Ilustrasi

Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali akan memanggil pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN) dan istrinya Itjih Nursalim (ITN) hari ini. Pemeriksaan akan dilakukan pukul 10.00 WIB di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

“Agenda pemeriksaan ataupun permintaan keterangan yang dilakukan KPK sejak penyelidikan hingga penyidikan ini adalah agar memberikan ruang yang cukup pada SJN dan ITN untuk menyampaikan informasi-informasi jika saja ada bantahan atau sangkalan,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Jakarta, Kamis  (18/7/2019) kemarin, seperti dikutip antaranews.com.

Menurut KPK, pemanggilan kedua kalinya terhadap dua tersangka tersebut diumumkan sebagai bentuk pertanggungjawaban pada publik sekaligus agar pihak-pihak lain atau tersangka dapat mengetahui melalui sarana komunikasi publik tersebut.

“Jika SJN dan ITN meyakini tidak melakukan korupsi sebagaimana yang diduga dalam perkara ini, maka KPK mengajak tersangka untuk menghadapi proses hukum secara terbuka,” kata Febri.

Seperti dikutip situs KPK, kpk.go.id, lembaga tersebut menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019. Sebelumnya, KPK juga telah memanggil keduanya untuk diperiksa sebagai tersangka pada Jumat (28/6/2019) lalu, namun mereka tak hadir. Sjamsul dan istrinya saat ini tinggal di Singapura.

Sjamsul bersama istrinya Itjih merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Surat panggilan untuk dua tersangka tersebut dikirimkan ke lima alamat baik di Indonesia maupun Singapura. Di Indonesia, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke rumah para tersangka di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan, sejak Kamis (20/6/2019). Untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) ke empat alamat sejak Jumat (21/6), yaitu 20 Cluny Road, Giti Tire Plt. Ltd (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West 9 Oxley Rise The Oaxley, dan 18C Chatsworth Rd.

Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta KBRI mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.

Upaya pemanggilan tersangka, juga dilakukan dengan bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB/Lembaga Antikorupsi Singapura).

SJN dan ITN diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Diduga Kerugian Keuangan Negara adalah sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa tersangka melakukan missrepresentasi dan aset tergolong aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi. Pada tanggal 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp. 220.000.000.000,- padahal nilai kewajiban SJN yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 Triliun;.

Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

BLBI

Dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini, para pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tersebut diduga tidak memenuhi kewajiban selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

“Setelah penyelidikan, ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK membuka penyidikan baru dugaan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala BPPN dalam pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN,” kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (10/6/2019) lalu.

Seperti dikutip kpk.go.id, setelah melakukan proses Penyelidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK membuka penyidikan baru dugaan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Tumenggung selaku Kepala BPPN.

Sebelumnya KPK memproses Syafruddin Arsyad Tumenggung. Kepala BPPN itu dijatuhi hukuman 13 tahun penjara, dan ditambah menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dalam pengadilan banding di Pengadilan Tinggi.

Dalam putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, hakim menyatakan Sjafruddin melakukan perbuatan haram itu bersama-sama Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih S Nursalim, serta Dorojatun Kuntjoro Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dalam penerbitan SKL itu.

Sjafruddin disebut menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta surat pemenuhan kewajiban pemegang saham meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya yang seolah-olah piutang lancar atau misrepresentasi.

BDNI disebut hakim ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh Tim Pemberesan yang ditunjuk BPPN dan didampingi oleh Group Head Bank Restrukturisasi. BDNI pun dikategorikan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum atau transaksi yang tidak wajar yang menguntungkan Sjamsul Nursalim.

Atas perbuatan itu, Sjafruddin merugikan negara sebesar Rp4,5 triliun terkait BLBI. Karena menguntungkan Sjamsul sebesar Rp 4,5 triliun.

Sementara dalam putusan tingkat banding majelis hakim meningkatkan lama hukuman terhadap terdakwa dengan pertimbangan yang pada pokoknya menyebutkan tindakan terdakwa selaku Kepala BPPN telah melukai secara psikologis masyarakat dan bangsa Indonesia yang baru saja mengalami trauma akibat krisis moneter yang menimpa bangsa Indonesia pada Tahun 1998, dan kerugian keuangan negara yang diakibatkan sangat besar di tengah situasi ekonomi yang sulit.

Terkait dengan pihak yang diperkaya, pada pertimbangan putusan Pengadilan Tipikor No. 39/Pid.5us/Tpk/2018/PN.Jkt.Pst disebutkan secara tegas bahwa tindakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah memperkaya Sjamsul Nursalim sebesar Rp4,58 triliun.

“Secara paralel karena diduga terdapat pihak lain yang juga harus bertanggung jawab secara pidana dalam perkara ini, KPK melakukan serangkaian kegiatan penyelidikan sejak Agustus 2018, termasuk di antaranya permintaan keterangan terhadap sejumlah pihak,” kata Saut.

Syafruddin Arsyad Temenggung/ANTARA FOTO-Indrianto Eko Suwarso

Namun pada 9 Juli 2019 lalu Mahkamah Agung (MA) menerima kasasi Sjafruddin, dan menyatakan Syafruddin terbebas dari tuntutan hukum.

Dalam surat putusan kasasi yang disampaikan Kabiro Humas MA, Abdullah, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu memang bersalah atas perbuatannya hanya saja majelis hakim menilai tindakan Syafruddin bukan ranah pidana.

“Menyatakan SAT terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum,” ucap Abdullah saat menggelar konferensi pers di kantor MA, Jakarta, Selasa (9/7/2019).

Berdasarkan putusan kasasi tersebut, hakim meminta agar jaksa mengeluarkan Syafruddin Arsyad dari tahanan, mengembalikan segala barang bukti kepadanya. Jaksa juga diminta memulihkan hak dan martabat Syafruddin.

“Terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Menetapkan barang bukti dikembalikan kepada terdakwa,” kata Abdullah.

Penasihat hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra, menilai putusan kasasi kliennya oleh Mahkamah Agung (MA) sudah bersifat final dan berkekuatan hukum tetap.

“Putusan kasasi itu final dan inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap,” kata Yusril, di Jakarta, Selasa (9/7/2019).

Tak Ada Unsur Pidana

Jika mendengar keterangan para ahli di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta selama, dengan terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, memang hampir semua ahli menyatakan tak ada unsur pidana dalam kasus ini.

Dari keterangan ahli perbankan dan notaris pembuat akta penyesaian Surat Keterangan Lunas (SKL), antara lain, ternyatakan tidak ada unsur pidana dalam kasus ini. Kalau unsur pidana tidak ada, bagaimana pula bisa timbul dugaaan tindak pidana korupsi?

Ahli hukum pidana Andi Hamzah yang dihadirkan dalam persidangan 16 Agustus 2018 lalu, juga menyatakan, tidaklah masuk akal seseorang disebut memperkaya orang lain yang, misalnya, mengatakan tidak ada hubungan keluarga atau hubungan dekat lainnya, apalagi dengan merugikan keuangan negaranya sendiri. Ia pun menilai perkara yang menempatkan Temenggung sebagai terdakwa tidak masuk akal.

“[Sjamsul] Nursalim ada hubungan keluarga dengan itu [Syafruddin] enggak? Tidak ada, kan? Jadi untuk apa memperkaya dia? Di mana otaknya, memperkaya orang lain kemudian merugikan negaranya sendiri? Tidak masuk akal, kan? [Kecuali] kalau ada suap. Nah [suap] tidak ada dalam dakwaan Syafruddin kan?” kata Andi, saat itu.

Andi memang dihadirkan berkaitan dengan penerbitan SKL bagi obligor BLBI Sjamsul Nursalim. Dalam kesempatan itu, Ketua Tim Penyusun Inter-Departemen Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor tersebut juga mengungkapkan, kasus korupsi baru terjadi kalau ada kickback.

Soal upaya memperkaya diri sendiri, Andi menjelaskan, “memperkaya diri sendiri” dan “merugikan keuangan negara” sebenarnya menurut Konvensi Internasional, United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), bukanlah merupakan unsur tindak pidana korupsi.

“Yang paling perlu dibuktikan adalah terdakwa melawan hukum. Yang kedua, kalau memperkaya diri sendiri, jumlahnya berapa?” kata Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu.

Sebelumnya, dalam sidang 13 Agustus 2018, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Padjadjaran Bandung, I Gde Pantja Astawa, dalam keterangannya di pengadilan mengatakan, pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus mengonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee) dalam pemeriksaan apa pun sesuai asas asersi pemeriksaan.

Menurut Pantja, dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur. Pertama: Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwewenang dalam hal ini BPK. Karena akhirnya harus diterbitkan dalam bentuk keputusan BPK.

“Kedua: dia harus memperhatikan dan menjadikan standard pemeriksaan negara sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan dengan segala penjelasan di SPKN [Standard Pemeriksaan Keuangan Negara]. Ketiga: harus memperhatikan satu prinsip asas asersi. Asas asersi ini, yakni mewajibkan pemeriksa, dalam hal ini auditor, memeriksa entitas yang diperiksa karena yang diperiksa harus dikonfirmasi tanpa melihat apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK,” katanya.

Menurut Pantja, pemeriksaan itu ada tiga jenis, yakni pemeriksaan keuangan, kinerja, dan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Pemeriksaan investigasi merupakan salah satu jenis dari PDTT.

“Tidak melihat apa pun jenis pemeriksaannya, harus dikonfirmasi kepada entitas yang diperiksa,” katanya.

Itu dimaksudkan agar entitas yang diperiksa memiliki kesempatan mengkaji, menelaah, dan membela diri (defence). Asas ini tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apa pun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK.

“Ada ketentuannya, asas ini mutlak. Asas asersi ini mutlak, sebagaimana diatur atau dinormatisasi di Pasal 6 Ayat (5) Undang-Undang tentang BPK Nomor 15 Tahun 2006. Jadi, kalau tiga hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum,” kata Pantja.

Memanggil dan terus Memanggil

Sebelumnya, KPK sebenarnya sudah menjadwalkan pemeriksaan Sjamsul Nursalim dan istrinya itu pada 8 dan 9 Oktober 2018, sekitar 9 bulan lampau.

Ilustrasi/gajahtunggal.com

Saat itu KPK telah melakukan koordinasi dengan otoritas Singapura. Memang, Sjamsul diketahui berada di negara pulau tersebut. Wajahnya terekspose ke publik saat melayat Sudono Salim (Liem Sioe Liong) pada 18 Juni 2012.

Saat itu Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, juga mengatakan kalimat-kalimat yang mirip seperti dalam konferensi pers di Jakarta Kamis (18/7/2019) kemarin.

Menurut Febri saat itu, dalam kasus BLBI ini telah memeriksa sebanyak 26 orang sebagai saksi, dari unsur BPPN, KKSK [Komite Kebijakan Sektor Keuangan], dan swasta.

Sebenarnya, dalam proses penyidikan terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung, pihak KPK juga telah memanggil Sjamsul beberapa kali untuk dijadikan saksi. Tapi ia tak pernah hadir. Sjamsul dan istrinya juga tak hadir saat dipanggil sebagai tersangka pada 28 Juni 2019 lalu. Kemungkinan sangat besar mereka berdua juga takkan datang lagi hari ini. [Didit Sidarta]