Menelusuri Jejak Pahlawan Nasional Gatot Soebroto

Jenderal TNI Gatot Subroto. (Foto: Perpusnas RI)

Pada setiap lembar sejarah bangsa, nama Jenderal TNI (Purn.) Gatot Soebroto selalu hadir sebagai salah satu tokoh militer penting yang tak hanya berjasa dalam bidang pertahanan, tetapi juga dalam memperjuangkan martabat rakyat kecil.

Lahir pada 10 Oktober 1907 di Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, Gatot Soebroto menorehkan catatan panjang sebagai pemimpin yang tak gentar menghadapi penjajah maupun sesama anak bangsa yang menyimpang dari cita-cita kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada 11 Juni 1962 di Jakarta, di usia 54 tahun, dan dimakamkan dengan penuh kehormatan di Ungaran, Kabupaten Semarang.

Awal Karier

Menurut laman Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas, setelah menyelesaikan pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Gatot Soebroto tidak melanjutkan pendidikan formal ke jenjang lebih tinggi. Ia sempat bekerja sebagai pegawai, namun panggilan untuk berbakti melalui militer membawanya masuk ke Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) pada tahun 1923.

Di sinilah ketangguhan dan integritasnya mulai ditempa. Sempat bertugas di Padang Panjang sebagai sersan kelas II selama lima tahun, ia kemudian melanjutkan pendidikan di Sukabumi dan mengambil pelatihan masose (paramedis militer).

Meski saat itu berada dalam struktur militer penjajah, Gatot Soebroto sudah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Ia dikenal solider terhadap rakyat kecil, berani membela prajurit bawahannya dari perlakuan sewenang-wenang, bahkan tak segan menentang atasan.

Ketika Jepang menjajah Indonesia, Gatot mengikuti pendidikan PETA di Bogor dan kelak ditunjuk sebagai komandan batalyon di Banyumas. Keteguhan sikap dan keberaniannya sudah terlihat dari awal: ia sempat mengancam mundur sebagai komandan jika dipaksa mengikuti kebijakan yang menyakiti rakyat, dan keberaniannya tersebut justru membuat Jepang melunak.

Kiprah dalam Revolusi dan Penumpasan Pemberontakan

Setelah Indonesia merdeka, Gatot Soebroto memilih bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia dipercaya menjabat sebagai Kepala Siasat sebelum kemudian menjadi Komandan Divisi dengan pangkat Kolonel, salah satunya karena peran gemilangnya dalam Pertempuran Ambarawa.

Pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, Gatot menunjukkan peran vitalnya saat menghadapi Peristiwa Madiun tahun 1948, yang melibatkan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia memimpin operasi militer dari wilayah barat sebagai Gubernur Militer Wilayah II, sementara dari timur serangan dilancarkan oleh pasukan Kolonel Soengkono.

Madiun berhasil direbut kembali dalam waktu dua minggu. Gatot juga menjadi tokoh penting di balik eksekusi sebelas pimpinan pemberontakan kiri, termasuk mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin Harahap, sebagai bagian dari upaya memulihkan stabilitas nasional.

Tak lama kemudian, Gatot kembali ditugaskan untuk menghadapi pemberontakan lain di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar dari Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Keberhasilannya dalam menumpas pemberontakan itu sekaligus membujuk banyak gerilyawan untuk kembali ke pangkuan republik membuatnya dipercaya menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium (T&T) IV Diponegoro.

Jenderal yang Disiplin, Tegas, dan Merakyat

Karakter Gatot Soebroto tidak hanya dikenal melalui keberaniannya dalam medan tempur, tetapi juga lewat kedisiplinan dan sikap humanisnya. Ia berani mengundurkan diri pada 1953 setelah dituduh menjadi dalang kerusuhan di Istana Negara, sebuah sikap ksatria yang jarang dimiliki petinggi militer kala itu.

Tiga tahun kemudian, pada 1956, ia diaktifkan kembali dan diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), posisi dari mana ia turut membantu melumpuhkan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi Utara.

Gatot Soebroto tidak pernah puas hanya menjadi tentara yang bertempur. Ia juga memiliki visi jauh ke depan dalam membangun sumber daya militer Indonesia. Salah satu warisan pentingnya adalah gagasan untuk membentuk satu akademi militer terpadu bagi tiga matra yaitu darat, laut, dan udara. Ide ini kemudian diwujudkan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) pada tahun 1965, tiga tahun setelah wafatnya.

Jenderal Gatot Soebroto wafat pada 11 Juni 1962 dan seminggu kemudian, pada 18 Juni 1962, ia dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 283. Penghargaan ini menjadi simbol pengakuan atas pengabdian panjangnya kepada tanah air sebagai prajurit, pemimpin, dan pelindung rakyat kecil.

Namanya kini diabadikan di berbagai tempat, salah satunya pada Jalan Jenderal Gatot Subroto di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, sebagai pengingat bahwa di balik medali dan pangkat tinggi, ia adalah seorang pemimpin yang lahir dari ketulusan membela tanah air dan rakyatnya. [UN]