Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya setelah 32 tahun berkuasa pada 21 Mei 1998.

PADA MEI 1998, pukulan berat krisis ekonomi yang terjadi menerpa Asia Timur termasuk Indonesia didalamnya. Meningkatnya inflasi dan pengangguran menciptakan penderitaan dimana-mana, juga ada ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang lamban serta korupsi yang merajalela di Indonesia.

Latar Belakang Gelombang Gerakan Mahasiswa

Diawali pada pertengahan 1997 ketika krisis moneter (krismon) mulai melanda Indonesia. Nilai rupiah anjlok terhadap dolar Amerika, yang berfluktuasi Rp 12.000-Rp 18.000 dari hanya Rp 2.200 pada awal tahun.

Di tengah situasi ini, tim ekonomi Soeharto justru menaikkan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Ekonomi rakyat semakin terpuruk. Soeharto menyiasati situasi rawan pangan dengan kampanye makan tiwul, yang disampaikan melalui televisi.

Namun sebaliknya Soeharto dengan percaya diri tetap melakukan perjalanan ke luar negeri, untuk berobat ke Jerman.

Sidang Umum MPR 98 bahkan memberi gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden. Gelar ini diberikan karena Soeharto dianggap berhasil dalam pembangunan ekonomi. 

Selama 30 tahun kekuasaannya, pendapatan perkapita meningkat dari US$80 di tahun 1967 menjadi US$990 di tahun 1997. Ekspor meningkat dari US$ 665 juta menjadi US$52 miliar.

Namun fakta di balik angka-angka itu adalah angka kemiskinan yang besar. Bappenas pernah menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di tahun 1993 berjumlah 27 juta jiwa dengan menggunakan tolok ukur kemiskinan penghasilan penduduk Rp20.000/bulan. Namun jika batas kemiskinan tersebut menggunakan ukuran kebutuhan fisik minimum dari Depnaker tahun 1993 yaitu Rp80.000/bulan, maka kenyataannya ada sekitar 180 juta jiwa atau hampir 90% rakyat hidup dalam garis kemiskinan.

 Kronologi Turunnya Soeharto

Tanggal 12 Mei 1998. Para Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta melakukan aksi damai menuju gedung DPR/MPR. Mereka memulai demo dari depan kampus Trisakti di Slipi sambil membag-bagikan bunga. Namun aparat menghadapi aksi damai mahasiswa dengan tembakan. Empat mahasiswa gugur. Mereka adalah Elang Mulya, Hendriawan Sie, Herry Hertanto dan Hafidin Royan,

Tanggal 13 Mei 1998  Dilakukan pemakaman terhadap para mahasiswa Trisakti yang tewas ditembak petugas di kampus, yang kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Reformasi. Gugurnya para martir reformasi itu membuat rakyat tersentak dan marah. Indonesia pun berkabung.

15 Mei 1998: Penjarahan. 

Rakyat miskin yang kehilangan harapan menjadi mudah tersulut api provokasi dan kemarahan. Setelah pemakaman empat pahlawan reformasi, kerusuhan mulai terjadi di daerah Grogol dan merembet ke seluruh Jakarta. Dari tanggal 13-15 Mei terjadi penjarahan dan huru-hara yang meluas ke Bogor, Tangerang, Bekasi bahkan ke Solo dan sebagian Nusantara. Korban pun berjatuhan.

16 Mei 1998 : Mahasiswa Bergerak

Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta mulai bergerak menuju gedung DPR/MPR di Senayan. Dari waktu ke waktu mahasiswa terus berdatangan memenuhi gedung wakil rakyat bahkan sampai naik ke atas atap gedung. Ribuan mahasiswa menginap dan bertahan di gedung tersebut dengan risiko apapun. Tuntutan mereka satu: Soeharto harus turun dari jabatan presiden. 

Gedung DPR/MPR telah disita oleh rakyat. Suasana malam di gedung DPR/MPR terasa mencekam. Walaupun banyak mahasiswa yang bertahan, terutama yang dari luar kota suasananya tetap diliputi ketidakpastian. Mereka mengisi waktu dengan bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.

Kompas 16 Mei 1998: menurut Kadispen Mabes Polri Brigjen Dai Bachtiar, jumlah korban yang tewas di wilayah DKI 200 orang, belum termasuk 20 korban yang loncat dari gedung. Sementara di Tangerang 100 orang terpanggang dan jasad para korban sebagian besar dalam keadaan hangus.

17 Mei 1998: Pembakaran dan penjarahan. 

Penjarahan terus berlangsung selama 13-15 Mei. Kerusuhan ini telah mengakibatkan kerugian fisik di Jakarta sebesar Rp 2.5 triliun. Menurut Gubernur Sutiyoso (Kompas 18 Mei 1998), kerugian terjadi akibat kerusakan 13 pasar, 2479 ruko, 40 Mal, 1.600 toko, 45 bengkel, 11 polsek, 380 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bis kota, 1.119 mobil, 1.026 rumah penduduk dan gereja.

Sementara itu Bandara Halim Perdanakusuma dibanjiri pengungsi warga asing dan WNI yang bergabung dalam arus evakuasi dari Jakarta yang dilanda kerusuhan.

Pada malam hari di wilayah-wilayah permukiman, suasana seperti pada masa perjuangan tahun 45. Warga bersiskamling dengan senjata di tangan. Mereka mempersenjatai diri dengan kewaspadaan yang tinggi terutama di daerah perumahan karena ada desas-desus akan terjadi penjarahan.

19 Mei 1998: Tuntutan mahasiswa: Soeharto turun. 

Dukungan mulai membanjir dari elite politik, organisasi non-pemerintah, buruh dan rakyat. Kabinet Soeharto pun terbelah. Para menteri di bawah Ginanjar Kartasasmita mengundurkan diri dari kabinet.

Bahkan Harmoko, ketua MPR dan loyalis Soeharto, dengan tegas mengeluarkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Siaran pers disambut sorak-sorai massa. Akhir perjuangan panjang terasa terasa makin dekat.

Akan tetapi kegembiraan tersebut ternyata datang terlalu cepat. Empat jam kemudian Panglima ABRI Wiranto mengadakan rapat kilat dengan kepala staf dan Kapolri serta para panglima komando operasi di markas besar ABRI dan menyatakan: pernyataan tersebut hanyalah pendapat individual meskipun disampaikan secara kolektif.

20 Mei 1998: Sidang Tahanan Politik Terakhir Soeharto

Pengadilan Negeri Jakarta Utara melangsungkan sidang putusan terhadap enam orang terkait penyelenggaraan Kongres Rakyat Indonesia. Keenam orang itu: seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet serta putrinya Fathom Saulina; pengacara Alexius Suria Tjahaja Tomu (sudah meninggal); aktivis Nandang Wirakusumah dan Joel Taher serta wartawan Ging Ginanjar (sekarang adalah News Editor di BBC Indonesia). Mereka ditangkap saat berlangsungnya Kongres Rakyat Indonesia yang bermaksud memilih secara simbolik presiden versi rakyat, pada 10 Maret 1998, sehari sebelum Soeharto dipilih dan dilantik lagi sebagai presiden.

Keenam orang itu dinyatakan bersalah namun dibebaskan pada hari itu juga -sehari sebelum Soeharto jatuh.

21 Mei 1998: Tumbangnya Orde Baru. 

Pada 21 Mei 1998 di hadapan para wartawan media seluruh dunia, Soeharto mengumumkan mundur sebagai presiden. Wakilnya, B.J Habibie, langsung dilantik menjadi presiden RI yang ketiga.

Akhirnya sebuah kediktatoran yang kejam, rakus dan menyengsarakan berakhir secara dramatis. Di jalan-jalan dan di gedung DPR, rakyat meluapkan kegembiraan dengan berbagai ekspresi. Sebuah fase baru dimulai, perjalanan transisi bangsa ini menuju demokrasi yang sesungguhnya.

Enam Tuntutan Reformasi yaitu: 1. Penegakan supremasi hukum. 2. Pemberantasan KKN 3. Adili Soeharto dan kroninya. 4. Cabut Dwifungsi ABRI/Polri 5. Pemberian Otonomi Daerah. [S21]