Koran Sulindo – Sejak Indonesia merdeka, masyarakat mengenal tujuh presiden yang memimpin dengan durasi yang berbeda-beda. Namun, ada satu nama penting yang sering kali luput dari perhatian, yaitu Mr. Assaat, pria berdarah Minangkabau yang pernah menjabat sebagai pemimpin Republik Indonesia pada kurun waktu 1949 hingga 1950.
Meski tak banyak yang mengetahui perannya, Mr. Assaat memainkan peran krusial dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di tengah gejolak politik pada masa itu.
Latar Belakang dan Pendidikan Mr. Assaat
Melansir dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Mr Asaat lahir di Agam Dalam, Sumatera Barat, Mr. Assaat menempuh pendidikan yang tidak biasa. Ia sempat menuntut ilmu di STOVIA, sekolah kedokteran yang terkenal di Batavia, namun memutuskan berhenti karena merasa tidak cocok dengan bidang tersebut.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Algemene Middelbare School (AMS), yang setara dengan tingkat SMA saat ini, dan kemudian masuk ke sekolah hukum, Rechts Hoge School (RHS).
Selama berada di RHS, Assaat terlibat aktif dalam organisasi pergerakan pemuda. Aktivitas politiknya menarik perhatian Belanda, sehingga ia tidak pernah diluluskan meskipun telah mengikuti ujian akhir berkali-kali.
Merasa kesal, Assaat memilih untuk berhenti dan melanjutkan studi hukumnya di Universitas Leiden, Belanda, di mana ia berhasil meraih gelar “Mr.” atau Meester in de Rechten (Sarjana Hukum).
Perjalanan Karier dan Keterlibatan dalam Pemerintahan
Dalam buku Jernih Melihat Cermat Mencatat karya Marthias Dusky Pandoe, diceritakan bahwa sekembalinya ke Indonesia, Mr. Assaat memulai kariernya sebagai advokat dan aktif dalam organisasi pergerakan, seperti Jong Sumatranen Bond dan Perhimpunan Indonesia Moeda.
Pada tahun 1945, ia bergabung dengan Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang merupakan cikal bakal DPR RI saat ini. Tak lama kemudian, Assaat diangkat menjadi Ketua Badan Pekerja (BP) KNIP pada tahun 1947.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada tahun 1948, banyak pemimpin Republik Indonesia seperti Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap. Dalam situasi darurat ini, pemerintah Republik Indonesia dialihkan ke Sumatera Barat di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara.
Untuk mengakhiri konflik dengan Belanda, pada Agustus 1949 diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil perjanjian KMB mengharuskan penyerahan kedaulatan Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang menjadi taktik Belanda untuk memecah belah Indonesia menjadi 16 negara bagian.
Dalam sistem RIS, Sukarno dan Hatta diangkat sebagai Presiden dan Perdana Menteri RIS, meninggalkan kekosongan kepemimpinan di Republik Indonesia, yang saat itu hanya mencakup wilayah Yogyakarta.
Berdasarkan konstitusi, jika Presiden dan Wakil Presiden berhalangan, Ketua BP KNIP secara otomatis mengambil alih kepemimpinan. Oleh karena itu, Mr. Assaat ditunjuk sebagai pemangku jabatan pelaksana Presiden Republik Indonesia.
Kepemimpinan yang Sederhana dan Berjasa
Selama menjabat sebagai pelaksana tugas Presiden, Mr. Assaat dikenal sebagai pemimpin yang sederhana. Ia menolak segala kemewahan dan bahkan enggan dipanggil dengan sebutan ‘Yang Mulia Paduka’.
Salah satu jasa terbesar Mr. Assaat selama kepemimpinannya adalah menandatangani pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1949.
Pada 15 Agustus 1950, Mr. Assaat menyerahkan kembali jabatan Presiden kepada Sukarno setelah bentuk negara berubah dari RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah itu, ia sempat menjabat sebagai anggota Parlemen dan Menteri Dalam Negeri di bawah Kabinet Natsir.
Akhir Kehidupan dan Kontroversi PRRI
Pada masa-masa selanjutnya, Mr. Assaat bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat, yang berseberangan dengan Pemerintah Pusat.
Akibat keterlibatannya, Assaat harus hidup berpindah-pindah di hutan Sumatra Barat dan Sumatra Utara hingga akhirnya tertangkap oleh pemerintah Presiden Sukarno pada tahun 1962. Selama empat tahun, ia mendekam di penjara di masa Demokrasi Terpimpin.
Setelah rezim berganti ke Orde Baru, Mr. Assaat dibebaskan dari tahanan. Namun, kehidupannya tetap sederhana hingga akhir hayatnya. Pada 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal di rumahnya di Warung Jati, Jakarta Selatan, pada usia 72 tahun.
Meski tidak banyak yang tahu, anak Agam Dalam ini pernah menjabat sebagai Presiden RI sementara dan memiliki peran penting dalam sejarah bangsa.
Kepemimpinan dan pengabdian Mr. Assaat yang tulus dan sederhana seharusnya tetap dikenang oleh bangsa Indonesia. [UN]