padjadjaran didasarkan pada kajian terhadap naskah pidato dan undang-undang yang lahir selama saya menjabat sebagai presiden kelima. Satu hal penting yang ingin saya tegaskan dan hendaknya menjadi pembeda adalah bahwa saya adalah presiden mandataris MPR yang terakhir. Saya dipilih, diangkat, dan ditetapkan oleh MPR. Semua kebijakan politik yang saya ambil merupakan pelaksanaan ketetapan MPR.Jadi, bukan presiden yang dipilih langsung dengan visi-misinya.

Meskipun demikian, sebagai Presiden Republik Indonesia, saya memegang tanggung jawab penuh ketika di pundak saya dibebankan tugas untuk memimpin negara, pada saat krisis multidimensional terjadi. Gambaran nyata di bidang ekonomi adalah bagaimana saya harus menyelesaikan lebih dari 300 ribu kasus kredit macet di BPPN hanya dalam waktu tiga tahun. Sementara, saat itu ketidakpercayaan begitu besar terhadap institusi negara. Belum lagi berbagai ancaman disintegrasi dan kerawanan konflik sosial akibat keterpurukan di bidang ekonomi serta rendahnya kohesivitas sosial.

Tugas yang begitu berat tersebut hanya bisa dijalankan ketika pemimpin menempatkan kedaulatan negara sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian, kepentingan nasional Indonesia tidak boleh dikorbankan oleh kekuatan lain yang berniat mengendalikan negara baik melalui regulasi global maupun perjanjian yang tidak adil akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan saat itu. Atas dasar hal tersebut, penguatan institusi negara menjadi prinsip kepemimpinan saya—suatu  prinsip yang berdiri kukuh pada konstitusi. Penguatan legitimasi negara sebagai pijakan pengambilan kebijakan politik terus saya jalankan, termasuk menyelesaikan kerja sama dengan IMF dan World Bank agar sepenuhnya kita hadir kembali sebagai bangsa yang berdaulat.