Yusril Ihza Mahendra pada acara partainya di Sulawesi Selatan.

MAHKAMAH Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor terkait dengan pengujian materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau presidential threshold.

Gugatan yang diajukan oleh PBB dinyatakan ditolak seluruhnya dalam sidang MK yang dipimpin oleh Anwar Usman pada Kamis, (7/7).

Sebelumnya PBB yang diwakili Yusril dan Afriansyah mengajukan uji materi dengan argumentasi yang didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif seperti oligarki dan polarisasi masyarakat akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu.

Menurut Mahkamah Konstitusi, argumentasi yang telah disampaikan oleh pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Mahkamah menjelaskan tidak ada jaminan bahwa dengan dihapusnya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik membuat berbagai ekses negatif tidak terjadi lagi.

“Terlebih lagi, setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, pada pokoknya Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional,” kata Hakim Anggota Aswanto dalam pembacaan putusan.

“Sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk Undang-undang,” tambahnya.

Aswanto menuturkan pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif.

Demokrasi terancam?

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang selalu menolak uji materi presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebuah tragedi demokrasi.

“Putusan MK tentang presidential threshold adalah sebuah tragedi demokrasi,” ujar Yusril melalui keterangan resminya, Kamis (7/7).

Pasal 222 UU Pemilu menyatakan: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Yusril berpendapat demokrasi semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan imbas dari Pasal 222 UU Pemilu yang dinilai konstitusional.

“Calon Presiden dan Wakil Presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR,” kata Yusril.

Yusril menyoroti calon Presiden yang diusung dalam Pemilu mendatang adalah calon yang didukung oleh partai politik berdasarkan threshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Ia menilai hal tersebut sebagai suatu keanehan.

Menurut Yusril, sepanjang lima tahun itu para pemilih dalam Pemilu sudah berubah. Formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun, kata Yusril, segala keanehan tersebut tetap dipertahankan MK. [PAR]