Presiden joko Widodo dan Pangl;ima TNI Gatot Nurmantyo/AFP

Koran Sulindo – Malam-malam di bandar udara Halim Perdanakusumah itu, akhir September lalu, tak biasanya kehadiran Presiden kembali ke Jakarta disambut Panglima TNI. Sepulang dari meninjau bencana di Bali itu, Presiden Joko Widodo menemui Gatot Nurmantyo di bandara di tengah kota itu dan dilapori isu impor senjata sebanyak 5.000 pucuk ilegal, yang menjadi gaduh dan lari kemana-mana.

Keesokan harinya, Gatot kembali menghadap Presiden Jokowi. Kali ini di istana negara, dan kali ini bersama Menko Polhukam Wiranto. Usai pertemuan, keduanya berlalu, tak memberikan keterangan media pada para wartawan yang sudah menunggu.

Jokowi membuka hasil dua pertemuan itu sehari kemudian di Jakarta Convention Center (JCC). ”Saya kira penjelasan dari Menko Polhukam sudah jelas. Saya kira tidak usah saya ulang lagi,” katanya, seperti dikutip setneg.go.id.

Wiranto memberikan keterangan pers soal isu senjata ilegal itu beberapa hari sebelumnya, dan mengatakan yang terjadi adalah miskomunikasi yang belum tuntas antara TNI, Badan Intelijen Negara, dan Kepolisian Indonesia. Ia sudah mengkonfirmasi Panglima TNI, Kepala Kepolisian Indonesia, dan Kepala BIN soal isu itu. Yang benar, kata Wiranto, adalah pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PT Pindad oleh BIN untuk keperluan pendidikan intelijen. Senjata yang dipesan bukan standar militer.

Menanggapi Wiranto, Gatot mengatakan tidak pernah merilis soal itu secara resmi, dan “hanya menyampaikan kepada purnawirawan, namun berita itu keluar.”

Jumlah 5.000 pucuk senjata itu setara dengan kekuatan lima batalyon tempur.

Semua kegaduhan ini dimulai dari rekaman yang beredar di media sosial. Jenderal Gatot menyebut ada institusi tertentu yang akan mendatangkan 5.000 senjata secara ilegal dengan mencatut nama Presiden Jokowi. Gatot mengatakan itu dalam acara tertutup silaturahmi TNI dengan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9).

Acara tersebut dihadiri mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Laksamana TNI (Purn) Widodo AS, dan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra.

“Tapi datanya pasti kami pasti akurat. Ada kelompok suatu institusi yang akan membeli lima ribu pucuk senjata. Bukan militer. Ada ini,” kata Gatot, dalam rekaman yang diperdengarkan radio Elshinta.

Gatot mengakui rekaman itu memang pernyataannya.

Gaduh itu akhirnya diselesaikan melalui Rapat Koordinasi (Rakor) di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, awal Oktober lalu.

Kali ini penjelasannya bukan komunikasi yang amburadul antar instansi seperti yang dinyatakan sebelumnya. Wiranto mengatakan munculnya masalah soal itu karena banyaknya regulasi yang mengatur pengadaan sejata api sejak 1948 hingga tahun ini.

Paling tidak terdapat 4 buah Undang-Undang, sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu ), sebuah Instruksi Presiden (Inpres), 4 buah Peraturan Setingkat Menteri, dan sebuah Surat Keputusan.

Pemerintah berjanji menata ulang berbagai regulasi tentang pengaturan senjata api itu menjadi satu kebijakan tunggal.

“Sehingga tidak membingungkan institusi yang memang menggunakan senjata api,” kata Wiranto, seperti dikutip setkab.go.id.

Sebelum pernyataan Wiranto itu, Jokowi dalam rapat kabinet paripurna, berbicara sebagai “Kepala Pemerintahan, Kepala Negara, dan Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara”, memerintahkan para pejabat tidak bertindak dan bertutur kata yang membuat masyarakat khawatir dan bingung.

“Kita bekerja saja, sudah, bekerja saja. Dan kalau ragu-ragu agar diangkat ke Rapat Terbatas. Sekali lagi, kita ingin terus menjaga keteduhan, ketentraman, ketenangan, persatuan di antara kita dan juga di masyarakat,”  kata Jokowi, saat memberikan pengantar pada sidang kabinet paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/10), seperti dikutip setkab.go.id.

Kegaduhan itu nampaknya berakhir di sini.

Panglima Gaduh

Ini bukan kali pertama kegaduhan terjadi berkat pernyataan Panglima TNI yang dilantik Presiden pada 2015 itu. Pengamat Pertahanan dari Universitas Indonesia Connie Rahakundini Bakrie bahkan mengatakan apa yang dikatakan Gatot soal senjata ilegal itu merupakan manuver untuk membawa TNI berpolitik. “Setoplah Panglima TNI itu menggunakan baju seragam Panglima TNI dan membuat chaos semacam ini. Dia senang sekali menggunakan drama politik,” kata Connie.

Selain yang terakhir itu, paling tidak ada 4 pernyataan kontroversial Gatot sejak diangkat 2,5 tahun lalu.

Misalnya, ia membacakan puisi ‘Tapi Bukan Kami yang Punya’ di Rapat Pimpinan Nasional Golkar di Balikpapan. Puisi karya Denny JA itu, menggambarkan seorang pemuda bernama Jaka yang melihat kekayaan alam di sekelilingnya, namun ia sadar kekayaan itu bukan milik dia atau saudara sebangsa, dianggap mengkritik pemerintah.

Lalu belum hilang dari pendengaran adalah intruksi penayangan ulang film Pengkhiatan G 30S/PKI (karya Arifin C Noer) pada 18 September lalu. Gatot menginstruksi seluruh Kodim, Koramil dan Babinsa untuk mengadakan nonton bersama film itu, melalui telegram yang bocor ke publik.

Pada pertengahan tahun, dalam wawancara di program “Rosi” di Kompas TV, Gatot mengatakan upaya makar dan aksi-aksi demonstrasi adalah hoax semata atau berita bohong. Ia yakin bahwa kelompok dan organisasi Islam, tidak mungkin berniat menjatuhkan Presiden. Pada saat sama Polri waktu itu telah menangkap beberapa orang yang diduga berpotensi melakukan makar.

Terakhir, Gatot mengusulkan TNI dilibatkan dalam pemberantasan tindak terorisme dan dimasukkan dalam revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Antiterorisme. Sejauh ini di seluruh dunia dan juga di tanah air, hanya polisi yang memiliki kewenangan penuh dalam penanggulangan terorisme.

Media luar negeri mengamati hal serupa. John McBeth dalam South China Morning Post (Widodo, his paranoid general and a rotting situation in Indonesia) pada Januari 2017, hanya sekadar contoh, mengatakan Panglima TNI seolah bicara dari zaman lalu ketika dunia dalam situasi perang dingin. Gatot percaya marinir Amerika Serikat berlatih di Australia Utara untuk menyerbu Papua. Gatot tanpa persetujuan Presiden menghentikan kerja sama militer dengan Australia, dan seterusnya, dan sebagainya. “Aspirasi Gatot menuju kursi presiden kadang memang lucu,” kata McBeth.

Politik Praktis

Bolehkah Panglima TNI berpolitik praktis? Masyarakat sipil menyarankan Presiden mulai memikirkan calon pengganti Panglima TNI.

Setara Institute, misalnya, menyatakan Gatot melanggar Undang-undang TNI karena mengumbar informasi intelijen soal pembelian senjata.

“Apalagi dia sedang menghadapi masa pensiun, agar di masa akhirnya dia tidak melakukan manuver-manuver politik, bukan untuk bangsa ini, tapi kepentingan pribadi. Saya kira usulan ini sangat realistis dilakukan Presiden Jokowi. Presiden tidak bisa berdiam diri, berpangku tangan dan harus mengambil tindakan-tindakan yang pasti,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi.

Direktur Imparsial Al Araf mengatakan Gatot memperburuk hubungan antara TNI dan Polri. “Demi menyelamatkan organisasi TNI, tentu proses rotasi dan regenerasi penggantian panglima perlu dipikirkan, apalagi panglima akan memasuki masa pensiun. Ini menjadi catatan yang kurang baik juga dalam agenda reformasi TNI,” kata Al Araf.

Kini semua berada di tangan Jokowi. Masalahnya, secara urut kacang yang berlaku sejak reformasi 1998 lalu, mestinya posisi Panglima TNI saat ini di tangan Angkatan Udara. Gatot yang sebelumnya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) naik menjadi panglima karena dijumput Jokowi di tengah penolakan masyarakat pada pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri. [Didit Sidarta]