Tokoh Partai Komunis Afrika Selatan (kiri) [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menghormati jasa pahlawannya. Juga tidak melupakan sejarah bangsanya. Dengan menghargai pahlawan dan tidak melupakan sejarah, maka kita tidak akan tergelincir dalam perjuangan masa depan yang lebih baik.

Afrika Selatan adalah sebuah negara dengan sejarah yang merentang panjang. Negara yang pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan untuk negara-negara Dunia Ketiga. Itu tampak dengan kehadiran dua perwakilan Afrika Selatan yaitu Moses Kotane dan Ismail Ahmed Maulvi Cachalia sebagai peninjau di Konferensi Asia Afrika 1955.

Sebelum peristiwa bersejarah itu, lahirlah seorang Chris Hani yang terlahir dengan nama Martin Thembisile Hani. Memang tidak banyak yang menulis tokoh ini. Beruntung sebelum ia mati, Hani sempat menuliskan otobiografi singkatnya pada 1991, dua tahun sebelum ia dieksekusi secara kejam.

Tentu saja biografi singkat Hani yang dimuat di laman resmi Partai Komunis Afrika Selatan (SACP) untuk mengenang kematiannya pada 10 April 1993. Di situs itu ditulis, Hani lahir di sebuah kota kecil Cofimvaba, Transkei pada 28 Juni 1942. Ia merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Dari Jumlah itu, tiga orang telah meninggal dunia ketika masih anak-anak.

Hani bercerita, ia dibesarkan oleh seorang ibu yang buta huruf dan ayahnya yang hanya bisa membaca. Ayahnya bekerja sebagai buruh migran di tambang Transvaal dan kemudian menjadi buruh tidak terampil di industri bangunan. Kondisi hidup Hani sekeluarga cukup berat dan mengalami masa-masa sulit ketika ibunya harus mengeluarkan tambahan biaya untuk mengelola pertanian yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan.

“Kami mendapat sedikit bantuan ketika ayah saya selalu pergi bekerja sebagai buruh orang kulit putih,” tutur Hani.

Kendati keadaan keluarganya sulit, Hani tidak putus asa. Itu, misalnya, ia tunjukkan ketika pergi ke sekolah dengan berjalan kaki berjarak 20 kilometer. Jarak yang sama juga ia tempuh ketika pergi ke gereja setiap hari Minggu. Pada usianya yang kedelapan, Hani termasuk anak yang taat dan didapuk sebagai Putra Altar Gereja Katolik kotanya.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Hani berkeinginan kuat menjadi seorang pastor. Akan tetapi, keinginannya itu mendapat tentangan dari ayahnya. Keinginannya itu lalu dipendam dan melanjutkan pendidikan menangan di bawah rezim Apartheid pada 1954. Pada masa itu rezim mengenalkan sistem Pendidikan Bantu yang dirancang untuk mengindoktrinasi murid kulit hitam agar menerima dan mengakui supremasi kulit putih atas kulit hitam di segala bidang.

“Tentu saja ini membuat kami marah dan ini pula yang memicu keterlibatan saya dalam perjuangan,” Hani menambahkan.

Kesadaran Hani untuk terlibat dalam perjuangan di Afrika Selatan kian memuncak ketika rezim menuntut dan mendakwa para pemimpin Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1956. Ia pun memilih bergabung dengan ANC dan terlibat aktif dalam usaha perjuangan untuk pembebasan nasional. Setahun setelah penuntutan terhadap pemimpin ANC itu, Hani bergabung dengan Liga Pemuda ANC.

Usianya ketika itu masih 15 tahun. Dan karena rezim melarang kegiatan politik di setiap sekolah di Afrika Selatan, maka kegiatan Liga Pemuda ANC bersifat di bawah tanah. Dua tahun setelah resmi bergabung dengan Liga Pemuda ANC, Hani melanjutkan pendidikannya ke Universitas Fort Hare. Di situ ia terlibat secara terbuka dalam perjuangan, terlebih universitas itu merupakan kampus liberal.

Hani mengakui di kampus itu kali pertama mengenal pemikiran-pemikiran marxis dan mengetahui sifat sistem kapitalis yang rasis. Lewat marxisme pula, ia semakin mengetahui cara pandang yang tida rasis. Latar belakang Katoliknya membawa Hani terpikat untuk memelajari studi Latin dan sastra Inggris. Ia “melahap” dua studi dengan baik sehingga Hani menjadi pecinta karya sastra Inggris, Latin dan Yunani baik modern maupun klasik.

Karena kajian sastra itu pula, Hani semakin memperkuat kebenciannya kepada segala bentuk penindasan dan kekerasan. Aksi tirani seperti yang digambarkan dalam berbagai karya sastra juga menjadi dasar Hani membenci tirani yang melanggengkan penindasan.

Di awal 1961, Hani bergabung dengan Partai Komunis Afrika Selatan secara bawah tanah. Keputusannya bergabung dengan Partai Komunis Afrika Selatan dipengaruhi oleh Govan Mbeki, Braam Fischer, JB Marks, Musa Kotane, Ray Simons, dan lain-lain. Setelah mengetahui betapa kejamnya rezim rasis, Hani bergabung dengan Umkhonto we Sizwe (MK), sayap bersenjata ANC pada 1962.

Ia mengakui keputusan tersebut menjadi awal dari perjalanan panjangnya dalam perjuangan bersenjata. Karena itu pula, ia menghitung sebanyak tiga kali ada upaya untuk membunuhnya. Perjuangan bersenjata yang dipadukan dengan bentuk-bentuk perjuangan lainnya membuat rezim Apartheid mulai goyah, kata Hani.

Selanjutnya, pada 1967, Hani bergabung dengan pasukan Zipra di Zimbabwe sebagai komisaris politik. Lalu, sekitar tujuh tahun kemudian, Hani kembali ke Afrika Selatan untk membangun gerakan bawah tanah unit-unit MK di Lesotho. Kendati rezim rasis tidak mengakui legitimasi perjuangan ANC, empat pilar yang menopang perjuangan Hani dan kawan-kawannya jelas memukul keras rezim Apartheid.

Rezim kemudian menawarkan untuk bernegosiasi. Keputusan itu diterima ANC dan Hani ikut mendukungnya proses negosiasi. Keputusan tersebut dianggap tepat dengan situasi politik Afrika Selatan di masa itu. Dan hal tersebut menjadi penting untuk memulai proses negosiasi, kata Hani.

Sebelum rezim Apartheid runtuh, Hani tewas ditembak seorang Januzs Walus, pengungsi anti-komunis asal Polandia. Walus disebut memiliki hubungan dekat dengan Afrikaner Weerstandsbewging (AWB), organisasi rasis kulit putih. Kematian Hani bersamaan dengan Partai Komunis Afrika Selatan berada di ambang pengakuan sebagai partai politik resmi di negara itu. [KRG]