Seorang pemimpin idealnya hadir sebagai pelindung rakyat—sosok yang memberi rasa aman, harapan, dan keadilan. Dalam benak kita, presiden adalah figur yang mengayomi, membela yang lemah, dan menjadi contoh bagi bangsanya. Namun, tidak semua pemimpin menapaki jalan mulia itu. Ada pula yang menjadikan kekuasaan sebagai alat penindasan, menebar ketakutan, dan merenggut nyawa tanpa rasa belas kasihan.
Salah satu nama yang menjadi simbol dari kegelapan kekuasaan itu adalah Idi Amin Dada. Ia bukan hanya dikenang sebagai presiden Uganda, tapi sebagai diktator kejam yang menggoreskan luka dalam pada sejarah bangsanya. Kisah hidup dan kepemimpinannya bukan sekadar catatan politik, tapi juga potret menyedihkan tentang bagaimana kekuasaan tanpa kendali bisa menghancurkan kemanusiaan.
Kepemimpinannya Idi Amin di Uganda, yang berlangsung dari tahun 1971 hingga 1979, tercatat sebagai salah satu rezim paling brutal dalam sejarah Afrika, bahkan dunia. Melalui artikel ini, kita akan mengulas secara singkat tentang kekejamannya dan kepemimpinannya yang telah dirangkum dari berbagai sumber.
Idi Amin Dada diperkirakan lahir sekitar tahun 1925 di Koboko, sebuah kota kecil di Provinsi Nil Barat, Uganda. Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya meninggalkan keluarga saat Amin masih kecil, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya yang bekerja sebagai petani. Amin menempuh pendidikan di sekolah Islam sebelum akhirnya direkrut oleh kolonial Inggris sebagai tentara pada tahun 1941, ketika Perang Dunia II masih berkecamuk.
Karier militernya berkembang pesat. Ia menjadi salah satu prajurit kulit hitam pertama yang meraih posisi perwira dalam Angkatan Bersenjata Inggris di Afrika Timur. Karisma, kekuatan fisik, dan kesetiaan pada atasan membuatnya cepat naik pangkat, meskipun kerap dituduh memiliki kecenderungan kekerasan dan tindakan brutal sejak masa dinasnya.
Kudeta dan Naiknya Idi Amin ke Tampuk Kekuasaan
Pada 25 Januari 1971, Idi Amin menggulingkan Presiden Milton Obote melalui kudeta militer. Kudeta ini awalnya disambut dengan sukacita oleh sebagian rakyat Uganda yang menganggapnya sebagai penyelamat dari ketidakstabilan politik. Namun, euforia itu segera berubah menjadi horor.
Amin memproklamirkan dirinya sebagai presiden Uganda dan kemudian menyebut dirinya dengan berbagai gelar bombastis seperti “Penakluk Kekaisaran Inggris” dan “Raja Segala Binatang di Dunia”. Ia memerintah dengan tangan besi selama delapan tahun penuh teror.
Rezim Teror dan Kekejaman
Di bawah kekuasaannya, Uganda berubah menjadi negara yang penuh darah dan ketakutan. Amin memulai pembersihan etnis terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman, terutama suku Acholi dan Lango. Diperkirakan antara 300.000 hingga 400.000 orang dibunuh selama pemerintahannya, baik melalui eksekusi massal, penyiksaan, penghilangan paksa, maupun pembunuhan diam-diam.
Tindakannya yang paling kontroversial terjadi pada tahun 1972, ketika ia mengusir sekitar 50.000 hingga 70.000 orang keturunan Asia dari Uganda. Mereka diberi waktu hanya 90 hari untuk pergi. Akibatnya, ekonomi Uganda yang bergantung pada kontribusi komunitas tersebut runtuh seketika.
Tak berhenti di situ, Idi Amin juga memicu ketegangan kawasan dengan menyerang negara tetangga, Tanzania. Aksi nekat ini berujung pada perlawanan balik dari Tanzania yang pada akhirnya menggulingkan kekuasaannya.
Kekejaman Amin bukan hanya didokumentasikan dalam laporan resmi, tetapi juga melekat dalam legenda-legenda kelam. Beberapa saksi mata mengklaim bahwa ia terlibat dalam tindakan kanibalisme dan menyimpan bagian tubuh manusia di lemari es pribadinya. Laporan lain menyebut ia berbicara dengan kepala korban yang telah dipenggal. Walau sebagian cerita ini sulit diverifikasi secara pasti, semuanya menambah citra horor yang melekat pada sosoknya.
Kejatuhan, Pengasingan, dan Kematian
Pada tahun 1979, pasukan Tanzania bersama dengan kelompok oposisi Uganda melancarkan serangan militer yang menggulingkan Idi Amin. Ia melarikan diri ke Libya, kemudian sempat tinggal di Irak, sebelum akhirnya menetap secara permanen di Arab Saudi.
Amin hidup dalam pengasingan yang tenang, jauh dari jerat hukum internasional. Ia meninggal pada 16 Agustus 2003 di Jeddah, Arab Saudi, karena kegagalan organ setelah koma. Pemerintah Uganda sempat menawarkan pemakaman di tanah air, namun keluarga memutuskan ia dimakamkan di Arab Saudi. Hingga akhir hayatnya, ia tidak pernah diadili atas kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukannya.
Idi Amin meninggalkan warisan kelam yang membekas dalam sejarah Uganda dan Afrika. Pemerintahannya tidak hanya memporak-porandakan struktur sosial dan ekonomi negara, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang dalam bagi rakyatnya. Ia menjadi salah satu contoh nyata bagaimana kekuasaan absolut, ketika jatuh ke tangan yang salah, dapat berubah menjadi mesin penghancur kemanusiaan.
Meskipun telah lama tiada, nama Idi Amin tetap menjadi simbol dari bagaimana kekuasaan bisa menjadi alat pembantaian, dan pelajaran penting bahwa keadilan dan hak asasi manusia tidak boleh dikorbankan demi ambisi pribadi. [UN]